"Itu baju dikarungin gitu mau dijual, Teh?" tanyaku pada seorang tetangga yang sedang sibuk di depan rumahnya dengan baju kecil-kecil dan karung.
"Eh, Mbak Meta dari mana?" tanyanya balik. "Ini baju mau saya buang. Besok tukang sampah dateng kan ya?"
Jadi, di komplek rumahku, tukang sampah tidak datang setiap hari. Biasanya sih, mereka datang pada hari Senin, Kamis, dan Sabtu. Kalau sedang tidak biasa ya mereka datang di hari yang tidak aku sebutkan.Â
Kecuali tanggal merah. Mereka tidak pernah terlihat hidung mobilnya pada tanggal merah meskipun itu hari Senin, Kamis, atau Sabtu.
"Harusnya, sih," jawabku sambil mendekati tetanggaku. "Ini baju-bajunya yakin mau dibuang? Masih bagus-bagus begini?"
"Baju-baju ini udah nggak muat dipakai anak saya, Mbak. Jadinya mau dibuang. Di sini menuh-menuhin tempat. Habisnya mau dipakai siapa lagi? Mau dikasih ke orang juga malu, Mbak. Ini kan baju bekas," ujarnya.
Aku hanya mengangguk-angguk.
Siangnya, ketika aku mengantar paket ke agen ekspedisi pengiriman barang, aku melihat seseorang yang mengorek-ngorek tempat sampah. Dia memilah-milah barang-barang yang ditemukan. Dia memisahkan kardus, botol plastik, dan pakaian.
Aku jadi teringat tetanggaku yang akan membuang pakaiannya tadi. Bukankah lebih enak kalau tetanggaku langsung memberikan baju bekas anaknya pada seseorang yang membutuhkan? Orang-orang yang mengorek sampah ini, misalnya.
Aku mengerti rasa tidak enak hati yang dialami oleh tetanggaku. Ada saja sih, orang yang memang suka usil mengatakan, "ah, dia mah ngasih-ngasih baju bekas. Bajunya yang bahannya nggak bagus lagi."
Tapi ada juga lho, orang yang senang hati diberi baju bekas meskipun bahannya nggak bagus. Ya karena mereka butuh.
Sejak dulu, ibuku selalu menyuruhku mensortir baju secara berkala. Terutama, ketika kenaikan kelas tiba. Saat kenaikan kelas, aku akan dibelikan baju seragam yang baru. Seragam yang lama, aku masukkan dalam kardus bersama dengan pakaian-pakaian yang sudah sempit atau sudah tidak mau aku pakai.
Namun, baju dalam kardus itu tidak dibuang ke tempat sampah. Baju-baju itu ibuku berikan pada orang lain. Mungkin karena rumah ibuku di kampung.Â
Kami saling tahu siapa memiliki sifat seperti apa. Jadi, kita bisa memberikan barang pada orang yang tepat, yang memang membutuhkan dan tidak akan nyinyir.
Di komplek tempatku tinggal ini, yang sebagian besar isinya adalah kontrakan, agak susah. Aku sih nggak tahu sifat asli masing-masing orang. Yang aku rasa semua orang baik-baik saja kecuali yang tidak. Tapi hati orang kan siapa yang tahu?
Aku masih suka mensortir baju-baju. Walaupun tidak sesering dulu. Baju-baju yang aku singkirkan biasanya karena sudah robek atau kekecilan. Untuk baju-baju yang memang sudah kekecilan, biasanya aku titipkan ke mertuaku yang tinggal di kampung. Siapa tahu ada yang membutuhkan baju itu.
Baju yang sudah tidak layak pakai, aku fungsikan sebagai lap dan keset. Lap atau keset yang berasal dari baju bekas ini akan berakhir di tempat sampah ketika kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk digunakan lagi.Â
Entah mengapa, baju yang sudah digunakan sebagai kain lap atau keset kondisinya menjadi mudah lapuk.
Beberapa waktu lalu, aku menonton drama Korea. Di drama itu, ditampilkan seseorang kaya raya yang hendak mengganti semua baju di lemarinya.Â
Asisten rumah tangganya kemudian meletakkan baju-baju tersebut di sebuah kotak berwarna kuning yang diletakkan di pinggir jalan. Tak berapa lama, seorang tunawisma mendatangi kotak itu dan memilih baju yang dia suka untuk dikenakan.
Aku kemudian berpikir, kenapa ya di sini tidak ada yang seperti itu? Sebuah tempat khusus untuk menampung baju-baju layak pakai yang sudah tidak akan digunakan lagi?Â
Kotak ini merupakan perantara yang bagus untuk orang-orang yang sungkan memberikan baju bekas (padahal masih bagus) dengan orang-orang yang membutuhkan.
Ini bagian dari penggunaan kembali (reuse) barang-barang, kan? Bisa mengurangi volume sampah di Tempat Penampungan Akhir. Aku pernah membaca cerita tentang Kampung Pemulung di Bantar Gebang. Warga kampung itu, setiap hari pekerjaannya adalah memilah-milah sampah yang ada di TPA.
Daripada warga kampung itu mencari 'harta karun' di antara tumpukan sampah yang bisa berisi apa saja, mengapa tidak sampah ini sejak masih di rumah-rumah atau lingkungan RT?Â
Baju-baju layak pakai jangan sampai dibuang ke tempat sampah tapi dibuatkan tempatnya sendiri. Demikian juga sampah-sampah yang memiliki nilai jual seperti kardus, kemasan plastik, dan sejenisnya.
Ide yang menarik kan ya?