Dalam sebuah kolom opini di majalah Tempo, sutradara dan budayawan kawakan Garin Nugroho menulis dengan tajuk yang provokatif: "Gibran Mundur Saja."Â
Tulisan ini sontak menyita perhatian publik, karena tidak hanya memuat kritik, tetapi juga menyarankan agar Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, mundur demi keutuhan pemerintahan yang efektif di bawah Presiden Prabowo Subianto.Â
Apakah kritik tersebut lahir dari nalar politik yang sehat? Ataukah sekadar skrip dramatis penuh asumsi, seperti film panjang yang belum rampung menyunting realitas?
Mari kita telusuri lebih dalam.
---
Kritik Garin: Mundur Demi Efektivitas?
Dalam tulisannya, Garin menyebut bahwa kehadiran Gibran sebagai Wapres justru menjadi batu sandungan bagi pemerintahan Prabowo kelak. Hal ini, menurutnya, terbukti dari dorongan sebagian kelompok masyarakat --- terutama segelintir purnawirawan TNI --- yang ingin memakzulkan Gibran bahkan sebelum ia resmi dilantik. Garin juga mengusulkan, demi menjaga martabat dan mengakui "kesalahan," Gibran sebaiknya mundur secara terhormat.
Namun, mungkinkah ini menjadi solusi? Ataukah justru merusak prinsip demokrasi itu sendiri?
---
Fakta Politik: Siapa Sebenarnya Kelompok Pendorong Makzulkan Gibran?
Perlu diluruskan, bahwa kelompok purnawirawan yang menyerukan makzulkan Gibran bukanlah institusi resmi atau representasi dari seluruh korps purnawirawan TNI. Mereka adalah sebagian kecil tokoh yang, secara politis, sudah sejak lama berseberangan dengan Presiden Joko Widodo, dan secara terang-terangan mendukung calon yang kalah di Pilpres 2024.
Beberapa di antara mereka juga memiliki jejak sejarah sebagai mantan pejabat era Jokowi yang diberhentikan. Tak sedikit dari mereka yang merasa terpinggirkan dan membawa agenda politik personal. Jadi, argumen bahwa suara mereka mencerminkan keresahan institusional jelas perlu dikaji ulang secara jernih.
---
Narasi dan Tuduhan: Subyektivitas Tanpa Bukti?
Dalam upaya memakzulkan Gibran, beberapa tuduhan dilontarkan: mulai dari pelanggaran konstitusi, perbuatan tercela, hingga tudingan terhadap akun anonim Fufufafa. Tapi jika ditelaah secara hukum dan obyektif:
Putusan Mahkamah Konstitusi soal batas usia memang menuai kontroversi, tapi sudah final dan mengikat. Kita boleh tidak setuju, tetapi itu sudah menjadi bagian dari sistem hukum yang berlaku.
Akun anonim Fufufafa yang dikaitkan dengan Gibran juga belum terbukti secara hukum sebagai miliknya. Hingga kini, tidak ada bukti autentik yang sah di pengadilan.
Kekhawatiran Gibran menjadi Presiden jika Prabowo berhalangan adalah spekulatif. Konstitusi kita justru mengatur hal ini untuk menjaga kesinambungan pemerintahan. Apakah demokrasi tidak lagi berlaku jika seorang Wapres muda menjalankan amanat konstitusi?
---
Gibran dan Legitimasi Demokratis
Pasangan Prabowo--Gibran memenangkan suara mayoritas pemilih dengan perolehan 58,6% suara. Artinya, Gibran bukan hanya hasil kompromi politik, tapi juga produk dari sistem demokrasi langsung yang sah.
Gibran sendiri bukan tanpa rekam jejak. Sebagai Wali Kota Solo sejak 2020, ia membuktikan diri sebagai pemimpin muda yang bekerja cepat, efektif, dan mampu mengadopsi pendekatan kekinian.
Survei Kepuasan di Solo
Beberapa hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas warga Solo puas terhadap kepemimpinan Gibran. Survei LSI Denny JA pada 2022 menunjukkan tingkat kepuasan mencapai 85%. Gibran dinilai sukses dalam tata kelola kota, infrastruktur, digitalisasi pelayanan publik, dan respons terhadap pandemi COVID-19.
---
Peran Gibran: Pelengkap, Bukan Penghambat
Jika dilihat dari pendekatan teknokratis, Prabowo dan Gibran justru bisa menjadi pasangan yang saling melengkapi. Prabowo adalah tokoh militer senior dengan basis kekuatan dan jaringan luas di tingkat nasional dan internasional. Sementara Gibran membawa semangat muda, koneksi digital generasi Z, serta gaya kepemimpinan lapangan yang responsif.
Dalam masa transisi pemerintahan pun, Gibran aktif berkunjung ke berbagai daerah, mendengar langsung aspirasi masyarakat, dan berkomitmen mendorong percepatan proyek nasional seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) serta hilirisasi industri. Apakah itu disebut tidak efektif?
---
Kritik dan Demokrasi: Boleh Kritis, Tapi Jangan Reduksi
Garin Nugroho, sebagai seniman, tentu berhak menyampaikan pandangan politik. Namun seperti halnya kritik terhadap film, pandangan juga harus didasari oleh data dan objektivitas, bukan drama semata. Jangan sampai demokrasi dijalankan dengan narasi yang hanya melihat hitam dan putih, tanpa ruang untuk gradasi dan fakta yang lebih utuh.
Seperti kata Aristoteles, "Keadilan adalah kebaikan tertinggi dalam masyarakat. Ia terletak di tengah antara kekurangan dan kelebihan." Maka kritik pun harus bersandar pada keadilan --- bukan sekadar dramatisasi ketidakpuasan.
---
Epilog: Demokrasi Butuh Kedewasaan
Demokrasi bukan hanya soal siapa yang menang atau kalah, tapi bagaimana menghormati prosesnya. Menyarankan seorang Wapres terpilih untuk mundur sebelum bekerja, hanya karena sekelompok orang tidak suka, adalah bentuk penolakan terhadap kedaulatan rakyat.
Jika kita benar-benar ingin menjaga demokrasi tetap hidup, mari kita awasi, kritisi, dan beri masukan konstruktif pada pemimpin yang telah dipilih oleh rakyat. Bukan dengan menggiring opini dramatis yang merusak legitimasi.
"Bukan kehormatan yang membuat seseorang jujur. Tapi kejujuranlah yang membuat seseorang terhormat."
--- Bung Hatta
Mundur bukanlah solusi. Bekerja dan membuktikan diri adalah jawabannya.
---
Referensi:
Majalah Tempo: Kolom Garin Nugroho, "Gibran Mundur Saja", 2024
Survei LSI Denny JA, Tingkat Kepuasan Warga Solo terhadap Wali Kota, 2022
Data KPU: Hasil Pilpres 2024
Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 90/PUU-XXI/2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI