"Kekuasaan sejati adalah ketika engkau bisa memengaruhi tanpa harus memerintah." -- Plato
Seorang tokoh politik biasanya perlahan tenggelam dari pusaran kekuasaan setelah turun dari jabatan tertinggi. Namun, Presiden Joko Widodo justru mengalami hal yang sebaliknya. Setelah resmi mengakhiri masa jabatannya pada Oktober 2024, Jokowi tidak memudar dari panggung politik. Ia justru semakin diperhitungkan, bahkan diperebutkan.
Hari ini, kita menyaksikan bagaimana sejumlah partai politik besar---Golkar, PAN, PSI, dan PPP---berusaha mendekati Jokowi. Mereka tidak sekadar menawarkan posisi simbolis, tetapi juga jabatan strategis, termasuk sebagai ketua umum. Ironisnya, partai tempat Jokowi tumbuh dan bernaung selama lebih dari dua dekade, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), justru memecatnya. Langkah ini memicu perdebatan panjang: mengapa partai-partai lain begitu ingin memiliki Jokowi, sementara PDIP memilih menyingkirkannya?
Magnet Elektoral Tanpa Jabatan
Daya tarik Jokowi sebagai tokoh politik sulit disangkal. Survei Litbang Kompas (Mei 2024) menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi masih bertahan di atas 70 persen. Ini bukan angka kecil bagi seorang mantan presiden. Ini adalah angka legitimasi. Angka yang menjadi impian setiap politisi dan aset berharga bagi setiap partai politik yang ingin menang dalam pemilu atau mengokohkan posisi di parlemen.
Tidak hanya itu, Jokowi juga memiliki kemampuan komunikasi publik yang tidak banyak dimiliki politisi lain. Kesederhanaan dalam tutur kata, kecepatan merespons isu, dan kemampuannya mengelola persepsi menjadikannya simbol politik yang hidup dan kuat. Dalam lanskap politik Indonesia yang penuh dengan retorika elitis, Jokowi hadir sebagai antitesis: membumi, pragmatis, sekaligus efektif.
Bukan hal aneh jika banyak partai melihat Jokowi sebagai kendaraan elektoral yang strategis. Bagi partai seperti PSI yang tengah mencari pijakan lebih kuat, atau Golkar yang ingin meremajakan citra, Jokowi adalah jawaban yang tepat: mantan presiden dengan daya tarik lintas generasi dan lintas segmen sosial.
PDIP dan Politik Penolakan
Berbeda dengan partai-partai lain yang sibuk meminang, PDIP justru memilih jalan konfrontatif. Pemecatan terhadap Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka menjadi pertanda bahwa hubungan PDIP dengan presiden dua periode itu telah benar-benar retak.
Langkah ini, jika dibaca secara politis, adalah bentuk konsistensi ideologis PDIP: mempertahankan garis partai atas nama kedisiplinan kader. Namun dari kacamata strategis, keputusan ini terkesan irasional. Sebab, Jokowi adalah aset politik nasionalis terbesar yang dimiliki PDIP sejak Megawati. Jika saja PDIP menawarkan jabatan ketua umum kepada Jokowi sebelum konflik ini mencuat, bisa jadi sejarah akan mencatat hal berbeda. Bukan tidak mungkin, kader PDIP sendiri yang kini menjadi presiden.