Dengan Indeks Persepsi Korupsi 2024 menempatkan Indonesia di posisi 115 dari 180 negara, risiko kebocoran dana amat besar. Memindahkan triliunan rupiah ke bank nasional tanpa pengawasan ketat bisa menjadi bencana fiskal.
Seharusnya fokus utama adalah kepastian hukum, pemberantasan korupsi, dan reformasi birokrasi. Tanpa itu, dana hanya akan parkir di bank, atau lebih buruk: tersedot oleh praktik rente.
Proyeksi dan Realitas
Pemerintah menargetkan pertumbuhan 5,8%--6,3% pada 2026, dengan defisit ditekan ke 2,48% dari PDB, bahkan berharap balanced budget pada 2027--2028. Bank Indonesia lebih realistis dengan proyeksi 4,7%--5,5%, sementara World Bank melihat rata-rata pertumbuhan jangka menengah hanya 4,8%.
Dibanding negara tetangga, Indonesia masih kalah gesit. Vietnam dan Filipina lebih cepat menyederhanakan regulasi dan memberi kepastian hukum, sehingga mampu menyerap Foreign Direct Investment secara efektif. Indonesia memang mencatat Rp 829,9 triliun FDI semester I 2024, tapi dampaknya minim karena hambatan birokrasi dan logistik.
Filosofi Risiko
Sun Tzu pernah berkata, "Risk without strategy is the fastest route to defeat." Keberanian tanpa arah bisa berubah menjadi kecerobohan. Sri Mulyani menjaga fondasi tetap kokoh, sementara Purbaya mencoba mengguncang untuk mempercepat pertumbuhan.
Kedua gaya ini sebenarnya bisa saling melengkapi, tetapi jika Purbaya terlalu mengabaikan risiko, sejarah bisa mencatatnya sebagai pelajaran mahal bagi bangsa.
Dua Sisi Purbaya Effect
Jika berhasil, Purbaya akan dikenang sebagai menteri yang berani menyalakan mesin ekonomi dengan gebrakan segar. Namun jika gagal, ia bisa menjadi simbol tipisnya garis antara inovasi dan kehancuran.
Seperti kata Herakleitos, "Character is destiny." Karakter Purbaya yang agresif dan blak-blakan akan menentukan apakah "Purbaya Effect" menjadi berkah atau bencana.