Mohon tunggu...
Swasti
Swasti Mohon Tunggu... Lainnya - Swasti

Hari ini aku belajar dan berlatih merangkai kata, karena aku ingin menjadi seorang penulis kelak.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Merah, Kuning, Hijau si Buah Kopi: 'Kan Mengharum Hitam di Cangkirmu (5)

18 Maret 2017   18:46 Diperbarui: 19 Maret 2017   04:00 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.shutterstock.com

***

 Hatiku sudah pulih sama sekali, bersama senyum mentari dan kerdip bintang-bintang.

Terkadang di kala senggang, abah masih mencandaiku tentang ‘tragedi cintaku’ dengan Danang. Ia menyamakannya dengan kisah di bioskop ‘Beauty and the Beast’.

Aku selalu tertawa jika abah sudah berkata seperti itu, dan menggelendot manja di lengan kanan abah.

“Ah, abah. Baiklah, jika begitu, nanti setiap ada kawan pria baru Cece, akan diperkenalkan kepada abah dulu atuh. Jika setuju baru lanjut, jika tidak ya putus,” kataku merajuk.

Sejatinya, kegagalan hubunganku dengan Danang tidak membuatku patah arang. Aku tetap melanjutkan pergaulan yang wajar dengan para pemuda-pemudi di kampung kami yang damai ini.

Mungkin saja, selama ini namaku memang hanya dikenal sebagai putri abah, sebagai anak bungsu kesayangannya. Namun sejalan dengan beranjaknya usia, tampaknya beberapa pemuda mulai mengasumsikan diriku sebagai gadis yang ideal untuk dijadikan pasangan hidupnya. Mereka perlahan mendekatiku, dan mulai menanyakan kemungkinan tersebut.

Tak pelak, hal itulah memberatkan sedikit perasaanku di hari-hari ini. Kuupayakan menolak secara sopan, tanpa menyakiti hati mereka.  Toh, tak ada tekanan dari pihak mana pun, karena itu tak ada masalah berarti tentang kehidupan sosialku.

Entahlah, aku tak ingin menikah dengan sekadar berlandaskan cinta. Aku tak mau mengawini cinta, melainkan: aku ingin mengawini cinta plus ilmu. Pengetahuan dan wawasan luas, yang bisa mengangkat harkat petani kopi kampung kami. Cakrawala tak berbatas yang mampu menyulap kehidupan petani agar tidak ‘begini-begini’ terus.

Salah satu obsesiku adalah membesarkan bisnis kopi, secara elegan.

Sore itu, bagai waktu yang terulang kembali. Di sebuah sore yang sejuk, kembali uwak memperkenalkanku pada Imam. Ia bekerja di bank pemerintah cabang kota Garut. Kami minum kopi bersama, hangat, mendobrak kebekuan hati-hati manusia.

Pada mulanya, ia menjadi petugas mewakili kantor cabang tempatnya bekerja, untuk menawarkan Kredit Usaha Rakyat, yang disingkat KUR. Untuk itu ia rajin berkeliling kampung, bahkan tanpa keberatan menghadiri acara-acara di sini. Juga tentunya, tak lupa ia mengunjung cafe uwak, untuk mencari masukan sekaligus mempromosikan program KUR-nya. Terus terang, apa yang diusungnya, menjadi wacana baru, maklumlah konsep tawaran pinjaman dan urusan perbankan belumlah lazim bagai kami.

Ia rajin memberikan pengarahan bagaimana tata cara untuk mengambil kredit, atau menyusun anggaran beserta proposalnya, ataupun menyiapkan agunan kredit.

Kemarin, ia bercerita tengah mengusulkan pada pimpinan cabang, agar kolateral atau agunan KUR dipermudah, yakni tidak hanya terbatas pada kebun kopi, tapi bisa juga bisa mengagunkan rumah tinggal petani. Alasannya, sering kali ia mendapati banyak petani kopi yang tidak memiliki lahan perkebunan sendiri, melainkan menyewa dari pihak lain.

Bagiku entahlah, karena sepak terjangnya, atau karena penampilannya yang berhasil menawanku.

Wajarlah, kurasa masyarakat sekitar juga tercengang-cengah oleh pendekatannya yang bersahabat. Salah satunya ajakan populernya adalah berlaku pandai dalam perbankan.

Di suatu hari Minggu, aku begitu antusias mengundangnya datang ke rumah, untuk memperkenalkannya dengan abah. Ah, itu karena tadi malam di bangku teras cafe, ia telah berani memegang tanganku, dan memintaku untuk menjadi kekasihnya. Segala kepenatan hidup, kemudian meluluh-lantak dalam kehangatan hujan tatapannya, yang menderas.

***

Mas Imam duduk berhadap-hadapan dengan abah, ditemani secangkir kopi hitam buatanku di atas meja. Aku duduk agak sedikit menjauh, seperti biasa di kursi rotan kesayanganku, sebentar-sebentar aku berdiri ke dapur membantu umi menyiapkan makan malam.

“Bagaimana…  Kemudian….. “ lamat-lamat kudengar suara abah dari pawon kami, juga derai tawa mereka.

Aku menyuguhkan sepiring pisang goreng hangat. Olahan pisang kepok kuning yang kubeli dari warung mak Sapinah tadi pagi.

Sekilas dari lirikan mas Imam, aku tahu bahwa kehadiranku menjadikannya makin bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan abah.

Mas Imam menyesap kopinya dan memandangku memuji. Walau tak sampai mengatakan,”Kopi buatanmu numero Uno,” tetapi aku berasumsi bahwa ia bermaksud begitu.

Ia semakin asyik berdiskusi dengan abah, yang membuatku entahlah.. ikut bangga.

“Keterlibatan pengijon bisa dihilangkan dengan kebersatuan para petani untuk melawan campur tangan mereka. Mungkin, suatu saat nanti bisa kita dirikan suatu koperasi yang kredibel, artinya terpercaya dan profesional,” jelasnya.

“.. akan disediakan kredit dengan bunga yang sangat rendah buat para petani kopi, hingga para pengijon takkan dibutuhkan lagi, dan dengan sendirinya mereka akan lenyap sendiri,” paparnya di lain kesempatan.

Ia mengutarakan kesemua hal tersebut dengan bahasa yang tak membosankan.

Umi kemudian bergabung bersama kami. Kami ramai-ramai bertukar pikiran dengannya, menanyakan ini itu, mengerubutinya bagai seorang pesohor.

Kerumpulan buah kopi rehat sejenak menyaksikan kebahagiaan keluarga kami.

**

Begitulah. Biasanya, sepulang dari kantor dan menyelesaikan urusannya, ia kerap bertandang ke rumah kami. Kehadirannya menjadi tak asing lagi, bukan hanya di rumah tapi juga di desa kami. Niatan hatinya tak pernah ingin merugikan siapa pun juga.

Berita tentangnya juga ramai meruyak dalam komunitas kopi. Selalu menyiratkan ajakan yang memberikan manfaat.

“Abah merestui hubungan kalian, Ce,” ungkap abah suatu hari, sesaat seusai mas Imam bertandang. Syukurlah, ini adalah sebuah dukungan yang amat kuharapkan, menghapus memoriku tentang kisah sedih Danang di masa lalu, pikirku bahagia.

“Terima kasih abah, Cece belum ingin terburu-buru,” jawabku sambil memandanginya dengan penuh kasih sayang. “Apa pun itu, Ceri tak hendak meninggalkan abah. Sampai kapan pun, abah tetap nomer satu buat Ceri.”

Dunia memang menakjubkan, tidakkah kaupikir seperti itu?

Dan aku pun berangan tentan rumah tangga yang suatu saat kubangun bersama mas Imam. Tinggal di suatu rumah mungil yang indah, dengan lokasi yang tidak berjauhan dengan rumah abah.

Bunga kopi pun bermekaran, menyambut penuh suka ria kepada kumbang-kumbang yang singgah.

(Tamat) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun