Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945
> (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.
Pasal ini mengandung makna bahwa pemilihan legislatif dan eksekutif diselenggarakan secara serentak dalam satu siklus lima tahunan, bukan dipisah.
Hal ini diperkuat dengan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa desain konstitusional yang ideal adalah pemilu serentak lima kotak---yakni presiden/wapres, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Putusan tersebut secara eksplisit menilai bahwa pemilu serentak menjaga integritas sistem presidensial, memperkuat efektivitas pemerintahan, dan memperkecil potensi politik transaksional.
Dengan memisahkan pemilu, MK dalam putusan terbarunya justru melanggar logika dan substansi putusan sebelumnya, sekaligus melawan ketentuan UUD 1945, karena menciptakan sistem pemilu baru tanpa dasar konstitusional atau revisi undang-undang.
---
Apa Saja Putusan Kontroversial MK Baru-baru Ini?
1. Presidential Threshold Dihapus
Dalam putusan No. 14/PUU-XXII/2024, MK menghapus ketentuan 20% kursi DPR atau 25% suara nasional untuk mengusung capres, yang sebelumnya tercantum dalam UU Pemilu. Artinya, semua partai kini bisa mencalonkan capres-cawapres, tanpa harus berkoalisi. Ini berisiko menimbulkan fragmentasi ekstrem.
2. Ambang Dukungan Pilkada Diturunkan
Putusan No. 18/PUU-XXII/2024 menurunkan syarat dukungan bagi partai atau gabungan partai untuk mengusung kepala daerah, dari 20% kursi menjadi 15%, dan dari 25% suara sah menjadi 20%. Hal ini dinilai membuka pintu pencalonan lebih lebar, namun tidak menjamin peningkatan kualitas pemimpin lokal.
3. Pemilu Dipisah: Nasional dan Daerah Terpisah
Seperti disebutkan sebelumnya, Putusan No. 12/PUU-XXII/2024 adalah yang paling dianggap melanggar UUD. Karena bertentangan langsung dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta putusan MK sendiri sebelumnya.