Mohon tunggu...
MASRUR
MASRUR Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia di SMPN 3 Jember

Membaca, Menuulis, Olahraga (bola), dan Kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Meneropong Perempuan dengan Kaca Mata Feminisme dan Ketidakadilan Gender dalam Novel "Geni Jora"

26 Januari 2024   09:58 Diperbarui: 26 Januari 2024   10:07 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu Jora berada dalam posisi tersubordinasi. Ibu Jora menjadi korban subordinasi kaum laki-laki. Ia rela menjadi istri kedua. Dasar agama yang membolehkan laki-laki mempunyai istri lebih dari satu menyebabkan posisi perempuan tersubordinasi dalam masyarakat. Peran dan gerak perempuan dibatasi pada lingkup domestik dan perempuan dilarang ikut serta dalam sektor publik. Sebagai istri kedua, ia hanya pasrah terhadap nasib yang menimpanya. Ia tidak melakukan protes atas apa yang dilakukan suaminya, sehingga ia mengalami tekanan batin. Namun, sebagai perempuan ia hanya pasrah terhadap kepastian dan kodrat yang telah ditentukan oleh Tuhan.

“Semua manusia memiliki bakat untuk itu. Setiap laki-laki berkecenderungan poligami. Sama halnya perempuan yang memiliki kecenderungan poliandri. Tetapi laki-laki mendapat justifikasi dari agama, sebaliknya perempuan tidak. Tetapi jika mereka berkehendak, mereka akan menempuh cara lain untuk melakukan itu.” (GJ:207-208).

Dalam ajaran agama tidak terdapat larangan laki-laki mempunyai istri lebih dari satu, dengan catatan suami harus dapat berlaku “adil” terhadap istri-istrinya. Perlakuan adil terhadap isrti-istrinya harus terpenuhi, baik itu menyangkut nafkah lahir maupun nafkah batin. Apabila hal tersebut tidak mampu terpenuhi, maka cukup hanya mengawini satu perempuan saja, karena hal itu lebih baik dari pada menyengsarakan istrinya nanti. Sebaliknya, bagi perempuan tidak ada dalil maupun hadist yang membolehkan mempunyai suami lebih dari satu (poliandri). Hal ini menyebabkan perempuan tersubordinasi oleh ketetapan dan kebijakan agama. Pada kenyataannya, perempuan yang menjadi korban poligami mengalami subordinasi dalam segala bidang serta merugikan kaum perempuan (lihat GJ:207-208, 80, 206, 206-207, 207). Ia hanya boleh mengurus pekerjaan domestik, keluar rumah harus seizin suami dan mematuhi permintaan suami. Sikap yang menganggap perempuan tidak layak mendapatkan pendidikan lebih tinggi dari laki-laki, dapat mengakibatkan perempuan tidak dapat berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan hendaknya diberikan kesempatan dalam mengembangkan kemampuannya di sektor publik, supaya tidak terjadi subordinasi perempuan atas laki-laki.

Marginalisasi

Tidak setiap marginalisasi perempauan disebabkan oleh ketidakadilan gender, namun yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Fakih (2003:13-14) menyatakan bahwa marginalisasi umum dapat diartikan tersisih, banyak hal yang menjadi penyebab marginalisasi yang terjadi di masyarakat baik yang menimpa kaum laki-laki ataupun kaum perempuan. Proses terjadinya marginalisasi dapat diakibatkan oleh penggusuran, bencana alam atau eksploitasi. Selain itu marginalisasi juga dapat diakibatkan oleh pemikiran, perasaan, aturan yang berbeda di dalam masyarakat atau kultur yang diwujudkan melalui adat, kepercayaan, tingkah laku yang mengakibatkan permasalahan antara laki-laki dan perempuan ada yang disudutkan atau dimarginalkan.

            Marginalisasi dapat menyebabkan perempuan menjadi the second sex, dan sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaanya tidak begitu diperhitungkan, misalnya dalam hal memperoleh kesempatan ke luar rumah dan kesempatan memperoleh pengetahuan. Perempuan tidak mempunyai hak dan kebebasan dalam menuntut ilmu, berbuat dan bergaul. Kesempatan ke luar rumah yang tidak seimbang antara kaum laki-laki dan perempuan menyebabkan wawasan kaum perempuan lebih sempit dibandingkan dengan kaum laki-laki.


            Marginalisasi terhadap kaum perempuan yang terdapat dalam novel Geni Jora akibat munculnya sebagian masyarakat yang menganggap laki-laki mempunyai fisik dan power yang kuat, sedangkan perempuan secara fisik sebagai makhluk lemah. Adanya perbedaan perlakuan antara kaum laki-laki dengan perempuan dalam memperoleh kesempatan dan kebebasan menikmati “dunia luar” menyebabkan wawasan kaum perempuan lebih sempit dibandingkan dengan kaum laki-laki. Pemberian otoritas kebebasan kepada perempuan untuk menikmati dunia luar sangat penting untuk menumbuhkan kreativitas dan keterampilan yang dimiliki. Dalam novel ini terdapat adanya marginalisasi terhadap Jora, akibat adanya pola pikir, adat istiadat yang telah dikonstruksi di dalam masyarakat.      

Kala usiaku menginjak sembilan tahun, duduk di kelas lima sekolah dasar. Nenek telah menorehkan luka di hatiku. Dan luka itu terus mengangga, setiap waktu. Fisik nenekku terus ber-evolusi, tetapi pikirannya tetap tidak ber-evolusi. Ia tetap duduk di atas kursinya dengan perintah-perintahnya, sementara aku terus berlarian menyongsong masa depan (GJ:62).

Sehari-harinya, teman bermainku juga terbatas. Aku hanya dapat bermain dengan anak paman atau saudara dekatku yang dibolehkan masuk ke dalam pekarangan kami.

Tidak seperti Prahara, ia boleh membuka pintu besar sesukanya dan mengikuti komedi monyet hingga ujung kampung (GJ:75).

Marginalisasi sudah diberlakukan pada Jora sejak dia kecil. Jora tidak diberi hak yang sama dengan Prahara untuk memperoleh kebebasan dan kesempatan menikmati “dunia luar” serta memperoleh pendidikan. Dunia perempuan dibatasi pada hal-hal yang berkutat di dapur. Perempuan tidak mempunyai kebebasan seperti laki-laki. perempuan selalu dibatasi pergi, bergerak dan beraktivitas, karena ia mempunyai fisik yang lemah tidak seperti laki-laki yang bebas bergerak ke mana saja. Hal ini dialami oleh Jora, ia tidak diberi kebebasan menikmati “dunia luar”. Masa kanak-kanaknya dihabiskan di sekitar rumah dan pekarangan, tidak seperti adik laki-lakinya yang bebas menikmati “dunia luar”. Teman bermainnya pun dibatasi, ia hanya boleh bermain dengan anak pamannya. Semenjak kecil Jora selalu diperlakukan berbeda oleh neneknya. Nenek sering menyakiti hati Jora. Meskipun Jora ingin berontak dan menentang nenek, namun nenek tetap pada pemikiran dan adat istiadat yang dipegangnya. Ia perempuan tua yang dapat memerintah sesuka hatinya. Jora tidak akan menyerah dengan kondisi fisik dan takdir yang menimpanya. Ia tetap berusaha menyongsong masa depan. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang dimiliki demi mencapai cita-citanya. Pada kenyataannya anak perempuan diperlakukan seperti anak tiri, sedangkan laki-laki seperti anak kandung (lihat GJ:75, 61).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun