> "Kepercayaan adalah mata uang dari demokrasi. Sekali hilang, nilainya sulit kembali." -- Fareed Zakaria
---
Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga tinggi negara yang lahir dari semangat Reformasi 1998, kini menghadapi sorotan tajam publik. Bukan karena prestasi, melainkan karena serangkaian putusan yang dianggap bukan menjaga konstitusi---melainkan justru melanggarnya. MK yang seharusnya menjadi "penjaga konstitusi" kini dituduh oleh publik sebagai "pelanggar konstitusi."
Dalam waktu singkat, MK telah mengeluarkan sejumlah keputusan kontroversial
1. Menghapus presidential threshold
2. Menurunkan ambang batas dukungan pencalonan kepala daerah
3. Memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah
Masing-masing putusan tersebut menimbulkan polemik, tetapi yang paling dianggap melanggar konstitusi adalah keputusan MK memisahkan Pemilu Nasional (pilpres, DPR, DPD) dan Pemilu Daerah (pilkada dan DPRD). Keputusan ini dinilai berlawanan langsung dengan amanat UUD 1945 dan putusan MK sebelumnya yang sudah final.
---
Putusan Pemilu Terpisah Melanggar UUD?
Putusan MK No. 12/PUU-XXII/2024 memerintahkan agar Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dilaksanakan secara terpisah, bukan lagi serentak seperti pada 2019 dan 2024. Ini bertentangan secara fundamental dengan:
Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945
> (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.
Pasal ini mengandung makna bahwa pemilihan legislatif dan eksekutif diselenggarakan secara serentak dalam satu siklus lima tahunan, bukan dipisah.
Hal ini diperkuat dengan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa desain konstitusional yang ideal adalah pemilu serentak lima kotak---yakni presiden/wapres, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Putusan tersebut secara eksplisit menilai bahwa pemilu serentak menjaga integritas sistem presidensial, memperkuat efektivitas pemerintahan, dan memperkecil potensi politik transaksional.
Dengan memisahkan pemilu, MK dalam putusan terbarunya justru melanggar logika dan substansi putusan sebelumnya, sekaligus melawan ketentuan UUD 1945, karena menciptakan sistem pemilu baru tanpa dasar konstitusional atau revisi undang-undang.
---
Apa Saja Putusan Kontroversial MK Baru-baru Ini?
1. Presidential Threshold Dihapus
Dalam putusan No. 14/PUU-XXII/2024, MK menghapus ketentuan 20% kursi DPR atau 25% suara nasional untuk mengusung capres, yang sebelumnya tercantum dalam UU Pemilu. Artinya, semua partai kini bisa mencalonkan capres-cawapres, tanpa harus berkoalisi. Ini berisiko menimbulkan fragmentasi ekstrem.
2. Ambang Dukungan Pilkada Diturunkan
Putusan No. 18/PUU-XXII/2024 menurunkan syarat dukungan bagi partai atau gabungan partai untuk mengusung kepala daerah, dari 20% kursi menjadi 15%, dan dari 25% suara sah menjadi 20%. Hal ini dinilai membuka pintu pencalonan lebih lebar, namun tidak menjamin peningkatan kualitas pemimpin lokal.
3. Pemilu Dipisah: Nasional dan Daerah Terpisah
Seperti disebutkan sebelumnya, Putusan No. 12/PUU-XXII/2024 adalah yang paling dianggap melanggar UUD. Karena bertentangan langsung dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta putusan MK sendiri sebelumnya.
---
MK: Menjadi Pembuat Aturan, Bukan Lagi Penguji Konstitusi?
UUD 1945 Pasal 24C menyatakan:
> "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar."
Tugas MK jelas: menguji apakah suatu UU bertentangan dengan UUD, bukan membentuk norma baru. Namun dalam beberapa putusan terakhir, MK telah melampaui mandatnya dan menjalankan fungsi sebagai positive legislator, yakni membuat aturan baru yang seharusnya menjadi kewenangan DPR dan Presiden.
Profesor Yusril Ihza Mahendra mengingatkan, "Jika MK menjadi pembentuk norma, maka akan terjadi tabrakan kewenangan antar lembaga negara, dan itu bertentangan dengan prinsip trias politica."
---
Mengapa Putusan MK Sulit Dikoreksi?
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Tidak bisa dibanding, tidak bisa dibatalkan. Ini menjadi masalah besar ketika MK mengeluarkan putusan yang:
Bertentangan dengan putusan sebelumnya
Menabrak UUD
Berbau kepentingan politik jangka pendek
Satu-satunya jalan koreksi adalah melalui:
1. Amendemen terbatas UUD 1945
2. Revisi UU MK dan penguatan MKMK (Majelis Kehormatan MK)
3. Peran aktif publik dan akademisi untuk menjaga integritas hukum dan konstitusi
---
Partai Politik: Ramai-ramai Membangkang
Dalam laporan Kompas.id berjudul "Partai Politik Ramai-ramai Membangkangi Putusan MK", mayoritas partai politik secara terbuka menolak implementasi pemilu terpisah. Mereka menilai MK:
- Melanggar UUD
- Mengganti sistem tanpa mandat legislatif
- Memperburuk stabilitas demokrasi dan efektivitas pemerintahan
Jika keputusan ini tetap dijalankan, maka besar kemungkinan akan muncul krisis politik dan tata negara menjelang Pemilu 2029.
---
Saatnya Menyelamatkan Konstitusi
Jika Mahkamah Konstitusi tidak lagi menjaga konstitusi, maka rakyatlah yang harus menjaganya. Tidak boleh ada lembaga negara yang lepas dari pengawasan, termasuk MK. Keputusan yang menyimpang dari konstitusi harus dikritisi, didorong untuk dikoreksi secara politik dan akademik.
> "Negara hukum sejati adalah negara di mana hukum mengontrol kekuasaan, bukan kekuasaan mengontrol hukum." -- A.V. Dicey
Demokrasi tanpa konstitusi adalah chaos. Konstitusi tanpa penjaga yang jujur adalah bahaya.
---
Referensi:
UUD 1945 (Pasal 22E dan Pasal 24C)
Putusan MK No. 14/PUU-XXII/2024
Putusan MK No. 18/PUU-XXII/2024
Putusan MK No. 12/PUU-XXII/2024
Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019
Kompas.id: "Partai Politik Ramai-ramai Membangkangi Putusan MK", 2025
Pandangan Prof. Yusril Ihza Mahendra & Prof. Jimly Asshiddiqie
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI