Mohon tunggu...
Septi Mayuli
Septi Mayuli Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Resensi Novel "Pergi" karya Tere Liye

14 Agustus 2018   18:05 Diperbarui: 2 September 2018   18:42 19552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.bukurepublika.id

Banyak kelebihan dari novel 'Pergi'. Selain tema cerita yang menarik, Tere Liye berhasil membawa pembaca ikut merasakan ketegangan yang terjadi antara keluarga penguasa Shadow Economy, merasakan keromantisan cerita cinta antara Samad dan Catrina, mulai dari rindu yang menggebu, kekecewaan dan kemarahan karena perpisahan tanpa alasan yang jelas.

Pembaca ikut merasakan dengan jelas kemarahan Diego pada bapaknya karena telah meninggalkannya dan ibunya, pembaca juga dapat memetik banyak pelajaran dari kalimat demi kalimat yang Tere Liye tulis dalam novelnya ini. Novel ini berusaha menyadarkan pembaca bahwa kita sejatinya sedang dalam perjalanan, lalu pertanyaannya, kemana kita akan berjalan? Kemana kita akan pergi? Dengan siapa kita akan pergi?.

Membaca novel 'Pergi' seperti menonton film action, namun dibumbui dengan kisah romantis, dihiasi dengan pesan-pesan moral dan nasehat-nasehat religius. Novel ini sangat unik dan berbeda dengan kebanyakan novel yang tersebar di toko buku tanah air. Di dalamnya tidak melulu tentang peperangan antar keluarga Shadow Economy, tetapi disisipi dengan cerita cinta, nasehat-nasehat hidup dan nilai-nilai religi yang mengena di hati.

Keberadaan Shadow Economy yang diceritakan dengan rinci, terasa sangat nyata dan berhasil membuat pembaca menimbang-nimbang fakta keberadaan Shadow Economy di dunia nyata, apakah Shadow Economy benar-benar ada di dunia nyata atau fiktif belaka?, setelah membaca novel ini, pertanyaan seperti itu akan menggelitik pembaca.

Tere Liye berhasil menceritakan dengan detail karakter tokohnya, membuat pembaca bisa membayangkan bagaimana Bujang yang gagah dan cerdas dengan taktik dan ide-ide briliannya, Yuki dan Kiko dengan penampilannya yang selalu cerah dan suka bermain-main. Salonga dengan topi lebarnya, baju kaus oblong tipis berlengan pendek dan celana panjang gelap. Salonga selalu setia mendampingi Bujang dan memberikan nasehat-nasehatnya tentang hidup. Dan banyak tokoh lainnya yang diceritakan dalam novel.

Selain kelebihan, sebuah karya tentu memiliki kekurangan. Begitu juga dengan novel ini, salah satu kekurangan yang saya temukan adalah ketidaksinkronan pernyataan Bujang di halaman 12 dengan pernyataan di halaman 309. Di halaman 12 Bujang menyatakan bahwa sedikit sekali orang yang mengetahui nama aslinya, Agam. Hanya tujuh orang, lima diantaranya telah meninggal; Bapak, Mamak, Kopong, Guru Bushi , dan Tauke Besar. Menyisakan Tuanku Imam dan Salonga. Namun di halaman 309 pernyataan yang di kemukakan Maria berbeda dengan pernyataan Bujang sebelumnya, Maria mengenali Bujang dari foto Bujang yang ada di kampusnya, kampus yang juga merupakan tempat Bujang berkuliah dulunya. Di sana diceritakan tentang kisah seorang Agam yang mengikuti lomba lari melawan pemegang rekor dunia, sering berdebat dengan dosen dan karya ilmiah yang di muat di berbagai jurnal dunia. Berarti, nama asli Bujang diketahui banyak orang, bukan hanya di kampusnya dulu, bahkan di berbagai belahan dunia.

Proses dan hasil Interogasi di halaman 71, yang dilakukan Bujang pada Chen sangat janggal dan kurang masuk akal. Di dalam interogasinya Bujang menanyakan tujuh pertanyaan yang kesemuanya di jawab oleh Chen dengan  mendengus, menggeram dan sesekali meludah. Mendengus, menggeram diartikan Bujang sebagai jawaban 'iya', sedangkan meludah diartikan sebagai jawaban 'tidak'. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa itu adalah kelebihan dan kehebatan Bujang dalam membaca reaksi Chen, namun saya menganggap itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan janggal. Betapa sebuah jawaban yang terencana jika Chen menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan Bujang dengan menggeram dan meludah. Kalau satu atau dua pertanyaan masih dapat diterima, namun dalam kasus ini Chen menjawab tujuh pertanyaan Bujang dengan pola yang sama. Seharusnya sebagai seseorang yang ingin tutup mulut dan tidak ingin berpihak pada keluarga Tong, Chen lebih masuk akal jika bertahan diam dengan keras kepala. Bujang entah atas dasar apa mengartikan geraman Chen adalah jawaban 'iya' dan meludah adalah jawaban 'tidak'. Semua itu membuat saya merasa janggal saat membacanya.

Ending novel 'Pergi' tidak seperti yang saya harapkan sebelumnya. Saya pikir Bujang akan berhasil atau setidaknya lebih berusaha membawa keluarga Tong atau bahkan Shadow Economy pergi dan memiliki kehidupan yang lebih terang, jauh dari hidup yang kelam dan jahat. Namun di akhir cerita, Bujang malah pergi membawa dirinya sendiri. Dia keluar dan melepaskan diri dari keluarga Tong. Namun meskipun demikian, menurut hemat saya, setelah membaca akhir cerita, Bujang belum benar-benar pergi untuk menemukan tujuan hidupnya, bisa jadi Tere Liye akan membuat novel baru yang berhubungan dengan novel ini dan akan menjelaskan arah pergi dan tujuan Bujang yang sebenarnya.

Terlepas dari kekurangan yang saya kemukakan sebelumnya, saya tetap sangat menyukai novel ini, beberapa kalimat yang Tere Liye tulis bahkan mampu membuat pembaca meneteskan air mata. Saya sendiri membacanya sambil memegang dada yang terasa sesak. Kesedihan, ketegangan dan kemarahan terasa sangat nyata.

Nasehat-nasehat yang ada di dalamnya sampai ke hati, itulah yang sejak dulu tidak pernah lepas dari karya-karya Tere Liye. Maka tidak salah jika sedari dulu saya sangat menyukai karya-karyanya. Bagaimanapun, novel yang berjudul 'Pergi' ini tetap berhasil membuat saya berkali-kali jatuh cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun