Mohon tunggu...
MASRUR
MASRUR Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia di SMPN 3 Jember

Membaca, Menuulis, Olahraga (bola), dan Kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Meneropong Perempuan dengan Kaca Mata Feminisme dan Ketidakadilan Gender dalam Novel "Geni Jora"

26 Januari 2024   09:58 Diperbarui: 26 Januari 2024   10:07 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Karya sastra merupakan hasil imajinasi dan kreativitas seorang pengarang. Pengarang menulis tentang apa saja yang menimbulkan keharuan batinnya, dan mendorong untuk berpikir, mencernakan dan mensublimasikan apa yang dilihat, didengar, dirasakannya, dialaminya, dan akhirnya dia mencipta (Lubis, 1996:37). Pada dasarnya karya sastra selalu memberikan sesuatu yang berharga bagi pembacanya. Kenyataan ini merupakan refleksi dari konsepsi seni itu bersifat Dulce et Utile yang berarti karya sastra bersifat menyenangkan dan berguna, (Horace, dalam Wellek dan Warren, 1989:29). Dalam membahas karya sastra digunakan kerangka teori yang berguna sebagai sumber acuan penelitian ilmiah. Kerangka dasar teori harus jelas, agar makna yang terkandung dalam karya sastra dapat diungkapkan dengan benar.

Penulis menggunakan beberapa buku sebagai acuan dalam  menganalisis novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy. Teori sastra merupakan seperangkat pengetahuan atau prinsip-prinsip tentang sastra yang dimanfaatkan oleh kritikus dalam menghadapi karya sastra tertentu (Yudiono, 1990:27). Oleh karena itu, teori yang diterapkan merupakan teori-teori sastra yang secara garis besar mengacu pada pendekatan struktural untuk mengkaji unsur-unsur pembangun novel, teori feminisme dan gender untuk mengurai ketidakadilan terhadap perempuan dalam novel geni Jora sebagai sentral bahasan.

Novel Geni Jora mengungkapkan kehidupan pesantren perempuan berikut problem dunia wanita dalam berhadapan dengan dominasi laki-laki. Dengan memanfaatkan wawasan mengenai latar tempat di Timur Tengah, pengarang menampilkan tokoh Jora sebagai bentuk perlawanan terhadap tata nilai patriarkhat. Abidah mengungkapkan isi hatinya dengan gaya liris. Gaya liris tersebut dapat memperkuat tema yang diusungnya, sebuah gugatan yang menuntut perlawanan yang adil terhadap kaum perempuan.

Judul dalam karya sastra mempunyai arti yang sangat penting sebab judul sebagai alat komunikasi pertama dapat menggambarkan sesuatu yang ada dalam cerita. Judul dapat mengisyaratkan secara pendek isi suatu karangan (Moeliono, 2001:367). Judul sebuah karangan merupakan inti dari seluruh keseluruhan isi cerita yang dapat memberi gambaran pada pembaca sebelum membaca. Penulis hanya memfokuskan kajian pada judul saja, karena menurut penulis judul dalam novel Geni Jora karya Abidah el Khalieqy sangat unik untuk di teliti lebih dalam. Di samping unsur-unsur struktural yang lain yang tak kalah menariknya untuk dikaji seperti tema, penokohan dan perwatakan, konflik, dan latar dalam novel tersebut yang saling berkaitan satu dengan lainnya, sehingga menjadikan novel tersebut enak di baca dan dinikmati.  


Novel Geni Jora karya Abidah el Khaliqy menceritakan tentang seorang perempuan yang mempunyai emosi yang tinggi seperti api, rasa cemburu, rasa cinta dan wajah cantik rupawan, berbagai prestasi, cinta dan rasa persahabatan dimiliki oleh Kejora. Ia jatuh cinta kepada seoarang laki-laki yang bernama Zakky yang berprofesi sebagai presentator makalah da’i di kampus.

            Judul dalam novel Geni Jora  menunjukkan: (1) tokoh utama, karena mengarah pada tokoh utama yaitu kejora atau Jora; (2) objek yang diceritakan, karena menceritakan objek yang ada dalam novel Geni Jora; dan (3) mengandung beberapa pengertian. Geni Jora dapat bermakna harfiah dan implisit. Secara harfiah Geni berasal dari bahasa Jawa, dalam (Moeliono, 2001:45) berarti api yang memiliki panas dan cahaya berasal dari sesuatu yang terbakar. Sedangkan Kejora atau Jora dalam (Moeliono, 2001:119) bintang Kejora mempunyai arti bintang zohrah (venus) yang biasa kelihatan besar dan terang di sebelah timur pada dini hari (bintang timur). Novel Geni Jora mempunyai arti konotatif, tokoh utama yang berperan sentral adalah Jora, emosinya dapat saja berubah sewaktu-waktu seperti api yang setiap saat dapat membakar.

Seperti namaku, Kejora, akulah dewi venus, ishtar si ladang minyak global. Permukaan wajahku dihiasi lautan petrolium seluas planet, jauh lebih besar dari ladang minyak milik Irak atau Arab Saudi.

……………….

Kejora namaku. Mataku belok, seperti boneka cantik dari negeri Antah. Dari kedua mata belok itu, keluar tatapan dingin yang membayangkan sebuah taman  penuh pisau dan gergaji, peninggalan dari seseorang yang terburu-buru mendapat giliran membuka pintu neraka. Kedua mataku selalu terpikat dengan ritual tangis, tetapi tak ada air mata yang menetes. Seluruh air mata hanyalah hujan asam sulfurik, tak pernah setetespun mencapai kesadaran batinku, pandangan mataku jauh, garang dan terlantar, seperti atmosfer yang beracun (GJ:31).

Jora adalah perempuan yang digambarkan sempurna, tanpa ada cacat sedikit pun. Mulai dari ujung rambut, sorot mata, bahkan sampai ujung kakinya sempurna. Ia memiliki kecerdasan, kepandaian dan kecantikan. Ia tidak mau dibedakan dengan laki-laki. Kecantikan dan keelokan Jora membuat lelaki tertarik padanya. Tatapan mata Jora dapat membuat laki-laki tertarik padanya. Nama Jora memiliki arti yang luas seperti tokoh yang digambarkan dalam novel tersebut.

Kessoora?

Bukan. K-e-j-o-r-a. Pakai “j”. seperti kata jeans.

Ok: Apa arti K-e-j-o-r-a. nama yang ajaib?

Sama dengan Jauharah atau Zuhroh dalam bahasa Arab.

Bahasa Parsinya Ishtar dan bahasa Yunaninya Venus.

Bahasa Indonesianya Bintang Kejora.(GJ: 141-142).

…Dengan memberiku nama Kejora, sejak dini aku telah dipersiapkan menjadi seorang bintang. Ini sangat berlawanan dengan watakku sendiri yang menyukai malam. Aku bukan seorang yang mudah disutradarai, sebab malamku lebih panjang dari semua orang. Hutan pengembaraanku lebih luas dari seekor macan. Khayalanku sebanyak pikiranku. Otak kiri dan otak kanan saling berpacu (pantas ‘ seribu satu malam’ selalu disaku) (GJ:32).

Jora diambil dari beberapa bahasa yang kesemuanya mempunyai arti yang sama, baik bahasa Arab, bahasa Persi, bahasa Yunani maupun bahasa Indonesia. Hati Jora tidak mudah ditahlukkan laki-laki, karena ia mempunyai pendirian dan prinsip kuat. Jora tidak mau diperintah orang lain, ia percaya akan kemampuan yang dimilikinya. Jora digambarkan seperti bintang venus yang besar dan terang, selalu menerangi bumi serta menunjukkan kecantikan cahayanya. Hal itulah yang dimiliki Jora baik fisik, sifat, maupun kepandaian dan kecerdasannya. Kecerdasan, keelokan, dan kepandaian yang dimiliki Jora diibaratkan seperti harimau yang setiap saat dapat saja menerkam dan mencakar seseorang. Di samping itu Jora juga mempunyai sifat pemarah, semangat yang tinggi, serta emosi yang tidak stabil (dapat dilihat GJ:32, 85, 214).

Kajian Feminisme

Sebenarnya penelitian terhadap sebuah novel yang membahas tentang feminisme masih jarang sekali kita jumpai, namun penulis berusaha mencari teori-teori yang mengkaji tentang feminisme. Penulis sadar bahwa teori-teori yang digunakan sebagai pisau analisis masih kurang tajam, namun penulis yakin teori tersebut dapat membuka sedikit wawasan kita dalam mengkaji feminisme. Penelitian sastra feminis masih sering berkelamin “tunggal”, bisa terkurangi sedikit demi sedikit. Maksudnya, sering peneliti tertentu masih memandang perempuan dari wacana laki-laki. Peneliti terkadang masih bersikap “pilih kasih” terhadap karya-karya tertentu sehingga hasilnya mengecewakan semua pihak (Endraswara, 2003:145).

Feminisme berasal dari kata Femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hal ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah), Masculine dan Feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis dan kultural). Dengan kata lain male-female  mengacu pada seks, sedangkan masculin-Feminine mengacu pada jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she (Selden, dalam Ratna, 2004:184). Feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dengan kata lain Feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri (Ratna, 2004:184).

Tujuan Feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan dan derajat laki-laki (Djajanegara, 2003:4). Perjuangan dan usaha Feminisme untuk mencapai tujuan tersebut di antaranya, memperjuangkan dan memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-laki, maka munculah gerakan persamaan hak atau dengan istilah “equal right’s movement” yaitu, membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini sering dinamakan women liberation Movement, atau women’s emancipation movement yaitu gerakan pembebasan wanita. Gerakan emansipasi perempuan yaitu proses pelepasan diri kaum perempuan dan kedudukan sosial ekonomi yang rendah serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju.

Kritik Sastra Feminis berawal dari hasrat para Feminis untuk mengkaji karya-karya penulis wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria, yang menampilkan wanita sebagai mahkluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, dan disepelekan oleh tradisi patriarki yang dominan (Djajanegara, 2003:27).

Dalam novel Geni Jora, tokoh Jora memiliki ideologi atau prinsip dasar yang kuat, dalam memperjuangkan persamaan derajat dan kedudukan kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Ia tidak mau terbelenggu dan terpasung oleh adat yang dapat merugikan kaum perempuan. Jora berjuang untuk menghapuskan pelebelan negatif yang selalu distereotipkan kepada kaumnya. Karena hal tersebut dapat merugikan kaum perempuan dan menyebabkan perempuan termarginalisasi. Ia ingin merdeka dan bebas bergerak ke manapun ia suka. Jora tidak mau dikalahkan oleh laki-laki, karena ia menganggap antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan perlakuan sehingga tercipta keadilan dan persamaan derajat antara laki-laki dengan perempuan. Jora bukanlah wakil dari perempuan tradisional yakni perempuan harus bersifat pasif dan mudah menyerah serta bergantung pada laki-laki.

…Aku merasa, diriku mengalir sebagaimana takdir yang diperuntukkan bagiku. Sebagai perempuan, demikianlah kehadiranku. Merdeka. Mencoba beradaptasi dengan sopan santun dan bergerak sebagaimana makhluk-makhluk lain bergerak. Jika laki-laki pandai menipu, perempuan tak kalah lihainya dalam hal menipu. Jika laki-laki senang berburu, tak ada salahnya perempuan menyenangi hal yang sama.

“Apakah aku sedang mendengarkan terompet feminisme mendesing di antara debur ombak Agadir?”

          “Tidak. Tetapi Zakky sedang gelisah bilamana moncong senapan berbalik menghadap ke arahnya, ditodongkan oleh mangsa yang berabad-abad menjadi sasaran buruannya.”

          “Agaknya bagimu, tak boleh satu hari pun berlalu tanpa menyindirku,” Zakky kesal (GJ:9).

Jora merasa beruntung diciptakan oleh Tuhan sebagai perempuan. Ia tidak mau bergantung pada laki-laki, karena ia memiliki daya pikir yang kuat. Hal itu dibuktikan oleh Jora bahwa ia bukanlah wakil dari perempuan tradisional. Ia berjuang demi mewujudkan persamaan derajat maupun kedudukan antara laki-laki dengan perempuan. Hal tersebut dilakukan supaya derajat serta martabat perempuan tidak disepelekan. Prinsip dasar atau ideologi sebagai perempuan untuk mempertahankan harga diri masih tetap dipegang teguh oleh Jora. Seseorang yang mempunyai iman yang kuat tidak akan mudah terjerumus dalam lembah dosa. Laki-laki dan perempuan sama di mata Tuhan. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Isra’ 17:70: “Sesungguhnya, benar-benar telah kami muliakan manusia”. Ayat tersebut menjelaskan kepada kita bahwa laki-laki tidak layak untuk menipu, menyakiti maupun menindas perempuan, karena kita semua diciptakan sama oleh Tuhan.

            Dalam kehidupan sehari-hari perempuan selalu dinomorduakan, tetapi dalam novel tersebut tokoh Jora tidak mau diperlakukan seperti itu. Ia ingin menjadi perempuan yang merdeka, mandiri, berpendidikan tinggi,dan menolak adanya poligami. Karena hal tersebut dianggap paling mengguntungkan kaum laki-laki dan merugikan kaum perempuan (dapat dilihat di GJ:10, 151,148).

Gerakan feminisme tampak ditunjukkan Jora. Jora memperjuangkan penyetaraan derajat dengan laki-laki. Hal ini dapat kita lihat pada perbedaan pendapat antara Jora dengan nenek. Nenek merupakan perempuan yang masih memegang teguh ciri wanita tradisional. Ia merupakan wanita yang memiliki daya pikir yang lemah dan selalu bergantung laki-laki. Menurut nenek dalam peranannya di masyarakat laki-laki adalah segala-galanya dibandingkan dengan perempuan. Dalam mewujudkan arah gerakan feminisme perempuan selalu terhalang oleh laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai penghambat utama bagi kemajuan perempuan. Penghambat terwujudnya feminisme tidak hanya berasal dari kaum laki-laki, tetapi juga berasal dari kaum perempuan sendiri, seperti nenek yang melarang cucunya bergerak dan mengembangkan kemampuannya. Meskipun nenek menyadari dirinya juga perempuan, namun ia tetap menganggap perempuan rendah dan lemah.

Bahwa perempuan harus selalu mau mengalah. Jika perempuan tidak mau mengalah, dunia ini akan jungkir-balik berantakan seperti pecahan kaca. Sebab tidak ada laki-laki yang mau mengalah. Laki-laki selalu ingin menang dan menguasai kemenangan. Sebab itu perempuan harus selalu siap me-nga-lah (pakai awalan ‘me’).

          “Jadi selama ini Nenek selalu mengalah.?”

          “Itulah yang harus Nenek lakukan, Cucu.”   

          “Pantas Nenek tidak pernah diperhitungkan.”

          “Diperhitungkan?” Nenek terlonjak.

          “Benar, Nenek tidak pernah diperhitungkan. Nenek tahu apa sebabnya?”

          “Apa? Apa sebabnya, Cucu?

          “Sebab Nenek telah mematok harga mati, dan harga mati Nenek adalah kekalahan. Siapakah yang mau diperhitungkan pihak yang kalah?” (GJ:61).

Itulah sebabnya kenapa perempuan selalu dipojokkan dan dinomorduakan dari kaum laki-laki. Perjuangan Jora dalam mempertahankan pendiriannya akhirnya membuahkan hasil. Jora merasa terbebas dari belenggu dan pemikiran kolot neneknya. Akhirnya Jora menang, sedangkan nenek kalah oleh pemikiran kolotnya. Jora ingin bergerak bebas tanpa ada yang membatasinya.

Lihatlah, Nek! Kau telah gagal, membentengi diriku. Tamengmu tameng semu. Terbukti cakrawalaku lebih menghampar dari halaman rumahmu. Langitku lebih lebar dari atap rumahmu. Pemandanganku lebih luas dari kisi-kisi jendela karatmu. Dari atas pendakianku, terlihat semua yang kau tutupi dan terbuka semua yang kau sembunyikan. Milikku adalah semesta penglihatanku dan milikmu, Nek, sebatas tempurung buntu. Kaulah “katak dalam tempurung” sang waktu (GJ:77).

perjuangan Jora dalam mewujudkan cita-cita dan menghapuskan pemikiran negatif tentang perempuan terlihat dari data di atas. Ia menganggap pemikiran nenek yang selalu merugikan kaum perempuan dapat membuat perempuan tidak maju dan diperhitungkan. Pemikiran Jora lebih modern dibanding dengan pemikiran nenek yang selalu menomorduakan perempuan. Jora merasa mendapatkan segala-galanya. Menurut Jora nenek sudah tidak mampu lagi mengekang, membatasi dan menutup ruang geraknya. Hal tersebut terbukti pada cakrawala pengetahuan Jora yang lebih luas daripada nenek. Harapan dan kemauan Jora yang lebih lebar untuk maju daripada kemauan nenek yamg selalu mengalah dengan laki-laki. Nenek merupakan wakil perempuan tradisional yang lemah daya pikir dan selalu bergantung pada laki-laki (suami). Jora mempunyai cita-cita yang tinggi supaya ia tidak tertinggal dan kalah dengan laki-laki. Jora merasa bebas bergerak kemanapun ia suka. Dengan demikian perjuangan wanita untuk menyamakan hak dan derajat dengan laki-laki dapat berhasil apabila wanita berpendidikan tinggi.

Analisis Ketidakadilan Gender

Persoalan gender merupakan permasalahan pelik yang terus menjadi bahan perdebatan. Hal ini berpijak dari adanya sistem patriarki yang semakin mendominasi segala aspek kehidupan. Menguatnya dominasi budaya patriarki ini melahirkan suatu sistem yang secara sosiologi berhubungan dengan adanya masyarakat dalam menginterpretasikan karakteristik lelaki dan wanita, yang kemudian disebut dengan gender. Hal ini berkaitan dengan pendapat Saptari (1997:2) yang menyatakan bahwa gender adalah suatu keadaan di mana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat yang bersangkutan. Konsep tersebut mengandung arti bahwa gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan feminin.

            Dalam kaitannya dengan soal jenis kelamin, masih terjadi perdebatan tentang perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki. Pengikut teori nature yang ekstrim beranggapan bahwa perbedaan psikologi antara dua insan yang disebabkan oleh perbedaan biologisnya saja. Pengikut teori nature beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh proses belajar dari lingkungan (Budiman, 1985:2).

            Melalui dialektika, konstruksi sosial gender disosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan, sehingga mempengaruhi biologis masing-masing. Hal ini berkaitan dengan pendapat Fakih (2003:10) yang menyatakan bahwa karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersikap kuat dan agresif, ia terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender tersebut dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat, ataukah kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan. Namun, dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat itu adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat.

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Hal ini berkaitan dengan pendapat Fakih (2003:12) yang menyatakan bahwa ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasi ke dalam berbagai ketidakadilan, seperti: stereotip, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, serta beban kerja. Fenomena-fenomena seperti itu merupakan asumsi dasar terbentuknya gerakan feminisme. Tanpa analisis gender, feminisme akan mengalami kesulitan untuk melihat sistem dan struktur, dan akibatnya hanya tertuju kepada kaum perempuan saja. Penulis memfokuskan penelitian terhadap ketidakadialan gender pada empat hal di atas, yakni stereotip, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan.

  1. Stereotip

Stereotip merupakan pelebelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Ironisnya, stereotip ini selalu merugikan dan menimbukan ketidakadilan, terutama bagi perempuan. Salah satu jenis stereotip ini berasal dari pandangan gender (Fakih, 2003:16). Hal ini berarti bahwa pemberian lebel yang memojokkan kaum perempuan merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan kultural, dengan demikian adanya stereotip gender menimbulkan perempuan termarginalisasi dan tersubordinasi. Stereotip gender tersebut, meliputi: adanya penandaan terhadap kaum perempuan mengenai sifat yang melekat pada dirinya.

Pelebelan tersebut diberikan nenek kepada cucunya sendiri, yakni, Jora. Nenek beranggapan bahwa pendidikan bagi perempuan merupakan hal yang tidak penting. Perempuan ditempatkan pada posisi kedua setelah laki-laki. Laki-laki menjadi prioritas utama dalam memperoleh pendidikan, karena kaum perempuan distereotipkan sebagai kaum yang lemah, emosional dan tidak dapat memimpin. Pada kenyataannya, perempuan  merupakan makhluk yang cerdas dan berpengetahuan luas.

“Bahwa Prahara adalah bukanlah rangking kesatu, tetapi aku. Kejora. Akulah sang juara itu. Nenek mau bukti?”

“Mana? Mana buktinya?”

Lalu kubentangkan nilai raportku di hadapannya berikut raport Prahara dan surat peringatan dari Bu Guru. Dengan harap cemas dan mata berbinar, kutunggu apa komentar nenekku setelah membacanya. Pastilah ia akan memihak padaku, memuji dan membanggakan diriku. Sambil manggut-manggut seperti biasanya, nenekku tersenyum menatapku. Aku ikut tersenyum membalasnya (GJ:62).

Sebagai seorang perempuan Jora selalu dinomorduakan. Sedangkan adiknya, Prahara selalu menjadi nomor satu. Dalam hal kecerdasan Jora tidak kalah dengan adik laki-lakinya. Namun, nenek menganggap perempuan nantinya hanya berperan di sektor domestik (memasak, mengurus rumah, mengasuh anak dan melayani suami). Kepandaian dan kecerdasan Jora tidak dihargai sama sekali oleh nenek. Hanya Prahara yang menempati tempat teratas, karena ia adalah anak laki-laki. Walaupun nilai Prahara jelek dibandingkan Jora, ia tetap sebagai “sang juara” karena ia laki-laki, sedangkan Jora adalah seorang perempuan. Komentar-komentar nenek membuat sakit hati Jora. Seakan-akan nenek tidak menghargai perempuan, meskipun ia adalah seorang perempuan. Hal tersebut terbukti pada novel tersebut (lihat hal. 62, 61, 17). Pelebelan/stereotip juga diberikan oleh Zakky kekasih Jora bahwa sepandai-pandai dan sepintar-pintar perempuan tetap kalah dengan laki-laki. Perempuan digambarkan oleh Zakky sebagai orang yang lemah, lembut, sopan, penuh kasih sayang, dan tidak boleh bekerja hanya mengurus rumah tangga (domestik) dan bersolek saja (lihat GJ:18, 16, 20, 133, 203-204). Hal tersebut membuat stereotip/pelebelan perempuan menjadi negatif sampai sekarang. Stereotip atau lebel yang diberikan kepada perempuan seharusnya tidak digunakan untuk menyudutkan perempuan karena dapat merugikan perempuan.

Subordinasi  

Sebagian masyarakat berpandangan bahwa perempuan dianggap sebagai makhluk lemah, sedangkan laki-laki kuat; perempuan emosional, laki-laki rasional; perempuan halus sedangkan laki-laki kasar; padahal ini bukan termasuk kodrat. Perbedaan gender ternyata menimbulkan subordinasi terhadap perempuan yang tercermin dalam novel Geni Jora yaitu dalam hal pendidikan dan peranan perempuan di publik tidak diperhitungkan atau tersubordinasi.

            Perbedaan dan pembagian gender yang mengakibatkan perempuan termanifestasi dalam posisi subordinasi kaum perempuan dihadapan kaum laki-laki. Pada gilirannya, perempuan merupakan penentu baik buruknya masyarakat. Perempuan memiliki peran yang besar dalam mendidik generasi muda yang berakhlak terpuji dan bermartabat. Dalam hal pendidikan perempuan ditempatkan pada posisi kedua setelah laki-laki. Laki-laki menjadi prioritas utama dalam memperoleh pendidikan, karena kaum perempuan dianggap kaum yang lemah, emosional dan tidak dapat memimpin. Pada kenyataannya, perempuan  merupakan makhluk yang cerdas dan berpengetahuan luas.

“Bahwa Prahara adalah bukanlah rangking kesatu, tetapi aku. Kejora. Akulah sang juara itu. Nenek mau bukti?”

“Mana? Mana buktinya?”

Lalu kubentangkan nilai raportku di hadapannya berikut raport Prahara dan surat peringatan dari Bu Guru. Dengan harap cemas dan mata berbinar, kutunggu apa komentar nenekku setelah membacanya. Pastilah ia akan memihak padaku, memuji dan membanggakan diriku. Sambil manggut-manggut seperti biasanya, nenekku tersenyum menatapku. Aku ikut tersenyum membalasnya (GJ:62).

 “Ini kan nilai raport sekolahan, Cucu. Berapa pun nilai Prahara di sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap rangking pertama di dunia kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun rangkingmu, kau adalah perempuan dan akan tetap sebagai perempuan.” (GJ:62).

Jora berada dalam posisi tersubordinasi akibat pemikiran nenek yang kolot. Nenek menganggap remeh anak perempuan, sehingga berakibat pada perbedaan perlakuan terhadap Jora. Nenek tidak menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi manusia, tidak memandang laki-laki atau perempuan, sehingga mereka harus diberi kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu dan mencapai pendidikan. Namun hal itu tidak berlaku bagi nenek Jora, perempuan tetap perempuan mereka harus beada di bawah laki-laki (lihat hal. 60).

Poligami juga menyebabkan perempuan berada dalam posisi tersubordinasi. Dalam agama, kedudukan perempuan tidak disamakan dengan laki-laki. Agama tidak melarang laki-laki untuk mempunyai istri lebih dari satu dan perempuan tidak diizinkan untuk menolak perbuatan suaminya yang telah melakukan poligami tanpa seizin istrinya. Hal ini terjadi pada ibu Jora. Ibu Fatmah merupakan ibu tiri Jora, sedangkan ibu Jora adalah istri kedua dari ayahnya. Ibu Fatmah menyayangi Jora seperti anaknya sendiri, begitu juga dengan Jora. Posisi tersebut membuat perempuan tersubordinasi, karena ia hanya dijadikan korban atas deskriminasi laki-laki atas perempuan.  

Kupikir ibuku tertekan menjadi istri kedua. Itu bisa kubaca dari ekspresi wajahnya yang senantiasa masam saat melihat ibu Fatmah pulang dari luar kota bersama ayah. Sekalipun banyak hadiah untuknya, tak dapat menghapus kesedihan yang memancar dari perasaan jiwanya yang tertekan.

“Ibu pasti cemburu pada Ibu Fatmah,”suatu kali aku bertanya (GJ:79).

Ibu Jora berada dalam posisi tersubordinasi. Ibu Jora menjadi korban subordinasi kaum laki-laki. Ia rela menjadi istri kedua. Dasar agama yang membolehkan laki-laki mempunyai istri lebih dari satu menyebabkan posisi perempuan tersubordinasi dalam masyarakat. Peran dan gerak perempuan dibatasi pada lingkup domestik dan perempuan dilarang ikut serta dalam sektor publik. Sebagai istri kedua, ia hanya pasrah terhadap nasib yang menimpanya. Ia tidak melakukan protes atas apa yang dilakukan suaminya, sehingga ia mengalami tekanan batin. Namun, sebagai perempuan ia hanya pasrah terhadap kepastian dan kodrat yang telah ditentukan oleh Tuhan.

“Semua manusia memiliki bakat untuk itu. Setiap laki-laki berkecenderungan poligami. Sama halnya perempuan yang memiliki kecenderungan poliandri. Tetapi laki-laki mendapat justifikasi dari agama, sebaliknya perempuan tidak. Tetapi jika mereka berkehendak, mereka akan menempuh cara lain untuk melakukan itu.” (GJ:207-208).

Dalam ajaran agama tidak terdapat larangan laki-laki mempunyai istri lebih dari satu, dengan catatan suami harus dapat berlaku “adil” terhadap istri-istrinya. Perlakuan adil terhadap isrti-istrinya harus terpenuhi, baik itu menyangkut nafkah lahir maupun nafkah batin. Apabila hal tersebut tidak mampu terpenuhi, maka cukup hanya mengawini satu perempuan saja, karena hal itu lebih baik dari pada menyengsarakan istrinya nanti. Sebaliknya, bagi perempuan tidak ada dalil maupun hadist yang membolehkan mempunyai suami lebih dari satu (poliandri). Hal ini menyebabkan perempuan tersubordinasi oleh ketetapan dan kebijakan agama. Pada kenyataannya, perempuan yang menjadi korban poligami mengalami subordinasi dalam segala bidang serta merugikan kaum perempuan (lihat GJ:207-208, 80, 206, 206-207, 207). Ia hanya boleh mengurus pekerjaan domestik, keluar rumah harus seizin suami dan mematuhi permintaan suami. Sikap yang menganggap perempuan tidak layak mendapatkan pendidikan lebih tinggi dari laki-laki, dapat mengakibatkan perempuan tidak dapat berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan hendaknya diberikan kesempatan dalam mengembangkan kemampuannya di sektor publik, supaya tidak terjadi subordinasi perempuan atas laki-laki.

Marginalisasi

Tidak setiap marginalisasi perempauan disebabkan oleh ketidakadilan gender, namun yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Fakih (2003:13-14) menyatakan bahwa marginalisasi umum dapat diartikan tersisih, banyak hal yang menjadi penyebab marginalisasi yang terjadi di masyarakat baik yang menimpa kaum laki-laki ataupun kaum perempuan. Proses terjadinya marginalisasi dapat diakibatkan oleh penggusuran, bencana alam atau eksploitasi. Selain itu marginalisasi juga dapat diakibatkan oleh pemikiran, perasaan, aturan yang berbeda di dalam masyarakat atau kultur yang diwujudkan melalui adat, kepercayaan, tingkah laku yang mengakibatkan permasalahan antara laki-laki dan perempuan ada yang disudutkan atau dimarginalkan.

            Marginalisasi dapat menyebabkan perempuan menjadi the second sex, dan sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaanya tidak begitu diperhitungkan, misalnya dalam hal memperoleh kesempatan ke luar rumah dan kesempatan memperoleh pengetahuan. Perempuan tidak mempunyai hak dan kebebasan dalam menuntut ilmu, berbuat dan bergaul. Kesempatan ke luar rumah yang tidak seimbang antara kaum laki-laki dan perempuan menyebabkan wawasan kaum perempuan lebih sempit dibandingkan dengan kaum laki-laki.

            Marginalisasi terhadap kaum perempuan yang terdapat dalam novel Geni Jora akibat munculnya sebagian masyarakat yang menganggap laki-laki mempunyai fisik dan power yang kuat, sedangkan perempuan secara fisik sebagai makhluk lemah. Adanya perbedaan perlakuan antara kaum laki-laki dengan perempuan dalam memperoleh kesempatan dan kebebasan menikmati “dunia luar” menyebabkan wawasan kaum perempuan lebih sempit dibandingkan dengan kaum laki-laki. Pemberian otoritas kebebasan kepada perempuan untuk menikmati dunia luar sangat penting untuk menumbuhkan kreativitas dan keterampilan yang dimiliki. Dalam novel ini terdapat adanya marginalisasi terhadap Jora, akibat adanya pola pikir, adat istiadat yang telah dikonstruksi di dalam masyarakat.      

Kala usiaku menginjak sembilan tahun, duduk di kelas lima sekolah dasar. Nenek telah menorehkan luka di hatiku. Dan luka itu terus mengangga, setiap waktu. Fisik nenekku terus ber-evolusi, tetapi pikirannya tetap tidak ber-evolusi. Ia tetap duduk di atas kursinya dengan perintah-perintahnya, sementara aku terus berlarian menyongsong masa depan (GJ:62).

Sehari-harinya, teman bermainku juga terbatas. Aku hanya dapat bermain dengan anak paman atau saudara dekatku yang dibolehkan masuk ke dalam pekarangan kami.

Tidak seperti Prahara, ia boleh membuka pintu besar sesukanya dan mengikuti komedi monyet hingga ujung kampung (GJ:75).

Marginalisasi sudah diberlakukan pada Jora sejak dia kecil. Jora tidak diberi hak yang sama dengan Prahara untuk memperoleh kebebasan dan kesempatan menikmati “dunia luar” serta memperoleh pendidikan. Dunia perempuan dibatasi pada hal-hal yang berkutat di dapur. Perempuan tidak mempunyai kebebasan seperti laki-laki. perempuan selalu dibatasi pergi, bergerak dan beraktivitas, karena ia mempunyai fisik yang lemah tidak seperti laki-laki yang bebas bergerak ke mana saja. Hal ini dialami oleh Jora, ia tidak diberi kebebasan menikmati “dunia luar”. Masa kanak-kanaknya dihabiskan di sekitar rumah dan pekarangan, tidak seperti adik laki-lakinya yang bebas menikmati “dunia luar”. Teman bermainnya pun dibatasi, ia hanya boleh bermain dengan anak pamannya. Semenjak kecil Jora selalu diperlakukan berbeda oleh neneknya. Nenek sering menyakiti hati Jora. Meskipun Jora ingin berontak dan menentang nenek, namun nenek tetap pada pemikiran dan adat istiadat yang dipegangnya. Ia perempuan tua yang dapat memerintah sesuka hatinya. Jora tidak akan menyerah dengan kondisi fisik dan takdir yang menimpanya. Ia tetap berusaha menyongsong masa depan. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang dimiliki demi mencapai cita-citanya. Pada kenyataannya anak perempuan diperlakukan seperti anak tiri, sedangkan laki-laki seperti anak kandung (lihat GJ:75, 61).

Dalam novel Geni Jora juga terdapat ketidaksejajaran antara laki-laki dengan perempuan dalam hal mendapatkan lapangan pekerjaan. Laki-laki selalu menjadi prioritas utama dibandingkan perempuan. Laki-laki diprioritaskan karena mereka dianggap dapat memberikan hasil yang lebih besar kepada instansi yang bersangkutan daripada perempuan dan perempuan selalu dinomorduakan karena mereka yang dianggap tidak akan mampu bekerja dengan baik seperti laki-laki. Mereka menganggap laki-laki dapat memberikan kontribusi lebih banyak dibanding dengan perempuan.

“Ini kue yang sangat lezat. Peramunya pastilah memiliki cita rasa yang tinggi. Seorang perempuan…? Kelekar Ayeda.

“yang disabot laki-laki,”timpal Nadia, ”koki-koki hotel, anehnya diminati para laki-laki sebagai profesi.” (GJ:24).

Jora tidak setuju terhadap ketidakadilan yang diterima kaumnya. Ia berpendapat bahwa perempuan dalam perananya di sektor publik selalu termarginal. Dalam memperoleh pekerjaan laki-laki adalah pilihan utama. Anggapan laki-laki bahwa perempuan tidak boleh menjabat pekerjaan yang menjadi bidang laki-laki menyebabkan perempuan tidak dapat maju seperti laki-laki (lihat GJ:24). Mereka takut perempuan akan menjadi saingannya apabila mereka mempunyai penghasilan sendiri. Selama ini hak perempuan selalu dikesampingkan dan diabaikan oleh laki-laki. Oleh sebab itu, mereka menyebut laki-laki bekerja sebagai profesi, sedangkan perempuan bekerja disebut sebagai pekerja sampingan. pentingnya mewujudkan kesetaraan dalam segala bidang. Kebebasan dalam berkretivitas dan melihat dunia luar akan membantu perempuan untuk memperoleh wawasan dalam bidang pengetahuan, sehingga peranannya dalam masyarakat dapat diperhitungkan. Akibat posisi perempuan termarginalisasi, kultur mengenai deskriminasi tersebut tidak saja membatasi pengembangan potensi akademik kaum perempuan, namun juga menimbulkan ketidakadilan hanya karena alasan gender. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan perempuan. 

 

Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan (assult) terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang (Fakih, 2003:17). Adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sering kali dimanfaatkan oleh laki-laki yang menganggap dirinya mempunyai kekuatan fisik yang lebih dibandingkan dengan perempuan. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan dan penciptaan ketergantungan.

            Di dalam novel Geni Jora, bentuk kekerasan terhadap perempuan dialami Jora sejak kecil. Tindakan kekerasan dan penyerangan fisik berupa kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu tubuh tanpa kerelaannya, dilakukan oleh paman Jora dan Zakky. Pelecehan seksual yang dilakukan oleh paman Jora yang suka memegang-megang bagaian tubuh tertentu.

Ayo. Ambillah!”paman mendesak. Ia mencari tanganku dan menaruh kalung itu dalam genggamanku. Setelah kalung kugenggam dengan gemetar, ternyata paman tidak melepas tanganku, ia tetap memegangnya, bahkan lebih erat (GJ:86).

Dalam memberikan hadiah, Paman Hasan memaksa Jora untuk mengambil hadiah pemberiannya. Paman Hasan memegang tangan Jora. Ia tidak mau melepasnya, karena ia mencintai keluguan dan kepolosan Jora. Pada waktu Jora masih kecil, pamannya sering memaksa dan memperlakukan jora dengan tidak senonoh. Jora tidak berani menolak pemberian pamannya, sebab ia masih kecil dan tidak mempunyai kekuatan untuk memberontak pamannya.

Ditariknya jemariku untuk diciumnya berulang-ulang. Tangan kanannya hendak meraih leherku saat kudengar langkah tersendat-sendat…”Ssst! Jangan bergerak! Biar kututup pintunya,” bisik paman (GJ:86).

Paman Hasan melakukan pelecehan terhadap Jora, dengan cara mencium tangan Jora. Jora merupakan perempuan yang cantik dan cerdas. Pamannya menjadi semakin tertarik kepada Jora, karena ia memiliki kelebihan dibanding dengan perempuan yang lain. Tindakan kekerasan yang dilakukan pamannya merupakan pelecehan seksual secara terselubung.  

“Tidak!”aku melengking sekerasnya, “apa yang akan Paman lakukan padaku! Lepaskan tanganku! Lepaskan! ”aku berteriak-teriak yang membuat paman blingsatan hendak melarikan diri, tapi ke mana? Nenek keburu berada di depan pintu kamar dan memergoki kami tengah berduaan di sana (GJ:86-87).

Data di atas menggambarkan violence yang dilakukan paman terhadap Jora. Jora tidak rela diperlakukan semena-mena, ia berusaha melawan, namun ia adalah makhluk lemah, sehingga pamannya memanfaatkan kondisi fisik yang dimiliki Jora. Perbuatan pamannya dapat menjatuhkan martabat, harga diri, serta dapat menimbulkan trauma yang mendalam. Apalagi, pelecehan tersebut dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Hal ini akan menimbulkan gangguan psikologis. Gangguan-gangguan lain dalam kekerasan diantaranya melakukan invasi (assult), berupa pemaksaan hak (lihat hal. 68, 87) dan penyiksaan yang mengarah kepada organ kelamin (genital mutilation), sehingga dapat menyebabkan gangguan fisik maupun psikologi (lihat hal. 88, 112-113, 113).

Laki-laki seharusnya sebagai pelindung perempuan. Bukan sebaliknya, perempuan dijadikan objek kekerasan, pelecehan dan pemaksaan hak (hal itu dapat dilihat pada hal.131-132, 132, 150, 156, 191). Perempuan janganlah diperlakukan tidak senonoh karena kelemahannya. Hendaknya perempuan diperlakukan sopan, kelemahan yang dimiliki perempuan tidak seharusnya dimanfaatkan oleh laki-laki. Di hadapan Tuhan derajat manusia sama.

Penulis menyimpulkan setelah melakukan dua kajian yakni, kajian feminisme dan ketidakadilan gender dalam novel Geni Jora adalah perjuangan wanita untuk menyamakan hak dan derajat dengan laki-laki dapat berhasil apabila wanita berpendidikan tinggi. Dengan pendidikan tinggi perempuan dapat diperhitungkan dalam berbagai bidang, misalnya dalam bidang ekonomi, sosial dan politik, sehingga terwujud keadilan dan kesamaan derajat antara laki-laki dengan perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Ashshiddiqi, Hasbi (Penyunting Penyelia).1989. Alquran dan Terjemahan. Surabaya: Mahkota.

Budiman, Arif. 1985. Pembagian Kerja SecaraSeksual.Pembahasan Sosiologis Tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Fakih, Mansour. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Khalieqy, Abidah El. 2004. Geni Jora. Yogyakarta: Matahari.

Lubis, Mochtar. 1996. Sastra dan Tekniknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Moeliono, Anton (Penyunting Penyelia). 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Persepektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta: Pustaka Umum Grafiti.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yudiono K.S. 1990. Telaah Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun