Demo Dari Pajak Jadi Minta Bupati Turun
Pati sedang panas. Rabu, 13 Agustus 2025, ribuan warga tumpah ke jalan. Awalnya mereka "hanya" minta kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen dibatalkan. Eh, tapi begitu massa sudah berkumpul, tuntutannya naik kelas: Bupati Sudewo diminta mundur. Rupanya, kalau pemerintah daerah bisa main angka 250 persen, rakyat juga bisa main eskalasi tuntutan.
Kebijakan ini muncul Mei 2025. Dalam rapat bersama para camat dan PASOPATI, Bupati Sudewo memutuskan tarif PBB perlu dinaikkan---bukan sedikit-sedikit, tapi langsung tiga kali lipat lebih---karena Pati sudah 14 tahun tidak pernah menaikkan PBB. Katanya, pendapatan pajak daerah cuma Rp 29 miliar, kalah telak dari Jepara yang tembus Rp 75 miliar, atau Rembang dan Kudus yang masing-masing sekitar Rp 50 miliar. Jadi, solusinya? Ambil jalan pintas: gebuk rakyat lewat pajak.
Ada Undang-Undangnya, Jadi Sah?
Secara hukum, memang benar PBB-P2 adalah wewenang pemerintah kabupaten/kota. UU No. 1 Tahun 2022 memberi hak penuh untuk menentukan tarif, selama tidak lewat dari 0,5 persen dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Di atas kertas memang aman. Di bawah meja? Ya itu tadi---tidak semua yang legal otomatis logis.
Di Pati, kebijakan ini dimasukkan dalam Peraturan Bupati (Perbup) No. 17 Tahun 2025. Diatur rapi: persentase NJOP ditentukan berdasarkan nilai pasar, pemanfaatan tanah, dan pembagian kelas wilayah. Kertasnya mungkin putih bersih, tapi hati rakyat sudah gelap melihat angkanya.
Saat Rakyat Bicara, Pemerintah Baru Mendengar
Begitu kabar kenaikan menyebar, publik langsung bereaksi. Gubernur Jawa Tengah pun ikut bicara, Menteri Dalam Negeri kirim Inspektorat untuk memeriksa dasar kebijakan. Di lapangan, tensi memanas. Satpol PP sampai beradu mulut dengan warga saat mencoba memindahkan posko aksi yang dianggap mengganggu Kirab Hari Jadi ke-702 Kabupaten Pati.
Bupati Sudewo pun minta maaf. Bukan soal kebijakannya yang meleset jauh dari logika publik, tapi soal ucapannya yang dianggap menantang demonstran "50 ribu orang". Ia berkilah, kebijakan ini bukan keputusan sepihak. Katanya, semua sudah dimusyawarahkan dengan tokoh masyarakat dan kepala desa. Entah musyawarahnya pakai kopi atau pakai data yang benar.
Membatalkan, Tapi Sudah Terlanjur
Pada 8 Agustus 2025, Bupati akhirnya membatalkan kenaikan PBB 250 persen. Tarif kembali seperti 2024. Rakyat yang sudah terlanjur membayar lebih dijanjikan uangnya akan dikembalikan. Janji manis itu disampaikan dengan penuh semangat "tulus dan ikhlas".
Namun, pembatalan ini berarti sejumlah proyek juga ikut terhambat. Rencana perbaikan jalan, penataan alun-alun, sampai pembenahan RSUD RAA Soewondo harus diundur. Tentu, yang salah tetap rakyat---kan kalau pajak tidak naik, uangnya kurang. Begitu logika klasik yang sering dipakai.
Pelajaran untuk Semua
Kasus ini memperlihatkan satu hal: pemerintah daerah bisa sangat kreatif saat mencari cara mengisi kas, tapi kadang lupa mengisi hati warganya dengan penjelasan yang layak. Plato pernah bilang, "Perdikan orang bijak seperti air: menyesuaikan diri pada keadaan." Sayangnya, di sini airnya lebih mirip air mendidih yang langsung disiram ke kantong rakyat.
Rakyat Pati pun membuktikan, kalau pemerintah bisa main angka, mereka bisa main massa. Confucius bahkan mungkin akan tersenyum melihat ini: "Angin perubahan berhembus dari pelabuhan yang tidak diketahui." Dalam terjemahan bebas, kadang pemerintah baru sadar salah arah setelah diterpa badai demonstrasi.
Bagi pemilih, ini alarm keras: jangan pilih pemimpin hanya karena slogan manis atau amplop tebal. Pilihlah yang punya rekam jejak kepemimpinan jelas, visi kuat, dan telinga yang mau mendengar. Karena setelah duduk di kursi empuk, mengubah kebijakannya jauh lebih sulit daripada mengubah isi spanduk kampanye.
Penutup
People power di Pati jadi contoh segar bagaimana kebijakan yang dianggap "strategis" di ruang rapat bisa berakhir sebagai bahan bakar kemarahan di jalanan. Kenaikan PBB 250 persen mungkin diniatkan untuk mengejar ketertinggalan fiskal, tapi tanpa komunikasi yang membumi dan sensitivitas politik, hasilnya jelas: rakyat marah, bupati mundur---setidaknya dari kebijakannya.***MG
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI