Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Seperti Diduga, Para Penuduh Ijazah Palsu tetap Menyangkal: Ego dan Sensasi Murahan?

26 Mei 2025   09:20 Diperbarui: 26 Mei 2025   09:20 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tutup mata dan telinga (LinkInd)

Seperti kisah burung hantu yang menolak siang karena silau oleh cahaya, begitulah kira-kira posisi para penuduh ijazah palsu mantan Presiden Jokowi hari ini. Bukan karena kekurangan bukti, melainkan karena kelebihan ego. Bukan karena kelangkaan klarifikasi, melainkan karena kelimpahan prasangka. Dan seperti sudah diduga, meski Kepolisian Republik Indonesia telah mengeluarkan pernyataan resmi dengan detail forensik yang memadai, para penuduh itu tetap bernyanyi lagu lama: "Tunjukkan ijazah aslinya!

"Padahal, kebenaran bukan lagi sekadar lampu, ia kini sebuah sorotan panggung yang menerangi arena teater politik---tempat para aktor konspirasi tampil bukan dengan nalar, tapi dengan nalar semu. Polisi---melalui Bareskrim---telah menjelaskan dengan metode ilmiah dan pendapat para ahli, namun narasi yang diulang-ulang seolah berasal dari ruang gema kebohongan yang sengaja dibangun untuk menandingi realitas.

Apa Saja Bukti yang Sudah Disampaikan Polisi?

Bareskrim Polri, dalam rilis terbarunya, menyampaikan beberapa poin penting yang dijadikan dasar bahwa ijazah Presiden Joko Widodo adalah asli dan sah menurut hukum:

1. Klarifikasi Resmi dari UGM
Universitas Gadjah Mada, sebagai lembaga resmi negara, menyatakan bahwa Jokowi adalah alumni sah dari jurusan Kehutanan, lulus tahun 1985. Ini bukan sekadar klaim, tapi dilengkapi dengan arsip kelulusan, nomor induk mahasiswa, dokumen akademik, dan data lulusan yang valid.

2. Verifikasi Fisik dan Forensik
Polisi memaparkan bahwa telah dilakukan analisis forensik terhadap ijazah yang dimiliki Jokowi. Hasilnya menyatakan bahwa jenis kertas, tinta, tanda tangan, serta cap stempel sesuai dengan dokumen yang diterbitkan UGM pada tahun itu.

3. Pendapat Ahli Hukum
Menurut Prof. Eddy O.S. Hiariej dan beberapa pakar hukum pidana lainnya, pengakuan resmi dari universitas pemberi ijazah sudah cukup menjadi bukti keaslian menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia. Tidak diperlukan pembuktian lebih lanjut kecuali ada bukti sebaliknya yang sahih.

4. Penelusuran Riwayat Akademik
Nama Jokowi tercatat dalam berbagai kegiatan kampus, tugas akhir, dan daftar wisudawan UGM. Penelusuran ini dilakukan oleh tim independen akademik, bukan polisi semata.

Namun para penuduh tetap berdiri tegak seperti patung di tengah badai logika. Mereka hadir dengan rentetan argumen yang diputar berulang seperti kaset kusut:

"Mana ijazah aslinya, kok hanya foto?"

"Itu hanya membandingkan ijazah, pembandingnya belum tentu asli."

"Itu dikatakan identik, belum tentu otentik."

"Pernyataan Polisi belum final, harus diuji di pengadilan."

"Itu naratif, tidak ada bukti konkret."

"Itu bukan pembuktian ilmiah."

"Polisi sudah terkooptasi."

"Polisi tidak transparan, hanya membela Jokowi."

Dan yang terbaru: Mereka bahkan berencana melaporkan Bareskrim ke Kapolri karena menilai polisi tidak profesional dalam menangani kasus ini.

Padahal, tuduhan pemalsuan dokumen bukan soal persepsi, tapi soal ada atau tidaknya bukti nyata. Dan jika semua bukti sudah ditunjukkan, semua ahli sudah bicara, semua prosedur sudah dijalankan, lalu mengapa suara sumbang itu tetap menggema?

Karena, sebagaimana dikatakan Nietzsche, "Orang tidak mau mendengar kebenaran karena mereka tidak ingin ilusi mereka dihancurkan."

Menjawab Satu per Satu: Demi Akal Sehat

Mari kita bedah tuduhan mereka satu per satu, agar terang tak lagi ditutup kain kusut:

1. "Mana ijazah aslinya?"
-- Hukum tidak mewajibkan setiap dokumen dibawa dan dipamerkan ke publik. Pengakuan resmi institusi pendidikan sudah sah dan memiliki kekuatan hukum. Ini adalah bukti otentik menurut hukum acara.

2. "Kok cuma foto?"
-- Foto adalah bagian dari dokumentasi digital. Namun selain foto, juga telah dilakukan pemeriksaan fisik oleh aparat dan ahli forensik. Ini bukan cuma visualisasi, tapi hasil verifikasi.

3. "Itu hanya pembanding, belum tentu asli."
-- Pembanding diambil dari dokumen sejenis dari angkatan yang sama dan institusi yang sama, diverifikasi oleh pihak kampus. Jika ragu, buktikan sebaliknya, bukan hanya curiga.

4. "Belum tentu otentik, hanya identik."
-- Otentisitas tidak diukur hanya dari visual, tapi dari rekam administratif, pernyataan lembaga, dan validitas sejarah akademik, semua ini telah dijelaskan dengan rinci.

5. "Harus dibawa ke pengadilan."
-- Pengadilan tidak bisa memproses perkara jika tidak ada delik aduan atau bukti awal. Kepolisian menyatakan tak ada dasar hukum untuk membawa ini ke ranah pidana, karena tidak ada kejahatan.

6. "Polisi tidak netral, sudah terkooptasi."
-- Klaim ini tanpa dasar. Tidak ada bukti polisi berpihak. Justru yang terjadi adalah transparansi dalam bentuk konferensi pers, bukti terbuka, dan melibatkan ahli luar.

7. "Laporkan Bareskrim karena tidak profesional."
-- Yang tidak profesional adalah mereka yang terus mengajukan tuduhan tanpa dasar hukum yang kuat, lalu ketika dijawab, malah menuduh lembaga hukum yang sudah bekerja berdasarkan UU.

Lalu, Apa yang Harus Dilakukan?

Kita tidak bisa membungkam orang yang memang tidak mau mendengar, tapi kita bisa menelanjangi absurditasnya di hadapan publik yang waras. Ketika fitnah dipelihara terus-menerus, maka ini bukan hanya soal pencemaran nama baik, tapi juga pelecehan terhadap logika hukum dan nalar publik. Sudah saatnya penegakan hukum melirik aspek ini: apakah layak mereka yang memproduksi kebohongan, lalu menuntut untuk "diladeni", terus dilayani tanpa ada konsekuensi?

Jika ini dibiarkan, maka hukum akan diubah menjadi teater absurd tempat logika dibunuh dengan tuduhan kosong. Jika mereka terus menyebar kabar bohong, maka publik yang rasional harus bertanya: sampai kapan kita biarkan demokrasi dikotori oleh mereka yang tak paham cara berpikir?

Mungkin kita perlu mengingatkan mereka pada kata-kata Immanuel Kant:
"Beranilah untuk berpikir! Sapere aude!" -- Beranilah berpikir dengan akal sehat, bukan dengan bisikan konspirasi.

Dan jika mereka masih tidak puas, mungkin perlu disampaikan kutipan paling relevan dari Plato:
"Orang bodoh berbicara karena ia harus mengatakan sesuatu, orang bijak berbicara karena ia memiliki sesuatu untuk dikatakan."***MG

---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun