Langit di kota itu berpendar oranye ketika sore mulai merayap pelan. Jalanan yang biasanya padat oleh kesibukan kini semakin riuh oleh para perantau yang bersiap kembali ke kampung halaman.
Terminal, stasiun, dan bandara berubah menjadi lautan manusia yang membawa rindu dalam koper-koper mereka. Semua ingin pulang, menuntaskan kerinduan yang telah lama terpendam di sudut hati.
Setiap tahun, musim mudik selalu membawa cerita yang sama, namun dengan wajah yang berbeda. Ada yang pulang dengan hati berbunga, ada yang pulang dengan dada sesak oleh kenangan yang belum tuntas.
Ada yang menanti hangatnya pelukan ibu, ada pula yang hanya bisa mengunjungi pusara orang tercinta. Mudik bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan batin---perjalanan menuju akar diri yang tak pernah benar-benar lepas.
Aku adalah salah satu dari mereka yang merindukan tanah kelahiran. Di kota ini, aku telah hidup bertahun-tahun, menjalani rutinitas yang kadang membuat lupa akan makna pulang.
Namun, setiap kali Idulfitri mendekat, hati ini selalu ditarik kembali oleh sesuatu yang tak kasatmata. Sebuah tarikan halus yang mengingatkan bahwa di suatu tempat, rumah masih berdiri, dan di dalamnya, seseorang masih menunggu.
Mudik bukan sekadar perjalanan pulang, tetapi juga perjalanan untuk menata kembali kepingan-kepingan diri yang berserakan di tanah perantauan.
Di kota ini, aku menjadi seseorang yang selalu terburu-buru, mengejar waktu, menumpuk ambisi. Tapi di kampung halaman, aku kembali menjadi anak kecil yang menikmati pagi dengan bau tanah basah, sarapan dengan nasi hangat dan sambal terasi buatan ibu.
Rindu yang menuntun kaki untuk pulang tidak pernah sederhana. Ia adalah rasa yang tumbuh dari kenangan, dari suara-suara yang dulu akrab, dari aroma dapur yang menguar dari celah pintu kayu. Ia adalah rasa yang sering kali tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi begitu kuat hingga mampu menggerakkan langkah sejauh apa pun kaki telah melangkah.
Dan kini, aku kembali menapaki perjalanan itu---perjalanan menuju kampung halaman, menuju masa kecil yang tersisa di antara pepohonan dan sawah yang mungkin telah berubah.