Indonesia bukan bangsa yang lahir dari keseragaman, melainkan justru dari keberagaman. Dalam Babad Tanah Jawi, sejarah Nusantara mencatat persilangan budaya dari berbagai kerajaan, pelabuhan, dan penyebaran agama.
Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan nasional, pernah berujar:
"Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."
Pendidikan karakter ini sejatinya mengajarkan nilai toleransi sejak dini: memberi teladan, membangun semangat bersama, dan memberi dukungan kepada yang berbeda.
Namun, di era digital, tantangan baru muncul. Media sosial sering menjadi tempat subur bagi hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi sektarian. Sayangnya, ini diperparah dengan minimnya literasi digital dan keberpihakan elite politik terhadap mayoritas sempit.
Apa yang Harus Dilakukan?
Kota-kota dengan tingkat toleransi rendah bukan untuk dikucilkan, tapi diajak belajar dari kota-kota seperti Salatiga dan Singkawang. Lalu apa yang bisa dilakukan?
1. Peran Pemerintah Daerah
- Merevisi kebijakan diskriminatif (seperti pelarangan ibadah atau pembatasan pendirian rumah ibadah)
- Mendorong program inklusi budaya dan dialog antaragama
- Memastikan ruang publik bebas dari dominasi simbol keagamaan tertentu
2. Peran Masyarakat dan Tokoh Agama
- Membangun komunitas lintas iman
- Menolak politisasi agama
- Menyuarakan narasi damai dari panggung agama
3. Peran Media dan Sekolah
- Meningkatkan literasi toleransi sejak dini
- Menyebarkan konten edukatif dan inspiratif
- Menjadi filter terhadap ujaran kebencian
Toleransi, Pilar Pancasila yang Harus Dijaga