Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Kemenham Menjamin Oknum Pelaku Intoleransi Sukabumi: Ada Apa dengan Kehidupan Bernegara Kita?

4 Juli 2025   12:45 Diperbarui: 4 Juli 2025   12:45 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Intoleransi Sukabumi (Kalawaca.com)

"Negara tidak boleh menoleransi intoleransi. Karena ketika hukum tunduk pada tafsir sepihak dan tekanan massa, maka keadilan menjadi tumpul bagi korban dan tajam hanya untuk yang kuat."

---

Di tengah upaya membangun bangsa yang menjunjung tinggi keberagaman, Indonesia kembali diguncang oleh peristiwa intoleransi. Tepatnya di Kampung Baru, Desa Tenjojaya, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, sekelompok orang merusak sebuah rumah singgah umat Kristen yang kerap digunakan untuk beribadah.

Polres Sukabumi bergerak cepat: tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka. Masyarakat pun mengapresiasi langkah tegas ini sebagai sinyal bahwa negara tak lagi membiarkan intoleransi berlangsung tanpa konsekuensi.

Namun, harapan itu seketika runtuh ketika muncul kabar bahwa Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) turun tangan memberikan jaminan agar para tersangka tidak ditahan.

Yang menyampaikan jaminan ini adalah Thomas Harming Suwarta, Staf Khusus Menteri HAM Natalius Pigai.

Alasannya? Karena menurut Kemenham, tidak ada niat jahat dari para pelaku, hanya terjadi "salah persepsi dan miskomunikasi".

---

Salah Persepsi Bukan Alasan untuk Kekerasan

Perlu diluruskan sejak awal: perusakan properti dan intimidasi terhadap kelompok agama adalah pelanggaran hukum, bukan kesalahan komunikasi yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

Apa jadinya bila semua bentuk kekerasan dibenarkan hanya karena pelakunya "tidak tahu" atau "salah sangka"? Maka hukum akan menjadi sangat subjektif dan berbahaya---hanya berlaku bagi yang tidak bisa membela diri.

Kapolres Sukabumi, AKBP Tony Prasetyo Yudhangkoro, menegaskan bahwa ada bukti kuat bahwa pelaku melakukan kekerasan dan pengrusakan, dan karena itu layak diproses secara hukum.

Namun kini muncul sinyal kontradiktif: ketika proses hukum sedang berjalan, justru Kemenham memberikan perlindungan bagi pelaku, bukan bagi korban.

---

Kemenham dan "Empati yang Keliru"

Dalam pernyataannya kepada media, Thomas Harming Suwarta menegaskan bahwa Kemenham menjamin para tersangka karena mereka tidak berniat jahat dan hanya salah paham terhadap fungsi rumah tersebut.

Mereka menyangka bangunan itu digunakan untuk menyebarkan ajaran secara ilegal, dan bertindak di luar mekanisme hukum untuk "menghentikannya".

Namun bukankah tindakan semacam ini sudah terlalu sering digunakan sebagai pembenaran untuk kekerasan berbasis keyakinan?

Jika setiap orang bisa merusak dan mengintimidasi hanya karena curiga, dan lalu dibela karena "salah persepsi", maka hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan sekadar pajangan administratif.

Lebih memprihatinkan lagi, Kemenham adalah institusi yang seharusnya berdiri tegak membela hak asasi manusia---termasuk hak untuk beribadah dan hidup aman tanpa takut ditekan karena keyakinan berbeda.

---

Rentetan Panjang Intoleransi yang Tak Ditindak Tegas

Kasus Sukabumi bukanlah peristiwa pertama. Deretan kasus intoleransi terus menghantui kehidupan beragama di Indonesia:

Ahmadiyah di NTB dan Jawa Barat: rumah ibadah dibakar, jemaat diusir.

Syiah Sampang: terusir sejak 2012, belum kembali hingga kini.

GKI Yasmin (Bogor) & HKBP Filadelfia (Bekasi): gereja ditutup meski menang di pengadilan.

Kasus Singkil, Tolikara, dan lainnya: persekusi terhadap minoritas yang terus diulang tanpa solusi tuntas.

Semua ini menjadi cermin bahwa intoleransi bukanlah insiden terpisah, melainkan pola yang berulang---dan makin membahayakan jika negara tidak hadir secara adil dan tegas.

---

Menteri Pigai, Ujian Kepemimpinan Anda Dimulai

Sebagai Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai dikenal sebagai sosok yang vokal membela kaum tertindas. Maka publik berharap lebih dari sekadar pernyataan staf khususnya.

Publik menanti: apakah langkah menjamin pelaku ini atas restu dan kebijakan resmi kementerian? Atau justru tindakan keliru yang harus dikoreksi secara terbuka?

Sebab bila dibiarkan, ini akan menjadi preseden bahwa HAM bisa ditafsirkan sebagai perlindungan bagi pelaku kekerasan, bukan perlindungan bagi korban. Padahal, justru minoritas dan kelompok rentan yang paling membutuhkan pembelaan institusional.

---

Negara Tidak Boleh Netral terhadap Ketidakadilan

"Keadilan bukan ketika negara netral antara pelaku dan korban, tetapi ketika negara berdiri kokoh di sisi yang ditindas." --- Martin Luther King Jr.

Negara tidak boleh berlindung di balik kata "damai" atau "kekeluargaan" untuk menutup-nutupi pelanggaran hukum. Terlebih dalam isu kebebasan beragama, konstitusi telah memberi jaminan mutlak kepada setiap warga negara untuk menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinannya.

Netralitas negara dalam kasus intoleransi bukan bentuk kebijaksanaan, tapi bentuk pengkhianatan terhadap nilai dasar konstitusi.

---

Akhir Kata: Membela Korban, Menolak Kekerasan

"Kita boleh beda keyakinan, tetapi kita harus satu dalam hak dan perlindungan hukum." --- Gus Dur

Kementerian HAM, sebagai garda terdepan dalam menegakkan hak asasi, seharusnya berdiri untuk mereka yang dirusak haknya---bukan justru melindungi yang melanggar dengan alasan niat baik.

Jika negara menganggap "niat" lebih penting dari tindakan nyata yang melanggar hukum, maka jangan heran bila kekerasan atas nama moralitas akan makin merajalela.

Hari ini rumah ibadah. Esok mungkin rumahmu. Jangan biarkan hukum tunduk pada tekanan dan prasangka.

---

"Toleransi tidak akan tumbuh dalam perlindungan terhadap pelaku kekerasan. Ia hanya akan hidup jika keadilan ditegakkan tanpa pilih kasih." --- Frans Magnis-Suseno

Mari jaga Indonesia, bukan dengan membela yang keras kepala, tapi dengan menegakkan hukum dan memuliakan mereka yang berbeda. Karena Indonesia milik semua---bukan hanya yang paling banyak bersuara.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun