Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tanpa Memahami Filosofi, Bisa Kering Makna dan Inkonsisten dalam Tindakan

1 Juni 2021   21:38 Diperbarui: 2 Juni 2021   09:04 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi nilai-nilai falsafah Pancasila (mujahiddakwah.com/diunduh)

Garuda Pancasila, 

Akulah pendukungmu

Patriot Proklamasi, 

Setia berkorban untukmu
Pancasila Dasar Negara

Rakyat adil makmur sentosa

Pribadi Bangsaku


Ayo maju, maju

Ayo maju, maju

Ayo maju, maju

***
Lagu patriotisme kebangsaan 'Garuda Pancasila' ini kerap kita dengar semasa di bangku sekolah. Satu pemaknaan lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai simbolisasi Falsafah dan Dasar Negara, yang mestinya dipegang teguh semua anak bangsa Indonesia.


Simbol atau lambang negara berupa Garuda Pancasila ini tidak muncul begitu saja. Ia terlahir dari sebuah proses panjang kesejarahan yang tentunya punya dasar-dasar falsafah dan nilai-nilai filosofis yang bukan sembarangan diyakini.


Para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia sudah sangat meyakini, bahwa Pancasila dan NKRI adalah paripurna dan harga mati. Nilai-nilai falsafah Pancasila diyakini sangat luhur, dan menjadi ideologi yang tidak akan bisa tergantikan sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lambang Garuda Pancasila juga sudah menjadi identitas kebangsaan selamanya, dari masa ke masa. Jati diri yang kemudian selalu terpatri dalam jiwa dan raga semua anak bangsa, tanpa memandang asal muasal suku dan apapun keyakinan (agama) masing-masing.


Jiwa Pancasila akan seketika muncul ketika bangsa ini dihadapkan pada situasi yang berhadapan dengan martabat dan kedaulatan bangsa Indonesia. Jiwa Pancasila ini mewujud pada euforia dan semangat patriotisme, persatuan dan kesatuan, serta kecintaan pada kekayaan Tanah Air.

Sebagai sebuah falsafah berbangsa dan bernegara, tentunya Pancasila tidak sebatas narasi normatif seperti yang ada dalam Lima Sila-nya. Kelima nilai falsafah ini tentunya juga bukan sebatas nilai etis yang harus dipajang, dan dicokokkan sekadar untuk dihafalkan generasi anak bangsa.


Tahukah kita, secara harfiah falsafah mengandung pengertian anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar, atau juga pandangan hidup yang dimiliki oleh orang atau masyarakat (KBBI). Maknanya, falsafah adalah representasi pemikiran sekaligus keyakinan, yang juga bisa mewujud melingkupi keseharian hidup.


Pertanyaannya kemudian, apakah falsafah ini sekadar menjadi pandangan bersama (common sense), atau bahkan sebagai jalan hidup (way of life) kita? Tanpa dipaksakan pun, apakah falsafah Pancasila bisa berwujud nyata dalam tingkah dan perilaku dalam setiap kesempatan keseharian kita?


Dalam konteks ini, falsafah Pancasila bisa jadi masih harus terus selalu diwujudkan, meski sudah diyakini sebagai yang terbaik dan paripurna. Bagaimanapun, Pancasila adalah ilmu yang masih tetap harus dimaknai dan dipahami secara utuh dan sedalam-dalamnya. Terlebih, Pancasila adalah adab yang juga harus selalu dipraktikkan dalam kehidupan selamanya.


Karena itu pula, bagi anak-anak bangsa, sebuah falsafah selayaknya tidak bisa diterima begitu saja sebagai sebuah hal yang given, alias sudah muncul begitu adanya sejak dulu. Falsafah Pancasila punya filosofi, yang memang harus juga diketahui dan dipelajari, lalu dihayati dan dimaknai mendalam, untuk bisa menjadi dasar dan landasan dalam kehidupan.


Penjelasan tekstualnya, filosofi itu berintikan logika, estetika, epistemologi, dan juga metafisika. Semua itu merupakan penunjang untuk mempelajari filsafat. Memahami apa itu filosofi, diyakini akan membawa pengaruh besar terhadap kualitas hidup, untuk mencapai tujuan tertinggi pada kehidupan ini. Bagi ilmuwan, filosofi berarti kerangka berpikir kritis untuk mencari solusi atas segala permasalahan, yang berpijak pada pemikiran yang matang dan kritis.


Memaknai falsafah Pancasila layaknya ahli filsafat memang terlalu muluk, dan sangat mungkin tidak begitu penting bagi orang kebanyakan. Namun, bagaimanapun yang perlu dipahami adalah, banyak pijakan pemikiran (logika-epistemologis) dan keyakinan (estetika-metafisik) yang mendasari lahirnya Pancasila sebagai falsafah kebangsaan kita.


Para tokoh pencetus lahirnya Pancasila seperti Mohammad Yamin, Dr Soepomo dan Soekarno - Mohammad Hatta, pastinya mendasarkan filosofi sebelum dan selama pencetusan falsafah Pancasila ini. Dan mereka punya ilmu, pemikiran, bahkan juga keyakinan, etis dan metafisik, dalam menyusun setiap sila Pancasila berikut maknanya. Mereka juga pastinya punya guru dan pengikut, dari semua kapasitas keilmuan dan filosofi yang dimiliki.


Akan tetapi, menjadi tidak berlebihan sekiranya, untuk tetap memaknai filosofi Pancasila. Setidaknya, ini untuk menghindarkan kita semua terlalu terjebak pada simbolisme semata. Terlebih lagi, menjadikan Pancasila sekedar jargon dan produk sejarah, namun kering pemaknaan dan penerapannya.


Sekadar ilustrasi, dari Lima Sila Pancasila, tak satupun yang tanpa ada pemaknaan filosofinya. Sila Persatuan Indonesia misalnya, didasarkan pada kenyataan bangsa Indonesia yang berasal dari ratusan suku, mulai Sabang (Aceh) sampai Merauke (Papua).


Suku dengan keberagaman kultur dan sosial budaya masing-masing ini tetap harus terbingkai dan tersatukan dalam NKRI. Keberagaman dan perbedaan yang juga harus diperhatikan, sesuai pesan ajaran Islam: 'Bahwasanya, telah diciptakan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling memahami (taaruf), dan didamaikan agar tidak terjadi perselisihan (karena perbedaan)'.


'Tangguh!' Memaknai Filosofi Pancasila 

Setiap 1 Juni, menjadi momen peringatan Hari Lahir Pancasila. Lagi-lagi, jargon 'tangguh' menjadi pilihan tema ada peringatan Hari Besar Kebangsaan tahun ini. 'Pancasila dalam Tindakan, untuk Indonesia Tangguh'.


Pancasila pertama kali dicetuskan M. Yamin, yang merupakan seorang sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum. Melalui Sidang BPUPKI pertama dilaksanakan pada 29 Mei-1 Juni 1945, maka tercetus dasar negara yang diberi nama Pancasila, dan Pancasila ditetapkan lahir pada 1 Juni 1945.


Sementara, mars "Garuda Pancasila" ditulis oleh Sudharnoto, salah satu seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). 'Garuda Pancasila' ini yang kemudian dipakai dan ditetapkan sebagai lagu nasional sampai saat ini. Lirik lagu ini berisi tentang semangat perjuangan dan kesetiaan rakyat Indonesia kepada Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.


Ya, pilihan mewujudkan 'Pancasila dalam Tindakan' sudah tepat karena memang sudah menjadi keharusan. Bukan sekali ini saja memang. Selama rezim Era Orde Baru Soeharto, Pancasila sudah banyak dicokokkan pada generasi muda, melalui program Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).


Pasca Reformasi, program pendidikan Bela Negara terus digalakkan, salah satunya tentang pengamalan nilai-nilai Pancasila dan NKRI. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga tak tinggal diam, melakukan program Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan tiap tahun. Ada juga, ajang pencarian duta-duta Pancasila yang digelar berbagai pihak.


Dalam konteks kekinian, sikap dan tindakan yang mencerminkan nilai-nilai luhur Lima Sila Pancasila memang sudah tak bisa dikesampingkan lagi. Mencokok pemikiran bangsa Indonesia dengan falsafah Pancasila sebagai ideologi kebangsaan mungkin sudah cukup setelah lebih dari 76 tahun.


Dalam konteks tatanan dan kenegaraan, berfalsafah Pancasila mestinya semua sudah bersepakat. Kecuali, ada upaya merongrong atau bahkan menggantinya melalui upaya melawan pemerintahan atau separatisme. Sejak era Orde Baru, pemerintah memang terlalu sibuk memikirkan soal kedaulatan ideologis ini. Hampir berulang selama beberapa tahun terakhir, bagaimana pemerintah terlalu sibuk juga menangkal berbagai dugaan aksi separatis melalui isu-isu radikalisme.


Ada kritik kuat, bahwa semestinya sudah tidak perlu lagi pemerintah terlalu menyibukkan diri dengan pelabelan anti-Pancasila yang dibuat-buat. Apalagi, ini sengaja untuk memasung dan mengebiri anak bangsa, demi kepentingan kekuasaan. Cap anti-Pancasilais yang akhirnya bisa memunculkan ketakutan dan ketidakleluasaan di tanah kelahiran sendiri.


Selebihnya, sudah waktunya memang perilaku Pancasilais kini lebih dikedepankan. Terlebih masa sulit pandemi kini, pilihan mendorong dan memperkuat ketangguhan sangatlah tepat, bahkan untuk sebuah kemenangan di masa mendatang. Internalisasi falsafah Pancasila yang sudah dilakukan puluhan tahun melalui pendidikan, tinggal diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.


Ketangguhan ini mensyaratkan banyak kekuatan personal semua warga negara. Seperti semangat juang, etos kerja, disiplin, gotong royong, persatuan dan empati sosial. Masa pandemi yang juga telah menghantam Indonesia lebih dari setahun terakhir, menjadi ujian penting bagi ketangguhan ke-Indonesia-an ini.


Sejak masa reformasi, Indonesia telah mampu melewati berbagai ujian yang sebenarnya bisa mengancam munculnya disintegrasi bangsa. Adanya kecemburuan sosial dan antipati komunal yang sempat mengemuka kala itu, tidak lantas menghancurkan keutuhan Tanah Air kita. Indonesia tetap bisa melewati segala cobaan dengan kuat dan berdaulat.


Dan, kali ini kedaulatan Indonesia juga tengah dihadapkan tantangan, dari krisis dan ketidakpastian akibat pandemi. Penyelamatan kemanusiaan menjadi prioritas utama yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo - KH Ma'ruf Amin, yang kemudian dilanjutkan dengan pemulihan hajat hidup dan kemaslahatan warga negara dari berbagai dampak yang ditimbulkannya.


Meski belum bisa dikatakan selesai sepenuhnya, pengendalian dan pemulihan situasi akibat pandemi ini bukan tanpa hasil. Kedewasaan bangsa Indonesia menjadi salah satu faktornya, dengan tetap lebih mengendalikan diri dan memberi kepercayaan pemerintah untuk mengatasinya.
Pemaknaan pada esensi berserah diri (tawakal), dan juga ketaatan pada penguasa (ulil 'amr), nyata ada sebagai perwujudan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengendalian pandemi secara bertahap dan berkeadilan, dengan disiplin protokol yang ketat juga cukup bisa diterima. Hal ini relevan dengan prinsip Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.


Bersatunya semua warga masyarakat dalam berbagai upaya menghadapi krisis dan dampak pandemi juga tak bisa dinafikan. Semua elemen masyarakat saling bergotong royong, membangun kesepahaman dan kesadaran bersama-sama, bahwa pandemi tidak bisa dihadapi sendirian oleh pemerintah. Rakyat Indonesia pun bersatu  #LawanCorona!


Sikap ini tentunya berlandaskan nilai-nilai luhur sikap kebersamaan dan kesetiakawanan. Bahwa, pandemi harus dihadapi siapapun, tanpa melihat dari mana asalnya. Pada akhirnya, sikap ini pula yang melahirkan kepedulian dan empati sosial, saling menjaga kepentingan bersama. Terlebih, bagi yang jauh lebih lemah, maka tidak bisa begitu saja diabaikan.


Wujud pengamalan nyata dari nilai-nilai falsafah Pancasila inilah yang memang dibutuhkan kini. Semua dilakukan dengan sadar, tidak dipaksakan atau dibuat-buat, tanpa embel-embel kepentingan, terlebih untuk kepentingan politik dan kekuasaan.


Bertindak untuk kebaikan, kemaslahatan dan kemakmuran sesama tidak harus berlabel Pancasilais. Apalagi, jika cap Pancasilais ini hanya diartikan sempit sebagai ukuran pemahaman kebangsaan. Atau bahkan, tindakan Pancasilais ini sekadar gagah-gagahan alias latah sok-sok-an!


Sekali lagi, Pancasila punya nilai nilai filosofi yang sarat makna dan relevan bagi kehidupan bangsa, dari masa ke masa. Pancasila semestinya bukan gambar dan simbol, untuk sekadar dibanggakan. Pancasila adalah nilai-nilai jati diri bangsa yang semestinya tercermin dalam tindakan yang ajeg.


Penekanan Soekarno dalam semboyan pada pita di kaki Garuda Pancasila bukan tanpa alasan, yakni 'Bhinneka Tunggal Ika'. Bahwa, keberagaman apapun yang ada pada bangsa Indonesia jangan lantas memunculkan perselisihan dan perpecahan.


Tujuan Republik ini hanya satu, mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua rakyat Indonesia! Dengan kesejahteraan yang adil sentosa, maka dengan sendirinya bangsa ini akan selalu kuat, tangguh, dan berdaulat! Semoga (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun