Beberapa hari lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, membuat pernyataan yang sontak memicu riuh di ruang publik. Dalam sebuah forum, ia berkata:
> "Tanah itu tidak ada yang memiliki. Yang memiliki tanah itu negara, orang itu hanya menguasai. Negara kemudian memberikan hak kepemilikan... 'Oh ini tanahnya mbah-mbah saya leluhur saya'. Saya mau tanya, emang mbahmu leluhurmu dulu bisa membuat tanah? Nggak bisa membuat tanah."
Kalimat ini, yang menurut Nusron hanya dimaksudkan sebagai guyon, langsung menjadi santapan media dan perbincangan warganet. Humor yang meleset itu menimbulkan kesan seolah negara adalah pemilik mutlak semua tanah di Indonesia. Menyadari dampaknya, Nusron buru-buru mengklarifikasi dan meminta maaf:
> "Saya atas nama Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia, kepada publik, kepada netizen atas pernyataan saya yang viral dan menimbulkan polemik, memicu kesalahpahaman."
Ia menegaskan bahwa yang ia maksud sebenarnya adalah tanah terlantar, bukan tanah rakyat yang sudah bersertifikat atau tanah adat. Hanya saja, kalimat itu terlanjur bergulir liar.
---
Lalu, Siapa Pemilik Tanah di Negeri Ini?
Secara hukum, jawaban atas pertanyaan itu sebenarnya sudah jelas.
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan:
"Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat."
Dikuasai, di sini, bukan berarti dimiliki secara pribadi oleh pemerintah. Negara hanyalah pengelola dan pengatur, bertindak sebagai wakil seluruh rakyat Indonesia.
Hal ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Negara mengatur peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaan tanah, tetapi hak milik tetap diakui --- baik dalam bentuk Sertifikat Hak Milik (SHM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, maupun tanah adat atau tanah ulayat.
Sementara itu, tanah yang berstatus HGU atau HGB namun terbengkalai dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar. Sesuai PP Nomor 20 Tahun 2021, negara berhak menarik kembali hak itu dan memanfaatkannya untuk kepentingan publik.
---