Dari musik di restoran sampai biaya plastik di minimarket: kalau bisa dibayar orang lain, kenapa harus bayar sendiri?
---
Biaya Royalti: Nada Baru dalam Struk Lama
Di negeri ini, bahkan makan malam bisa berubah jadi konser amal. Anda datang, duduk, memesan nasi goreng, lalu sambil menunggu pesanan, telinga dimanjakan lagu-lagu hits. Saat struk datang, ternyata ada "bonus track": Biaya Royalti Rp29.000. Mendadak, nasi goreng itu terasa seperti paket bundling konser yang tidak pernah Anda pesan.
Padahal, menurut Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, yang wajib membayar royalti adalah pemilik atau pengelola usaha yang memanfaatkan musik untuk tujuan komersial. Tarifnya jelas: Rp60.000 per kursi per tahun untuk hak pencipta, dan Rp60.000 lagi untuk hak terkait. Restoran 50 kursi cukup merogoh sekitar Rp6 juta setahun, alias Rp500 ribu per bulan. Kalau dibagi rata ke ratusan pelanggan, beban per orang sangat kecil --- mungkin setara harga sepotong kerupuk. Tapi entah kenapa, kerupuk itu malah dimasukkan ke piring pelanggan.
---
Tradisi Lama: Bebanmu Adalah Bebanku... yang Saya Lempar Balik
Di Indonesia, ada tradisi bisnis yang unik: kalau bisa dibayar konsumen, kenapa harus rugi sendiri? Listrik naik? Harga menu naik. Sewa tempat melonjak? Ada biaya tambahan. Ada aturan baru soal royalti? Ya sudah, bikin saja pos khusus di struk. Seakan-akan konsumen adalah dompet tanpa dasar, siap menampung semua biaya yang muncul di kepala manajemen.
Fenomena ini mirip dengan biaya kantong plastik di minimarket yang konon untuk menyelamatkan lingkungan, tapi anehnya, uangnya tidak pernah terdengar kabarnya. Atau biaya "admin" saat bayar tagihan listrik di loket resmi, padahal itu bagian dari layanan yang seharusnya sudah masuk dalam bisnis inti. Pengusaha kadang lupa, transparansi bukan berarti menuliskan semua beban di struk, tapi menjelaskan dengan jujur dan adil kenapa beban itu ada --- dan apakah mereka ikut menanggungnya.
---
Di Luar Negeri, Nada yang Lebih Elegan