"Negara bukan milik satu generasi atau satu kelompok, tetapi warisan bersama yang dijaga dengan akal sehat, bukan amarah."--- Bung Hatta
---
Demokrasi bukan barang mainan. Ia adalah hasil perjuangan panjang, berdarah, dan penuh luka. Indonesia, yang telah melalui masa transisi dari otoritarianisme ke demokrasi, mestinya sudah matang untuk membedakan antara aspirasi konstitusional dan tindakan yang merongrong sistem. Namun, baru-baru ini publik dikejutkan oleh sikap sekelompok purnawirawan militer yang tergabung dalam Forum Purnawirawan TNI yang menyerukan---bahkan menyiapkan skenario---untuk memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, termasuk jika perlu dilakukan melalui "paksaan".
Tindakan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah sikap mereka sekadar ekspresi politik yang sah dalam demokrasi, atau sudah mengarah pada upaya makar yang membahayakan fondasi negara hukum?
---
Dari Pernyataan ke Skenario Pemaksaan
Menurut laporan dari berbagai media termasuk yang disampaikan dalam kanal Kompas.com, forum purnawirawan ini tidak hanya mengirimkan surat kepada DPR dan MPR untuk meminta pemakzulan, tetapi juga menyusun skenario pemaksaan agar keinginan mereka terlaksana. Tidak dijelaskan secara eksplisit apa bentuk "paksaan" itu, tetapi narasi yang berkembang mengarah pada tekanan politik sistematis.
Sementara dalam sistem demokrasi, menyampaikan pendapat dijamin oleh konstitusi, tetapi upaya sistematis untuk menumbangkan pejabat negara yang sah terpilih melalui tekanan non-konstitusional, jelas merupakan persoalan yang berbeda.
Presiden dan Wakil Presiden RI telah dipilih dalam Pemilu 2024 secara langsung oleh rakyat. Pasangan Prabowo-Gibran memperoleh 58% suara, kemenangan yang telah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Semua prosedur hukum telah dijalani, termasuk sidang sengketa hasil pemilu yang telah menyatakan sahnya proses tersebut.
---
Konstitusi Telah Mengatur
Pemakzulan Wakil Presiden (dan Presiden) bukan perkara suka atau tidak suka, bukan pula perkara tekanan politik. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 7A menyebutkan bahwa: