Mohon tunggu...
melatidwiputri
melatidwiputri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa Universitas Pamulang D4 Akuntansi Perpajakan, yang tertarik dengan dunia pajak dan keuangan. Suka menganalisis laporan keuangan, memahami regulasi perpajakan, dan mencari cara agar perpajakan lebih efisien. Selalu ingin belajar hal baru dan siap menghadapi tantangan di dunia perpajakan!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenaikan PPN 12%: Upaya Menstabilkan Fiskal atau Beban Baru bagi Masyarakat

11 Oktober 2025   17:15 Diperbarui: 11 Oktober 2025   17:15 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenaikan Pajak 12% (Sumber: Pinterest)

Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 kembali menuai pro dan kontra. Menurut Kementerian Keuangan (2024), kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang bertujuan memperkuat penerimaan negara dan menstabilkan fiskal pascapandemi. Tetapi dengan kenaikan PPN ini dapat memperberat beban masyarakat, terutama bagi kelompok yang berpenghasilan menengah ke bawah yang  dimana pada saat ini sudah tertekan oleh kenaikan harga kebutuhan pokok. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan pendekatan yang lebih berkeadilan agar tujuan fiskal dapat tercapai tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat.

Antara Kepentingan Fiskal dan Kesejahteraan Rakyat

PPN adalah sumber penerimaan pajak terbesar bagi negara. Data Direktorat Jenderal Pajak (2024) menunjukkan bahwa PPN menyumbang lebih dari 40% total penerimaan pajak nasional. Dengan kenaikan tarif 1%, pemerintah berpotensi menambah penerimaan hingga ratusan triliun rupiah per tahun. Dana tersebut tentu dibutuhkan untuk membiayai berbagai program seperti pembangunan infrastruktur, subsidi energi, dan bantuan sosial.

Namun, dari sisi masyarakat, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran. PPN adalah pajak konsumsi yang secara langsung memengaruhi harga barang dan jasa. Meski pemerintah menegaskan bahwa kebutuhan pokok tetap bebas PPN, tetapi rantai pasok ekonomi yang panjang membuat efeknya tidak bisa dihindari. Harga barang konsumsi sehari-hari berpotensi naik karena produsen dan distributor menyesuaikan dengan biaya produksi dan distribusi. Dalam jangka pendek, kebijakan ini bisa memperlemah daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.

Dampak pada Daya Beli dan Konsumsi


Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2024), konsumsi rumah tangga masih menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, menyumbang sekitar 55% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, setiap kebijakan yang menekan konsumsi masyarakat akan langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.


Dalam laporan CNBC Indonesia (2024), para ekonom menilai kenaikan PPN sebesar 1% memang terlihat kecil secara nominal, tetapi nilai 1% itu bisa memberikan efek psikologis yang cukup besar terhadap perilaku konsumsi masyarakat. Ketika harga naik, sebagian masyarakat cenderung menunda pembelian atau beralih ke barang yang lebih murah, sehingga memengaruhi perputaran ekonomi domestik.
Jika konsumsi rumah tangga menurun, maka sektor ritel, UMKM, dan industri makanan-minuman akan ikut melambat. Kondisi ini bisa menekan lapangan kerja baru dan membuat pertumbuhan ekonomi stagnan, terutama di tengah situasi global yang masih penuh ketidakpastian.

Perspektif Keadilan Pajak

Dari sisi keadilan fiskal, PPN termasuk pajak regresif, artinya beban pajaknya justru lebih berat bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah karena proporsi pengeluaran mereka lebih besar dibanding penghasilan. Kontan.co.id (2024) mencatat, kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi cenderung tidak terlalu terdampak oleh kenaikan tarif, karena porsi konsumsi mereka terhadap pendapatan lebih kecil.


Kondisi ini menimbulkan pertanyaan soal keadilan vertikal dalam sistem perpajakan kita. Pemerintah seharusnya tidak hanya mengejar peningkatan penerimaan, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap kesenjangan sosial. Alternatif lain yang bisa ditempuh misalnya memperluas basis pajak melalui digitalisasi sistem perpajakan, memperketat pengawasan wajib pajak besar, serta meningkatkan kepatuhan pajak di sektor digital dan ekonomi informal.

Menjaga Keseimbangan antara Negara dan Rakyat

Kebijakan fiskal memang harus diarahkan untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Namun, keseimbangan antara kebutuhan negara dan kesejahteraan rakyat juga harus diperhatikan. Jika kebijakan PPN 12% tetap diberlakukan, pemerintah perlu memastikan adanya kompensasi sosial yang efektif seperti bantuan langsung tunai, subsidi pangan, serta insentif bagi UMKM agar roda ekonomi tetap berputar.

World Bank (2024) juga menekankan bahwa konsolidasi fiskal yang terlalu cepat tanpa dukungan kebijakan inklusif justru bisa memperlambat pemulihan ekonomi. Karena itu, sinergi antara reformasi pajak dan perlindungan sosial menjadi kunci agar tujuan fiskal tercapai tanpa mengorbankan daya beli masyarakat.

Kenaikan PPN 12% memang membawa tujuan mulia, yaitu menyehatkan keuangan negara dan memperkuat kemandirian fiskal. Tetapi kebijakan ini juga menguji sensitivitas pemerintah terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Pajak seharusnya tidak hanya menjadi alat pengumpulan dana, tetapi juga instrumen untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan ekonomi. Jika dijalankan dengan hati-hati, transparan, dan disertai kebijakan perlindungan sosial yang kuat, kenaikan PPN bisa menjadi langkah strategis. Namun tanpa itu, kebijakan ini berisiko memperlebar jarak antara rakyat dan negara, sesuatu yang seharusnya dihindari dalam upaya membangun Indonesia yang berkeadilan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun