Mohon tunggu...
MASRUR
MASRUR Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia di SMPN 3 Jember

Membaca, Menuulis, Olahraga (bola), dan Kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Meneropong Perempuan dengan Kaca Mata Feminisme dan Ketidakadilan Gender dalam Novel "Geni Jora"

26 Januari 2024   09:58 Diperbarui: 26 Januari 2024   10:07 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Analisis Ketidakadilan Gender

Persoalan gender merupakan permasalahan pelik yang terus menjadi bahan perdebatan. Hal ini berpijak dari adanya sistem patriarki yang semakin mendominasi segala aspek kehidupan. Menguatnya dominasi budaya patriarki ini melahirkan suatu sistem yang secara sosiologi berhubungan dengan adanya masyarakat dalam menginterpretasikan karakteristik lelaki dan wanita, yang kemudian disebut dengan gender. Hal ini berkaitan dengan pendapat Saptari (1997:2) yang menyatakan bahwa gender adalah suatu keadaan di mana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat yang bersangkutan. Konsep tersebut mengandung arti bahwa gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan feminin.

            Dalam kaitannya dengan soal jenis kelamin, masih terjadi perdebatan tentang perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki. Pengikut teori nature yang ekstrim beranggapan bahwa perbedaan psikologi antara dua insan yang disebabkan oleh perbedaan biologisnya saja. Pengikut teori nature beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh proses belajar dari lingkungan (Budiman, 1985:2).

            Melalui dialektika, konstruksi sosial gender disosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan, sehingga mempengaruhi biologis masing-masing. Hal ini berkaitan dengan pendapat Fakih (2003:10) yang menyatakan bahwa karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersikap kuat dan agresif, ia terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender tersebut dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat, ataukah kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan. Namun, dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat itu adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat.

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Hal ini berkaitan dengan pendapat Fakih (2003:12) yang menyatakan bahwa ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasi ke dalam berbagai ketidakadilan, seperti: stereotip, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, serta beban kerja. Fenomena-fenomena seperti itu merupakan asumsi dasar terbentuknya gerakan feminisme. Tanpa analisis gender, feminisme akan mengalami kesulitan untuk melihat sistem dan struktur, dan akibatnya hanya tertuju kepada kaum perempuan saja. Penulis memfokuskan penelitian terhadap ketidakadialan gender pada empat hal di atas, yakni stereotip, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan.

  1. Stereotip

Stereotip merupakan pelebelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Ironisnya, stereotip ini selalu merugikan dan menimbukan ketidakadilan, terutama bagi perempuan. Salah satu jenis stereotip ini berasal dari pandangan gender (Fakih, 2003:16). Hal ini berarti bahwa pemberian lebel yang memojokkan kaum perempuan merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan kultural, dengan demikian adanya stereotip gender menimbulkan perempuan termarginalisasi dan tersubordinasi. Stereotip gender tersebut, meliputi: adanya penandaan terhadap kaum perempuan mengenai sifat yang melekat pada dirinya.


Pelebelan tersebut diberikan nenek kepada cucunya sendiri, yakni, Jora. Nenek beranggapan bahwa pendidikan bagi perempuan merupakan hal yang tidak penting. Perempuan ditempatkan pada posisi kedua setelah laki-laki. Laki-laki menjadi prioritas utama dalam memperoleh pendidikan, karena kaum perempuan distereotipkan sebagai kaum yang lemah, emosional dan tidak dapat memimpin. Pada kenyataannya, perempuan  merupakan makhluk yang cerdas dan berpengetahuan luas.

“Bahwa Prahara adalah bukanlah rangking kesatu, tetapi aku. Kejora. Akulah sang juara itu. Nenek mau bukti?”

“Mana? Mana buktinya?”

Lalu kubentangkan nilai raportku di hadapannya berikut raport Prahara dan surat peringatan dari Bu Guru. Dengan harap cemas dan mata berbinar, kutunggu apa komentar nenekku setelah membacanya. Pastilah ia akan memihak padaku, memuji dan membanggakan diriku. Sambil manggut-manggut seperti biasanya, nenekku tersenyum menatapku. Aku ikut tersenyum membalasnya (GJ:62).

Sebagai seorang perempuan Jora selalu dinomorduakan. Sedangkan adiknya, Prahara selalu menjadi nomor satu. Dalam hal kecerdasan Jora tidak kalah dengan adik laki-lakinya. Namun, nenek menganggap perempuan nantinya hanya berperan di sektor domestik (memasak, mengurus rumah, mengasuh anak dan melayani suami). Kepandaian dan kecerdasan Jora tidak dihargai sama sekali oleh nenek. Hanya Prahara yang menempati tempat teratas, karena ia adalah anak laki-laki. Walaupun nilai Prahara jelek dibandingkan Jora, ia tetap sebagai “sang juara” karena ia laki-laki, sedangkan Jora adalah seorang perempuan. Komentar-komentar nenek membuat sakit hati Jora. Seakan-akan nenek tidak menghargai perempuan, meskipun ia adalah seorang perempuan. Hal tersebut terbukti pada novel tersebut (lihat hal. 62, 61, 17). Pelebelan/stereotip juga diberikan oleh Zakky kekasih Jora bahwa sepandai-pandai dan sepintar-pintar perempuan tetap kalah dengan laki-laki. Perempuan digambarkan oleh Zakky sebagai orang yang lemah, lembut, sopan, penuh kasih sayang, dan tidak boleh bekerja hanya mengurus rumah tangga (domestik) dan bersolek saja (lihat GJ:18, 16, 20, 133, 203-204). Hal tersebut membuat stereotip/pelebelan perempuan menjadi negatif sampai sekarang. Stereotip atau lebel yang diberikan kepada perempuan seharusnya tidak digunakan untuk menyudutkan perempuan karena dapat merugikan perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun