Bima tidak pernah pulang ke desa. Setiap kali ibunya menelepon, ia selalu menjawab, "Nanti, Bu. Belum waktunya."
Namun, suatu hari, Lintang menghilang.
Nomornya tidak bisa dihubungi. Kamar kosnya kosong. Tidak ada jejaknya di tempat-tempat biasa mereka kunjungi.
Bima mencarinya, bertanya pada orang-orang yang mengenalnya. Tapi seolah-olah Lintang telah menghilang begitu saja, tanpa jejak, tanpa pesan.
Sampai suatu malam, ia menemukan sebuah surat di bangku taman tempat mereka biasa duduk.
"Bima, aku pergi. Bukan karena aku ingin, tapi karena aku harus. Terima kasih sudah menjadi temanku. Aku harap kau menemukan jawabanmu, atau setidaknya, kau bisa berdamai dengan ketidaktahuannya."
Bima membaca surat itu berulang kali. Hatinya terasa kosong.
Hujan turun malam itu. Jakarta terasa lebih sunyi dari biasanya.
Ia ingin pulang. Tapi ia sadar, mungkin seperti Lintang, ia juga bukan orang yang punya tempat untuk kembali.
Di stasiun, Bima berdiri di depan papan jadwal keberangkatan.
Kereta menuju desanya akan berangkat dalam satu jam. Tapi ia juga melihat jadwal lain---kereta ke kota yang belum pernah ia datangi.