Selama satu bulan anak terbiasa membaca 12 jenis buku berbeda. Selain membentuk kebiasaan membaca secara berkelanjutan, pola pikir dan kemampuan berbahasa anak juga berkembang pesat.
Perlahan namun pasti, anak mulai berpikir kritis. Banyak pertanyaan muncul karena kebiasaan membaca buku cerita berlatar luar negeri.Â
Saya ingin menghidupkan cahaya literasi dari dalam rumah. Salah satu metode yang saya terapkan adalah menyediakan ruang menulis bagi anak.
Tujuannya agar anak mampu berkreasi melalui tulisan. Saya berdiskusi bersama anak dan memilih satu judul cerita anak. Setelah itu, saya membebaskan anak untuk merangkai cerita dari berbagai sumber bacaan yang pernah ia baca.
Langkah ini ternyata cukup efektif untuk menumbuhkan minat menulis. Awalnya anak tidak tahu harus menulis apa, tapi setelah saya arahkan perlahan, ia mulai berpikir alur cerita dengan caranya sendiri.Â
Kemampuan berpikir anak terkait langsung dengan sumber bacaan sehari-hari. Semakin banyak anak membaca, semakin kaya imajinasi yang tumbuh di pikiran mereka.
Jumlah penulis buku anak belum menunjukkan kemajuan setiap tahunnya. Rasio koleksi buku di pustaka daerah dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yaitu 1:90.Â
Tiga provinsi dengan jumlah penerbit terbanyak masih didominasi oleh DKI Jakarta, Jawa Barat dan DI Yogyakarta. Bagaimana dengan provinsi lain?
Pemerintah harus memacu pertumbuhan koleksi buku di pustaka daerah. Untuk itu, calon penulis potensial perlu disaring dari setiap provinsi. Baik itu melalui sayembara menulis buku, pelatihan menulis, atau cara efektif lainnya.
Kontribusi pemerintah melalui kebijakan penerbitan tentu membuka jalur munculnya penulis baru. Misalnya, kebijakan khusus penerbitan buku cerita anak di setiap provinsi, kerjasama dengan penulis buku anak luar negeri, atau menghidupkan jurusan kepenulisan di universitas.
Jumlah pustaka di daerah sebaiknya diperbanyak mengikuti rasio penduduk setempat. Artinya, minimal wajib ada 1-3 pustaka mini di setiap kecamatan.Â