Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pendidikan Belum Ramah Anak, Kejahatan Seksual Masih Mudah Terjadi

5 Juni 2021   12:53 Diperbarui: 5 Juni 2021   13:06 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi korban pelecehan seksual anak (tribunnews.com)

KASUS dugaan kejahatan berupa pelecehan seksual yang memakan korban anak-anak pelajar kembali mencuat di Jawa Timur. Kali ini, laporan dugaan  pelecehan dan eksploitasi anak ini terjadi di salah satu sekolah swasta di Kota Batu, yakni SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI).

Kasus dugaan pelecehan seksual dan kekerasan ekonomi pada anak ini pertama terbongkar pada Sabtu, 29 Mei 2021. Dan, saat ini sudah mendapatkan perhatian dan penanganan berbagai pihak. Dugaan kasus kejahatan seksual yang dialami peserta didik ini kini sudah dalam penanganan Kepolisian Daerah Jawa Timur.

Pelaporan kasus ini dilakukan karena ada dugaan pemilik sekolah berinisial JE melakukan kekerasan seksual, kekerasan fisik dan verbal, serta eksploitasi ekonomi kepada puluhan anak. Tercatat hingga saat ini, total ada 21 korban yang melaporkan kasus tersebut ke Polda Jatim.

Ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA) Arist Merdeka Sirait juga sudah turun langsung mendampingi pelapor korban kasus ini. Arist Merdeka bahkan menunjukkan keprihatinannya, karena terlapor pelaku JE yang merupakan pemilik lembaga pendidikan tersebut, merupakan orang ternama yang sudah dikenal luas di Jatim.

Arist Merdeka Sirait menyebut kasus ini sebagai kejahatan luar biasa. Karuan saja, selain dilakukan seorang oknum public figure, kasusnya diduga dilakukan berulang-ulang hingga korban lulus sekolah. Sangat memprihatinkan juga, lantaran pelecehan seksual terjadi di tempat pendidikan, yang sejatinya banyak mendidik dan mengajarkan kemampuan kerja (wirausaha) dan karakter peserta didiknya.

Tak terkecuali, pihak DPRD provinsi Jawa Timur juga tak tinggal diam, dan turun memastikan agar kasus tak terpuji ini agar tidak berimbas panjang. Bagaimanapun, ada dampak lain yang harus dipikirkan selain perlindungan dan penyelamatan para korban.

"Kami sudah langsung sidak, memastikan perlindungan korban, dari kemungkinan intimidasi. Kami meminta tidak ada yang ditutup-tutupi, agar kasusnya bisa cepat tuntas dan bisa dilakukan penyelamatan lebih lanjut," demikian wakil ketua Komisi E (Kesejahteraan Rakyat) DPRD Jawa Timur, Hikmah Bafaqih, Kamis (3/5/2021) siang.

Ditegaskan, pihaknya sendiri mendorong agar dilakukan percepatan proses penyidikan dugaan kasus kekerasan seksual agar cepat mereda. Terlebih, jika ada dugaan lain menyangkut praktik eksploitasi kerja yang membebani pelajar sekolah setempat. Jika dibutuhkan, pemprov Jawa Timur juga akan memfasilitasi proses perlindungan korban.

Bersama pemkot Batu, lanjut Hikmah, sudah dilakukan koordinasi untuk melakukan penyelamatan sekolah agar dampak tidak meluas. Ini karena, tetap ada praktik baik yang memang harus dijaga, dan tidak boleh terhenti karena ulah satu atau lebih oknum yang terlibat kasus kekerasan seksual ini.

Sidak anggota Komisi E DPRD dan Dinas Pendidikan Jawa Timur ke SMA SPI Batu, yang diduga menjadi tempat kejahatan seksual anak oleh oknum pemiliknya, JE. (dokpri)
Sidak anggota Komisi E DPRD dan Dinas Pendidikan Jawa Timur ke SMA SPI Batu, yang diduga menjadi tempat kejahatan seksual anak oleh oknum pemiliknya, JE. (dokpri)
Sekolah sudah Ramah Anak? Belajar dari Kasus SMA SPI Batu

Apa yang terjadi dan mencuat dari kasus SMA SPI Kota Batu ini perlu mendapatkan perhatian serius semua pihak. Bagaimanapun, lokus sekolah tetap harus bisa menghadirkan lingkungan belajar yang ramah anak.

Kasus dugaan kekerasan seksual dan eksploitasi anak di SMA SPI Batu harus benar-benar dievaluasi dan ditelaah kembali secara serius. Komisi E DPRD pun mendorong evaluasi ini bisa dilakukan bersama-sama pihak Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, juga Dinas Perlindungan Anak.

Karuan saja, alih-alih pemagangan dan membekali pengalaman kerja dengan keterampilan yang diberikan, bukan tidak mungkin memunculkan dugaan praktik eksploitasi dengan mempekerjakan anak yang tidak bisa dibenarkan. Dalam Konvensi Hak Anak Sedunia misalnya, jelas diatur jenis-jenis pekerjaan terburuk, yang tidak boleh diberikan dan tidak memberatkan anak.

Pengakuan pelapor yang merupakan alumni siswa misalnya, menyebut beberapa sistem SMA SPI tidak benar. Siswa diminimalisir untuk berinteraksi dengan orang luar, dan terkesan sekolah ini membentuk lingkungan tersendiri bagi siapapun yang ada di dalamnya.

Diketahui, SMA SPI Batu punya satu hotel dan asrama siswa yang berada dalam komplek sekolah dengan luas lahan 700 meter persegi ini. Dalam memberi tugas pekerjaan anak, sering harus bekerja lebih dari 8 (delapan) jam, dan ada waktu istirahat bahkan untuk keperluan menjalankan ibadahnya. Pekerjaan ini banyak dilakukan alumni, sementara bagi siswa diharuskan hanya setiap Sabtu dan Minggu.  

Awasi Bersama Keselamatan Anak

Mencuatnya dugaan kasus kejahatan pelecehan seksual ini bukan kali pertama terjadi. Tahun 2019 lalu, di sebuah SMPN di Kabupaten Malang Jawa Timur juga muncul kasus serupa. Kasus asusila yang dilakukan guru sekolah sendiri ini juga terjadi bertahun-tahun, dan akhirnya menyeret pelaku menjadi terpidana dan harus menjalani putusan penjara.

Munculnya kasus kekerasan dan pelecehan anak bisa jadi merupakan fenomena gunung es. Ini karena masih ada kultur masyarakat kita yang lebih cenderung tertutup terhadap hal-hal yang dianggap tabu soal pelecehan seksual ini. Terlebih, jika ada relasi kuasa yang bisa memenjarakan dan mengebiri anak, yang ujung-ujungnya bisa berakibat kejahatan yang bisa mengancam mereka.

Padahal, kekerasan dan pelecehan ini bukan tidak mungkin juga menjadi gejala sosial yang bisa sewaktu-waktu mengancam keseharian dan masa depan anak-anak. Lebih buruk lagi, ketika anak-anak tidak cukup memahami tindakan tak patut yang bisa dialami akibat kepolosannya.

Hikmah Bafaqih, yang juga pegiat pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ini pun punya atensi khusus, agar anak-anak tetap selalu aman dimanapun berada. Ia menegaskan, perlunya upaya perlindungan berbasis masyarakat.

Bentuknya, dengan penguatan lini pencegahan melalui sekolah ramah anak dan upaya pengasuhan bersama berbasis masyarakat. Menurutnya, keberadaan dan keamanan anak juga menjadi tanggung jawab bersama masyarakat di lingkungan sekitarnya.

"Jadi, anak harus menjadi asuhan orang dewasa di sekitarnya, di sekolah ataupun tempat bermain mereka. Anak siapapun itu. Mereka harus juga diawasi bersama-sama, agar tidak mudah menjadi sasaran kejahatan (kekerasan dan pelecehan)," kata Hikmah.

Dalam pandangannya, hal semacam ini sebenarnya sudah lama ada, dan sudah menjadi local wisdom masyarakat kita. Akan tetapi, kata Hikmah, saat ini banyak terkikis karena kecenderungan individualisme yang menggejala pada masyarakat.

Mengapa kasus kekerasan seksual dan eksploitasi anak bisa mudah terjadi? Soal ini juga tak kalah penting diperhatikan. Lingkungan pendidikan yang tertutup, dengan standar pengawasan kurang memadai, mudah saja menjadi salah satu penyebabnya. Terlebih, jika tempatnya cukup luas dan banyak akses yang tertutup dan sepi, atau sulit terpantau langsung siapapun.

Keberadaan ruang-ruang khusus perlu dipastikan akses pantaunya. Kamar mandi atau ruang ganti atau istirahat misalnya, ada standar yang harus diperhatikan sehingga tetap bisa memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak yang menggunakannya.

Dalam konteks ini, keterbukaan dengan dunia luar harus dijamin. Aparat dan pemangku kepentingan setempat harus banyak-banyak memastikan kewajaran dan standarisasi yang diterapkan di tempat publik yang agak tertutup ini.

Ada bentuk antisipasi lain yang bisa diupayakan, agar bisa benar-benar memberi rasa aman anak-anak dalam kesehariannya. Seperti pemanfaatan teknologi kamera pengintai (CCTV). Akan tetapi, ini juga bukan sepenuhnya jaminan karena akses bisa membukanya tidak bisa sembarangan. Hanya, orang-orang dalam yang punya akses ini.

Dalam Konvensi Hak-hak Anak Sedunia yang sudah diratifikasi, perlindungan merupakan salah satu hak yang harus dipenuhi dan dijamin pada anak, yakni perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan keterlantaran.

Anak-anak yang belum berusia 18 tahun juga tidak diperbolehkan atau dilindungi dari pekerjaan terburuk. Diantaranya, eksploitasi dalam bentuk praktik perbudakan atau sejenisnya, kerja paksa atau wajib kerja, perdagangan anak, pelacuran dan produksi yang mengarah pada pornografi, serta pekerjaan yang tidak aman yang bisa mengancam keselamatannya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun