Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Usul "Satu Orang - Satu Akun" di Medsos: Jalan Pintas Melawan Hoaks atau Rintangan Baru Demokrasi?

12 September 2025   16:35 Diperbarui: 12 September 2025   16:35 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekretaris Fraksi partai Gerindra (Kompas)

Gagasan yang Menggelitik

Sekretaris Fraksi Gerindra, Bambang Haryadi, melontarkan ide yang sekilas sederhana namun menggelitik ruang publik: setiap orang hanya boleh memiliki satu akun media sosial di setiap platform.

Dalihnya jelas, agar tidak ada akun bodong, jaringan buzzer berkurang, dan hoaks bisa ditekan. Sebuah gagasan yang di permukaan terdengar seperti sapu sakti yang bisa membersihkan semak belukar digital kita.

Tapi, seperti banyak resep instan lain, pertanyaan muncul: apakah benar masalah selesai hanya dengan membatasi jumlah akun?

Logika Sederhana, Dunia Digital Rumit

Dalam logika awam, membatasi satu orang pada satu akun akan menyulitkan siapa pun yang selama ini memanfaatkan banyak identitas palsu untuk menggaungkan narasi.

Tidak ada lagi seribu akun dengan nama aneh yang bisa menyerbu kolom komentar demi mengangkat isu tertentu. Semua akan lebih mudah ditelusuri, dan tanggung jawab personal menjadi lebih jelas.

Namun dunia digital tidak sesederhana papan tulis sekolah yang bisa dibersihkan dengan sekali usap. Banyak hoaks lahir dari akun asli yang sadar menyebarkan kabar bohong. Jaringan bot otomatis juga bisa beroperasi tanpa harus berbasis identitas manusia.

Membatasi jumlah akun tidak serta-merta mematikan botnet atau menghentikan buzzer profesional.

Belajar dari Negara Lain

Jika menengok praktik negara lain, kebijakan ini bukan barang baru.

Tiongkok sudah lama menerapkan registrasi nama asli, bahkan sejak pembuatan nomor ponsel. Anonimitas memang berkurang, tetapi ruang demokrasi ikut menyempit. Pengawasan negara semakin ketat, sensor semakin total.

Korea Selatan juga pernah mencoba kebijakan serupa, namun akhirnya digugat karena dianggap mengekang kebebasan berpendapat.

Eropa memilih jalur berbeda. Jerman dengan NetzDG menekan platform untuk menghapus konten ilegal, sedangkan Uni Eropa lewat Digital Services Act menekankan transparansi dan akuntabilitas platform. Fokusnya bukan identitas pengguna, melainkan mekanisme penyebaran disinformasi.

Kelebihan yang Layak Dicatat

Kelebihan dari usul Gerindra tidak bisa diabaikan begitu saja.

Dengan mengurangi akun palsu, ruang untuk manipulasi opini publik bisa dipersempit. Akun terverifikasi akan membuat ujaran kebencian lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Penegak hukum pun mungkin lebih mudah melacak aktor penyebar hoaks jika tidak ada tumpukan identitas digital semu yang harus ditembus.

Bahaya yang Mengintai

Namun dampak negatifnya tidak main-main.

Kelompok rentan---mulai dari aktivis HAM, jurnalis investigasi, hingga korban kekerasan---sering membutuhkan ruang anonimitas untuk bisa bersuara tanpa takut diintimidasi. Aturan satu akun per orang akan menggerus perlindungan itu.

Risiko kebocoran data pribadi juga menghantui. Siapa yang bisa menjamin data KTP atau nomor ponsel tidak bocor ke pihak ketiga?

Belum lagi potensi pengawasan negara yang bisa berubah menjadi alat represi politik.

Dan jangan lupa, kreativitas serta pluralitas identitas juga akan terganggu. Dunia maya adalah ruang berekspresi, bukan sekadar tempat berdebat politik. Membatasi satu akun berarti menutup kemungkinan bereksperimen dengan identitas dan karya.

Jalan Tengah yang Lebih Bijak

Daripada menutup pintu kebebasan dengan aturan kaku, ada jalan lain yang lebih seimbang.

Regulasi sebaiknya diarahkan pada tanggung jawab platform. Algoritma yang mengedepankan konten sensasional perlu diawasi. Transparansi tentang bagaimana sebuah konten naik daun harus diwajibkan.

Model verifikasi identitas tanpa membuka nama asli ke publik bisa jadi solusi. Platform tetap tahu siapa di balik akun, tapi publik masih diberi ruang untuk anonimitas terbatas.

Penguatan teknologi deteksi bot juga lebih urgen daripada sekadar membatasi jumlah akun. Dan tentu saja, literasi digital masyarakat adalah kunci jangka panjang untuk menekan hoaks.

Prinsip Kehati-hatian

Kebijakan apa pun yang dipilih harus berhati-hati. Data yang dikumpulkan tidak boleh melebihi kebutuhan dan harus dilindungi dengan ketat.

Pengawasan independen mutlak diperlukan agar kebijakan tidak berubah menjadi alat pembungkaman.

Jika ide satu orang satu akun tetap dipaksakan, sebaiknya dimulai dengan uji coba terbatas, evaluasi menyeluruh, dan keterlibatan publik dalam menilai dampaknya.

Menjaga Kebenaran Tanpa Memenjarakan Kebebasan

Usul Gerindra adalah refleksi dari keletihan kita menghadapi banjir informasi palsu. Kita lelah dengan buzzer yang mendadak muncul berjamaah, dengan rumor yang menyebar lebih cepat dari cahaya, dengan fitnah yang diulang-ulang hingga terdengar seperti kebenaran.

Namun, seperti kata filsuf John Stuart Mill, "Jika semua orang sepakat salah, kebenaran tetaplah kebenaran."

Menjaga kebenaran tidak bisa dilakukan dengan memenjarakan kebebasan berpendapat. Yang kita butuhkan adalah kebijakan yang membuat ruang digital lebih sehat tanpa mengorbankan demokrasi.

Usul satu orang satu akun terdengar sederhana, tapi seperti obat dengan efek samping besar, ia bisa menyehatkan sekaligus melemahkan tubuh demokrasi. Tantangannya adalah menemukan dosis yang tepat---agar hoaks bisa ditekan tanpa harus mengubur suara rakyat di ruang maya yang seharusnya bebas dan terbuka.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun