Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Desa Jadi Agunan Bank: Aneh Tapi Nyata di Indonesia

17 September 2025   08:17 Diperbarui: 17 September 2025   08:17 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan: sebuah desa---bukan sebidang sawah, bukan sebidang rumah---tetapi sebuah desa dipasang plang "sita", disebut sebagai jaminan utang bank, bahkan sudah masuk proses lelang. Kedengarannya seperti plot sinetron malpraktik tanah yang kebablasan, tapi ini dilaporkan benar-benar terjadi di Kabupaten Bogor: Desa Sukawangi disebut menjadi agunan sejak 1980 dan kabarnya sudah dilelang. Pernyataan itu datang dari Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto---dan publik pun terhenyak.

Desa Bukan Barang Dagangan

Bagaimana mungkin? Logika sederhana mengatakan: desa adalah komunitas, adat, sejarah --- bukan barang dagangan bank. Namun secara hukum peralihan hak atas tanah di Indonesia punya celah birokratis: undang-undang tentang Hak Tanggungan (UU No. 4/1996) memberi jalan bagi tanah bersertifikat (Hak Milik, HGB, HGU) untuk dibebani sebagai jaminan kredit; jika debitur wanprestasi, pemegang hak tanggungan berwenang mengeksekusi dan barang jaminan dapat dilelang. Jadi bila sebuah entitas memegang sertifikat atas sebidang tanah (bahkan tanah yang selama ini dianggap "desa"), bank secara teknis bisa menerima sertifikat itu sebagai jaminan. Praktis---tidak selalu etis.

Celah Agraria dan Tanah Adat

Masalahnya bermula dari konversi dan dokumentasi tanah. Sejak era kebijakan agraria modern, banyak tanah adat dikonversi menjadi sertifikat negara; pemilik adat sering tidak tercatat secara rapi, atau tercatat atas nama perseorangan/badan tertentu---kadang sejak puluhan tahun lalu.

Ketika sertifikat itu menjadi objek transaksi kredit, maka hak-hak kolektif penduduk desa bisa terseret dalam kontrak perdata yang teknis namun mengerikan dalam konsekuensinya. Mahkamah Konstitusi sendiri pernah menyorot bagaimana aturan konversi hak atas tanah berpotensi mengikis hak-hak adat ketika sertifikat diperlakukan sebagai komoditas.

Filter yang Jebol

Lebih miris: prosedur verifikasi dan check & re-check yang seharusnya mencegah "desa jadi jaminan" tampak rapuh---penasihat hukum, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), kantor pertanahan, notaris, serta sistem perbankan harusnya menjadi filter.

Tapi ketika korporasi atau individu membawa sertifikat yang tampak sah, bank cenderung melihat nilai agunan, bukan legitimasi historis komunitas yang tinggal di sana. Akibatnya, klaim kolektif---penduduk asli desa---bisa kehilangan hak tanpa proses pengakuan yang adil. Laporan lapangan bahkan menyebut penduduk diusir dan plang sita dipasang---ruang publik berubah jadi medan konflik hukum dan moral.

Sah Secara Hukum, Adilkah Secara Sosial?

Kalau hukum memungkinkan, apakah ini sah secara formal? Mungkin ya; apakah ini adil secara sosial dan konstitusional? Besar kemungkinan tidak.

Hukum yang netral terhadap dokumen bisa mengabaikan kebenaran historis dan hak kolektif. Di sinilah peran negara sejatinya: menegakkan hukum teknis tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat adat atau komunitas lokal.

Pemerintah wajib meninjau ulang proses verifikasi, inventarisasi aset desa, dan memberi perlindungan khusus untuk tanah yang punya status historis atau adat agar tidak mudah dikonversi menjadi agunan oleh pihak ketiga.

Kasus Nyata: Randusari dan Situbondo

Persisnya di Randusari, Boyolali, tanah kas desa ditukar guling, dan sertifikatnya dibalik nama pribadi sejak 1980-an, lalu dijadikan agunan bank. Di Situbondo, warga mendapati sertifikat tanahnya---yang mestinya milik pribadi---digunakan sebagai jaminan oleh kepala desa tanpa persetujuan yang jelas. Kasuskasus ini menunjukkan bahwa "desa sebagai agunan" bukan semata istilah teoritis, tetapi kenyataan yang sudah terjadi berulang kali.

Regulasi "Dana Desa sebagai Jaminan"

Regulasi PMK 49/2025 memperbolehkan sebagian Dana Desa dan dana umum lain menjadi penjamin bagi koperasi desa yang mengambil pinjaman. Walau berbeda dengan tanah desa yang dijaminkan, ini tetap relevan sebagai bagian dari pola kelembagaan di mana desa atau aset desa dijadikan agunan orang ketiga dalam perjanjian keuangan.

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah

Apa yang harus dilakukan pemerintah sekarang? Pertama, audit sertifikat yang menjadi dasar agunan---terutama untuk kasus yang berbau komunitas adat atau desa lama.

Kedua, perkuat mekanisme perlindungan pihak ketiga (warga desa) dalam proses lelang sehingga pelelangan tidak menghilangkan hak yang sah tanpa kompensasi.

Ketiga, perbaiki tata kelola lembaga pertanahan dan PPAT: ada unsur integritas yang harus dijaga.

Keempat, jika terbukti penipuan atau penyalahgunaan wewenang, proses pidana dan perdata jangan dipangkas demi "efisiensi". Sanksi harus tegas agar tidak ada insentif menggadaikan desa demi keuntungan segelintir.

Ringkasan Kasus dan Pelajaran

Fenomena desa menjadi agunan bank bukan hanya terjadi di Sukawangi, Bogor, tetapi juga di tempat lain. Di Randusari (Boyolali), tanah kas desa dibalik nama pribadi dan dijadikan jaminan kredit. Di Situbondo, sertifikat tanah warga dipakai sebagai agunan oleh kepala desa tanpa izin. Bahkan, regulasi terbaru (PMK 49/2025) memberi ruang agar Dana Desa bisa menjadi jaminan pinjaman koperasi desa. Kasus-kasus ini menunjukkan adanya celah hukum, lemahnya pengawasan, dan praktik birokrasi yang rapuh. Pemerintah harus melakukan audit nasional, memperkuat regulasi, serta melibatkan masyarakat agar desa tidak lagi menjadi korban permainan hutang dan sertifikat.

Hukum Tanpa Nurani

Kutipan yang pas di sini datang dari nasihat klasik: "Hukum tanpa keadilan adalah kekerasan" --- para filsuf modern menekankan bahwa aturan teknis harus ditempa oleh nalar etis.

Jika desa bisa menjadi agunan, itu pertanda ada sesuatu yang patah antara aturan dan nurani. Negara harus memperbaiki itu sebelum lebih banyak "desa" berubah menjadi sekadar kolom di neraca bank.

Kalau tidak, bukan hanya Sukawangi yang luka---kita semua yang mengaku beradab akan kehilangan harga diri hukum kita sendiri.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun