Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kata Prabowo, Ada Pihak Asing yang Membayar LSM untuk Adu Domba Indonesia, Ada Apa?

2 Juni 2025   18:56 Diperbarui: 2 Juni 2025   18:56 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prabowo Dalam amanatnya pada Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Pejambon, Jakarta (Senin, 2 Juni 2025), Presiden RI Prabowo Subianto melontarkan pernyataan yang kembali mengundang perdebatan publik. Ia menyebut adanya pihak asing yang membiayai LSM di Indonesia dengan tujuan memecah belah bangsa. "Ada kekuatan asing yang tidak senang Indonesia kuat, bersatu, dan damai. Mereka membiayai lembaga-lembaga tertentu, termasuk LSM, untuk menanamkan keraguan dan perpecahan di masyarakat," ujar Prabowo, dalam nada serius yang mengundang tafsir luas.

Pernyataan seperti ini bukan pertama kali terdengar, tetapi dampaknya selalu bergema. Ketika hal itu diucapkan langsung oleh seorang kepala negara, maka bobotnya tidak bisa dianggap remeh. Besar kemungkinan pernyataan ini bersumber dari informasi intelijen. Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan kritis: apakah generalisasi semacam ini adil bagi ribuan LSM yang tulus berjuang membangun negeri?

LSM: Pilar Sipil dalam Demokrasi

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah menjadi bagian dari denyut nadi demokrasi Indonesia. Sejak era Orde Baru hingga pasca-reformasi, mereka menjadi kekuatan sipil yang tak jarang tampil lebih dahulu di garis depan, ketika negara masih tertatih menjangkau berbagai sektor sosial. Mereka aktif dalam advokasi hukum, pengawasan kebijakan publik, pelestarian lingkungan, pemenuhan hak kesehatan, pendidikan inklusif, dan pembangunan komunitas akar rumput.

Di bidang lingkungan hidup, misalnya, kita mengenal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai salah satu organisasi tertua dan paling vokal dalam advokasi lingkungan, terutama dalam isu hutan, energi fosil, dan keadilan ekologis. Selain itu, WWF Indonesia turut memainkan peran penting dalam konservasi keanekaragaman hayati, pelestarian satwa langka, serta edukasi publik tentang pentingnya keseimbangan alam. Yayasan KEHATI, di sisi lain, fokus pada program berbasis komunitas untuk menjaga keragaman hayati, termasuk restorasi hutan dan pertanian berkelanjutan. Sementara Greenpeace Indonesia dikenal luas dengan pendekatan kampanye keras terhadap deforestasi dan transisi energi bersih.

Dalam sektor kesehatan, Yayasan Jantung Indonesia selama puluhan tahun melakukan edukasi publik mengenai gaya hidup sehat serta memberikan pelayanan medis dan bantuan operasi untuk masyarakat kurang mampu. Yayasan KNCV Indonesia (YKI) juga menjadi pilar penting dalam penanggulangan tuberkulosis, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan lembaga donor global untuk mempercepat eliminasi penyakit tersebut.

Di bidang pendidikan, peran LSM tak kalah penting. Indonesia Mengajar menjadi contoh inspiratif: program ini mengirimkan Pengajar Muda ke daerah 3T (tertinggal, terluar, dan terpencil), membantu menciptakan pemerataan kualitas pendidikan sekaligus membentuk kepemimpinan muda. Di sisi lain, YCAB Foundation menggabungkan pendidikan dan pembiayaan mikro bagi keluarga prasejahtera agar anak-anak mereka tetap bisa mengakses pendidikan, bahkan hingga ke pelatihan kerja dan kewirausahaan.

Data dari Kementerian Dalam Negeri (2024) mencatat lebih dari 450.000 organisasi kemasyarakatan di Indonesia yang terdaftar resmi, dengan sekitar 40.000 di antaranya aktif dalam isu-isu strategis pembangunan. Ini menunjukkan bahwa LSM bukanlah kekuatan kecil. Dalam praktiknya, mereka mengisi ruang kosong yang belum atau tidak terjangkau oleh pemerintah.

Seperti kata filsuf Karl Popper, "Kebebasan tidak dapat dipertahankan tanpa kebebasan untuk mengkritik." Dalam konteks demokrasi, LSM-lah yang menjadi kritik internal terhadap kebijakan publik---baik melalui kolaborasi maupun advokasi. Apakah semua kritik itu berarti subversif? Tidak. Banyak di antaranya justru menyelamatkan wajah pemerintah dari kesalahan yang lebih fatal.

Ancaman Intervensi Asing: Realita atau Sinyal Politik?

Namun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa dalam dunia geopolitik, segala kemungkinan bisa terjadi. Ada pula bukti-bukti di sejumlah negara lain bahwa "soft power" dapat dikendalikan lewat jaringan LSM tertentu. Dalam konteks ini, kekhawatiran Presiden Prabowo bisa jadi berangkat dari kehati-hatian terhadap campur tangan yang memanfaatkan celah keragaman kita sebagai bangsa. Namun tetap perlu disampaikan secara proporsional.

Masalah muncul ketika pernyataan ini dilontarkan secara umum, tanpa pembeda yang tegas antara LSM yang profesional dan LSM yang hanya menjadi corong kepentingan tertentu. Akibatnya, semua LSM bisa terstigma, padahal kenyataannya tidak semua sama. Dalam demokrasi, labelisasi seperti ini bisa berbahaya karena menimbulkan distrust terhadap kelompok masyarakat sipil yang justru berperan vital dalam pembangunan.

Kerja Sama, Bukan Curiga Semata

Alih-alih mencurigai secara membabi buta, pendekatan yang lebih bijak adalah memperkuat sistem akuntabilitas dan transparansi organisasi sipil. Pemerintah bisa membangun sistem verifikasi dan evaluasi lembaga berbasis output serta integritas. LSM yang kredibel pasti siap terbuka dan diaudit. Kerja sama dengan LSM lokal yang punya akar komunitas, berbasis data, dan berorientasi pada hasil seharusnya terus diperkuat.

Sebab, bangsa ini terlalu besar untuk hanya ditopang pemerintah semata. Sinergi dengan masyarakat sipil adalah keniscayaan. LSM yang bertindak objektif dan profesional adalah mitra strategis dalam membangun Indonesia yang kuat, adil, dan inklusif.

Mungkin pernyataan Presiden Prabowo bisa menjadi refleksi penting bagi kita semua---baik pemerintah maupun LSM. Bahwa dalam kerja kebangsaan, perlu kehati-hatian, tetapi juga kepercayaan. Perlu kontrol, tetapi juga ruang tumbuh. Jangan sampai, karena satu dua oknum yang menyimpang, kita kehilangan semangat gotong royong dalam membangun bangsa.

Bangsa yang Besar Butuh Semua Kekuatan

Kita sedang menghadapi era krisis global---krisis iklim, ketimpangan sosial, polarisasi politik, dan transformasi digital. Semua itu tidak bisa dihadapi oleh negara saja. Dibutuhkan partisipasi aktif seluruh elemen, termasuk LSM, akademisi, media, dan rakyat sipil.

Seperti pesan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945: "Negara Republik Indonesia bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!"

Pernyataan itu kembali relevan hari ini. Bahwa Indonesia tidak bisa dibelah---selama rakyatnya tetap saling percaya, dan pemimpinnya membuka ruang bagi kritik yang membangun.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun