Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keramat Mak

21 Februari 2023   22:17 Diperbarui: 21 Februari 2023   22:38 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mak Inah--wanita renta itu terbaring di atas kasur lapuk dan berjamur. Tangannya memegangi dada yang berbalut kain, wajahnya meringis menahan sesak. Sesekali batuk terdengar lalu diikuti suara erangan. Lalu, tubuh yang hanya tinggal tulang berlapis kulit itu juga memanggil nama anak menantunya.

"Anis, Nis,"lirihnya.

Suaranya tak terdengar karena posisi kamar itu tepat berada di belakang. Anis  beserta suaminya sedang duduk di ruang keluarga. Sekian menit sudah bibir kering Mak Inah merintih dan memanggil. Akhirnya, Ardi yang menuju kamar mandi mendenggarnya.

"Ngapa, Mak?" kepala Ardi menyembul di balik pintu.

"Hmmm, Di, telpon Seli." Mata tua yang tak awas lagi itu menghangat dengan air mata. Ia menahan sakit dan kerinduan pada anak bungsunya. Sudah berulang kali ia meminta anak perempuan satu-satunya itu untuk pulang. Seli pun sangat jarang menghubungi, jangankan untuk bercerita menanyakan kabar saja sangat jarang.

"Bentar, Mak, ambil hape." Ia menghilang dari pandangan Mak Inah yang berkabut.

"Nis, ke kamar Mak, gih! minta telpon Seli katanya," titah Ardi pada istrinya.

"Ya, Bang." Anis beranjak dari kursi menuju ke belakang. Anis berjalan sambil menghela napas. Ia sangat hapal perangai adik ipar yang tak begitu suka diganggu oleh keluarga dari kampung.

Anis menghubungi melalui video call setelah tersambung ia mengucap salam dan basa-basi sebentar, Anis menghadapkan ponselnya ke arah Mak Inah.

"Ya, Mak, aku lagi sibuk Mak!" Seli yang mengenakan seragam coklat pegawai pemerintahan itu sedang berjalan.

"Lagian Mak, nelpon ada kabar? Setuju mau ngejual rumah petak itukah? Aku butuh dananya Mak, nanti kami gantinya, Mak. Proyek suamiku butuh dana besar makanya minjam itu dulu. Juallah, Mak," cecar Seli yang telah masuk ke dalam mobilnya.

"Sel, ka-pan pu-lang, Nak?" gagap Mak Inah dengan raut sendu.

"Aku sibuk, Mak! Jangankan utang tu nantik, Mak. Berapa uang, Mak yang habis merawatku sejak bayi sampai besar. Hitung! Sanggup aku gantinya nanti, Mak! Udah, Mak, aku mau jalan lagi. Aku pulang kalau Mak dah jual rumah petak, tu!" ancam Seli tanpa menunggu jawaban dari Mak Inah sambungan telah diputus sepihak oleh Seli.

Anis geleng-geleng kepala, tepat dugaannya. Menantu Mak Inah itu iba akan perasaan mertuanya yang menerima perlakuan dari anaknya itu.

Mak tertegun, perasaannya tersinggung. Namun, Beliau menyimpan rapat-rapat kalimat itu agar tak terjadi hal buruk pada si bungsu. Bahkan mengeluh atas perlakuan dan perkataan Seli tak pernah keluar dari mulutnya. Bibirnya hanya mengerang, menahan hati yang tersayat-sayat. Kalimat kasar sedari dulu dan tadi itu merasuk ke dalam sum-sum walau mungkin Mak Inah sudah memaafkan. Wanita berusia tujuh puluh tahun itu sadar ucapannya akan menjadi sumpah kutukan jika terucap. Napasnya semakin tersengal-sengal.

Rupanya imbas hati yang menangis tanpa keluar air mata dasyat tiada terkira. Bungsu yang pintar dan cerdas, jauh dari keberuntungan. Setiap merintis bisnis selalu gagal atau ada saja halangan dan kendalanya. Mulai ekonomi naik dan sukses, tahu-tahunya nahas kena tipu oleh kawannya sendiri.

Seli bahkan selalu menyusahkan orang tuanya, padahal statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara seharusnya mampu memberi materi kepada Maknya. Pola hidup hedon dan selalu berutang main riba menjadikan ia selalu merasa kurang.

Anis yang melihat Mak sulit bernapas menjadi khawatir. Gegas ia meninggikan bantal Mak dan membantu mengangkat kepalanya mertuanya itu. Sementara Mak Inah masih memegang dadanya.

"Kita berobat ya, Mak?" ajak Anis. "Bentar, bilang Mas Ardi dulu." Anis keluar kamar menghampiri suaminya kembali.

"Bang, kita bawa Mak berobat ke Puskesmas, yok. Sepertinya Mak sesak atau panggil aja Dek Rian meriksa kemari," bujuk Anis.

"Tak payahlah, repot-repot, bentar lagi baikannya, Mak dulu gitu juga sama si Mbah, tak pernah bawa berobat." Suami Anis itu menjawab dengan posisi masih menatap layar ponsel miliknya. Ternyata benar anak adalah peniru yang ulung. Dalam ingatannya begitu kuat bagaimana perlakuan Maknya terhadap Mbahnya.

 "lah, namanya dah tua, uzur, wajar sakit-sakitan, kelamaan dah dipake itu organ-organ tubuhnya, Mak bilang gitu waktu Mbah sakit, betul jugakan?" imbuh Ardi lagi. Ia berlalu keluar rumah meninggalkan Anis yang bengong.

"Abang, mau ke mana?" tanya Anis setelah sekian detik dan tersadar.

"Mau main ke kedai Tiok bentar,"jawab Ardi tanpa berbalik badan.

Anis berkaca-kaca dan dengan sekedip mata meneteskan air mata. Ia tak tahu lagi caranya bagaimana memberi pengertian pada suami atau adik iparnya yang tak berbakti pada orang tuanya itu. Padahal ia dulunya sudah berusaha memberi nasihat dan masukan. Namun, hingga kini tak pernah digubris. Ia mengusap air mata dengan punggung tanganya. Dalam hati ia membatin pantas saja hidup tak pernah tenang dan berkah inilah penyebabnya.

~

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun