Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Catatan Hardiknas, Jalan Panjang Perjuangan dan Pengabdian Guru

3 Mei 2021   01:27 Diperbarui: 3 Mei 2021   01:29 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi guru mengajar (Tribunews.com)

TEMA agung menjadi semangat peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei tahun ini. Yakni, Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar. Sebua tema yang sejatinya bermakna komitmen dan cita-cita bersama, agar pendidikan bisa diwujudkan dalam iklim dan situasi yang kondusif dalam segala kendala dan keterbatasan yang ada.

Serentak Bergerak, berarti perlu percepatan dan kecepatan langkah bagi  kemajuan dari pendidikan yang baik dan bermutu. Sebuah semangat, yang juga berkonsekuensi bagi lahirnya motivasi dan inovasi yang semestinya dilakukan.

Sementara, Merdeka Belajar berkonotasi kebutuhan belajar warga Indonesia yang bisa didapatkan secara leluasa dan memadai. Merdeka Belajar bisa dimaknai pendidikan yang bisa diakses seluas-luasnya dan tidak terhambat berbagai kebijakan dan praktik yang justru kontraproduktif dengan cita-cita pendidikan yang harusnya memberdayakan.

Pesan HOS Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam, di era pergerakan sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia juga patut terus kita renungkan. Pesan ini sempat disampaikan pada murid-muridnya, salah satunya Semaoen.

Bunyinya: "Walau sudah di jalan yang tepat, tapi jika hanya berdiam diri saja, kamu pasti tetap akan terseret arus perubahan jaman. Ikutlah bergerak di tengah-tengah gelombang arus perubahan."

Dalam perjalanannya, pendidikan di Indonesia juga telah melewati beberapa dekade, dan mengalami dinamika situasional yang berbeda dari waktu ke waktu. Situasi dan gejala sosial yang akhirnya memunculkan antisipasi dan respon jaman.

Maka lahirlah misalnya gerakan Revolusi Mental melalui pendidikan era awal kepemimpinan Kabinet Indonesia Bersatu. Lalu dilanjutkan muatan Penguatan Pendidikan Karakter sejak beberapa tahun terakhir.

Hingga dilahirkannya kebijakan pendidikan sebagai perluasan akses dan percepatan mutu melalui program Zonasi mutu pendidikan, Guru Pembelajar atau Guru Penggerak. Pada jenjang pendidikan kejuruan, Presiden Joko Widodo bahkan memberi atensi khusus dengan mengeluarkan instruksi yang mengatur Revitalisasi SMK.

Situasi pandemi Covid-19 juga mengubah wajah baru pendidikan di Tanah Air dengan cepat. Pembelajaran berbasis Teknologi Informasi yang sebelumnya masih hangat-hangat tahi ayam diterapkan, serta merta menjadi keharusan lebih dari setahun terakhir. Pandemi akhirnya membangkitkan dengan cepat mindset baru pembelajaran yang banyak dilakukan dalam jaringan (daring).

Hingga era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem A Makarim, memang lebih banyak terlihat upaya percepatan memajukan pendidikan yang dilakukan. Meski, tidak sedikit pula inisiatif yang harus dilakukan untuk memenuhi kekurangan dan mengejar ketertinggalan pendidikan anak bangsa ini.

Mendongkrak kemampuan numerasi dan literasi siswa, masih menjadi pekerjaan besar pendidikan yang harus diwujudkan. Dua kemampuan yang bisa mendasari pengembangan pengetahuan dan keterampilan apapun yang lain, untuk bekal kesuksesan generasi masa depan.

Berbagai tantangan dan dinamika situasional yang terjadi memang harus direspon dengan kebijakan dan penyikapan tepat. Banyaknya respon yang diberikan, semestinya tidak sekadar reaktif dan responsif, namun tetap adaptif dan antisipatif bagi kemunculan perubahan jaman yang serupa kelak.
Adaptif berarti bisa menjadi pranata yang bisa mendasari, sekaligus bisa diterapkan setiap waktu sebagai keberlanjutan dari kemanfaatannya. Sebaliknya, banyaknya kebijakan dan perubahan yang dihasilkan jangan lantas mengeringkan atau bahkan menghilangkan nilai kebijakan lama yang bermakna sebelumnya.

Soal penerapan kurikulum yang terus berganti-ganti misalnya, harus diimbangi dengan assesmen tepat, dan tidak dalam waktu singkat. Terlebih, jika penerapannya kurang maksimal dan asal mencapai beban atau target ketuntasanya saja.

Tuntutan Kinerja Guru, antara Ideal dan Kesenjangan
Terlepas dari pemaknaan tema Hardiknas di atas, secara prinsip pemenuhan pendidikan adalah wujud komitmen dan kewajiban, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembangunan pendidikan juga sebuah cita-cita besar membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

Konteks komitmen pada pendidikan ini, tidak semata bertumpu pada pemerintah saja, bahkan juga menjadi tanggung jawab bersama masyarakat dan stakeholder lainnya. Komitmen yang tentunya membutuhkan atensi, intervensi dan daya dukung, baik sistem, tata kelola, hingga penganggarannya.

Soal atensi dan daya dukung ini, memang kewajiban pemerintah yang sekaligus menjadi pekerjaan rumah hingga kini. Ini karena masih banyak kekurangan, yang akhirnya juga menjadi kesenjangan dan ketimpangan yang masih terjadi. Ketimpangan yang juga dialami para guru, sebagai ujung tombak pelaku pendidikan.

Sebagian besar guru di Indonesia masih berkutat pada persoalan dan kesenjangan, antara tuntutan kinerja profesional dengan fasilitas dan daya dukung bagi hak-hak yang harus didapatkan. Akses dan ruang bagi pemenuhan kinerja profesional terbaik, belum didapatkan secara merata dan memadai bagi banyak guru dalam menjalankan pengabdiannya.

Sekali lagi, praktik pendidikan yang nyata adalah pengalaman langsung yang dihadapi guru setiap menjalani tugasnya. Pada saat yang sama, kesiapan dan kondisi lingkungan kerja, adalah hal yang harus tetap disikapi setiap saat dan sewaktu-waktu. Ada ideal harapan besar ditumpukan pada pundak guru, ada pula kenyataan dan pengalaman lapangan yang ditemuinya pada waktu bersamaan.

Tuntutan kinerja profesional dan dedikasi adalah hal pasti. Beban/muatan kurikulum, jam kerja dan mengajar, assesmen masalah belajar, hingga pengembangan bakat personal siswa menjadi kewajiban yang harus dipenuhi. Belum lagi, keharusan tugas tambahan atau pengembangan keprofesian, tidak bisa dielakkan semua guru.

Sementara, daya dukung dan prasarana lingkungan juga dibutuhkan guru. Bahkan, ini mungkin sangat vital dan tidak bisa disepelekan, agar tuntutan kinerja bisa benar-benar dipenuhi dan tugas mengajar mampu dijalankan dengan profesional dan penuh dedikasi. Apalagi, kinerja dan keteladanan seorang guru harus selalu baik, karena memang sebagai panutan anak didiknya.

Dalam konteks tersebut, jalan panjang masih harus dilewati banyak guru. Jalan perjuangan yang kadang melelahkan, dan tak jarang juga akhirnya melumpuhkannya. Adanya kesenjangan berkepanjangn kerap menjadi ujian berat bagi loyalitas dan totalitas pengabdiannya dalam mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.

Soal kesempatan mengembangkan profesi juga kesejahteraan adalah kesenjangan yang masih jamak dialami guru. Kesenjangan yang akhirnya memunculkan ketimpangan, antara idealisme dan tuntutan dengan kenyataan daya dukung bagi fasilitasi proses penyelenggaraan pendidikan yang ada.

Tengok saja, bagaimana banyak guru harus kehilangan kesempatan berharga. Para guru honorer misalnya, alias guru tidak tetap (GTT), selama ini masih dihadapkan dilema karena kesejahteraan yang masih rendah. Guru honorer di sekolah negeri atau lembaga pendidikan milik pemerintah, juga masih kesulitan akses yang sepenuhnya bisa menunjang kinerjanya.

Sebut saja Eri Fatmawati (34), guru SDN Tegalsari 2 Kepanjen Kabupaten Malang, harus menerima honor tidak lebih dari Rp 500 ribu/bulan saja. Honor resminya sebenarnya hanya Rp 250 ribu/bulan, namun namun ditambah karena banyak tugas tambahan yang harus dipenuhinya.
Sehari-hari, Eri Fatmawati menjadi Guru Kelas 1 merangkap wali kelas. Tetapi, ia juga diberi jam mengajar mapel Bahasa Inggris untuk semua kelas. Ia mengajar kelas 1 setiap hari, mulai pagi sampai jam 10, setelah mengajar di kelas lain.

Sebagai guru honorer muda, Eri Fatmawati tetap memimpikan jenjang karir dan lebih berkembang keprofesiannya. Ia masih ingin bisa kuliah lagi, namun harus memikirkan kendala biayanya. Honor sebesar Rp 500 ribu/bulan belum sepenuhnya cukup untuk mewujudkan keinginannya.

Mimpi kuliah lagi ini, bukan tanpa alasan. Ini karen ia hanya lulusan S1 Bahasa Jerman, sehingga mengajarnya belum linier sesuai sesuai kualifikasi yang diharuskan. Kondisi ini akhirnya menyulitkan, karena ia belum bisa diakui dalam dapodik (data pokok pendidikan). Akibatnya, kesempatan mengikuti program pemerintah belum bisa diikutinya.  

Sementara, Eri Fatmawati mengaku hanya pasrah menunggu bantuan beasiswa dari pemerintah untuk bisa kuliah penyetaraan S1 PGSD agar bisa linear. Akan tetapi, kondisi ini juga tak lantas membuatnya putus asa dan lebih menikmati tugasnya menjadi pendidik.

Ia menyatakan, yang penting bisa mengajar serius ke anak-anak dan memberi pelayanan ke masyarakat yang komunikatif. Apalagi, siswa di tempat mengajarnya kebanyakan dari keluarga kurang mampu, dan pendidikan orang tuanya rendah.
"Butuh kesabaran dan ketelatenan yang lebih memang. Ya, anggap saja ibadah, bukan kerja," akunya.

Lain halnya, Ike Devi Isnaeni (35), guru di SDN Panggungrejo 1 Kepanjen. Ia menjadi guru honorer dengan masa kerja lebih lama, sejak Oktober 2005. Honor yang didapatkannya dari mengajar memang bisa sedikit lebih banyak, bergantung berapa kali masuk kerja dalam sepekan dan lama mengabdi sebagai guru.

Pengabdian Ike Devi menjadi pendidik tak diragukan dan patut diapresiasi. Karuan saja, ia sudah berpindah tempat mengajar hingga empat SDN dari tiga kecamatan berbeda. Ia bahkan mulai mengajar sejak lulus SMEA di SDN pinggiran, dan menjadi guru sukwan selepas lulus D2 PGSD.

Dibanding Eri Fatmawati, ia lebih beruntung karena bisa mendapatkan bantuan insentif GTT/PTT dari pemkab Malang setahun sekali. Ia sudah masuk database honorer dan dapodik, sehingga lebih berkesempatan mendapatkan peningkatan kompetensi dan keprofesian.

Akan tetapi, Eri Fatmawati dan Ike Devi, keduanya masih terganjal kesempatannya mengikuti program Sertifikasi Guru. Ini karena hingga kini, pengabdian mereka masih sebatas diakui di satuan pendidikan masing-masing. SK pengangkatan kepala daerah atau pejabat pembina kepegawaian dari pemerintah tak kunjung didapatkan meski sudah mengajar puluhan tahun.

Kini, para guru honorer sangat menggantungkan harapannya bisa diangkat melalui program rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK) oleh pemerintah. Akan tetapi, mereka masih dibayangi harap-harap cemas karena persaingan seleksi yang dipersyaratkan.

Ibarat kata, para guru honorer masih harus bersusah payah dalam perjalanan panjang untuk pengabdian luhur dan memperjuangkan kesejahteraannya. Perjuangan yang memang sangat dibutuhkan bagi sebuah dedikasi dan kinerja terbaik yang memang harus diwujudkan dan menjadi tekad luhur sebagai pendidik anak bangsa. 

Sementara, tuntutan perubahan dan perkembangan jaman adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari dan juga harus diikuti oleh para guru. Perkembangan jaman yang memang mengiringi peradaban manusia yang tidak berkesudahan. Saking banyaknya perubahan yang haru disikapi, sampai-sampai guru bahkan kerap lupa memikirkan kondisi diri sendiri.


Selamat Hari Pendidikan Nasional! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun