Entah kenapa, ia merasa harus bicara dengannya.
"Kau juga sedang mencari sesuatu?" tanya Bima.
Perempuan itu menoleh, tampak terkejut. Lalu, ia tersenyum kecil. "Mungkin. Atau mungkin aku sedang berusaha melupakan sesuatu."
Namanya Lintang. Sejak pertemuan itu, mereka sering bertemu, berbincang tentang hidup, tentang impian, tentang kota ini yang seolah bisa menelan siapa saja yang tak cukup kuat bertahan.
Jakarta perlahan menjadi lebih akrab bagi Bima, bukan karena gedung-gedungnya atau jalannya, tapi karena percakapannya dengan Lintang. Mereka sering berjalan kaki tanpa tujuan, masuk ke gang-gang kecil, berbicara dengan orang-orang asing yang memiliki cerita hidup yang tak pernah mereka bayangkan.
Suatu hari, mereka berdiri di jembatan yang menghadap sungai berwarna coklat pekat.
"Kau tahu," kata Lintang, "kadang aku merasa kita ini seperti air sungai. Terus mengalir, tapi tak pernah tahu akan bermuara di mana."
Bima mengangguk. "Tapi air sungai tetap mengalir, kan?"
Lintang tersenyum, tapi ada kesedihan di matanya. "Ya. Tapi tidak semua sungai berakhir di laut. Ada yang hanya mengering di tengah jalan."
Bima terdiam. Kata-kata Lintang membuatnya berpikir. Apakah ia juga hanya akan mengering di tengah perjalanan ini?
Sore itu, mereka duduk di taman kota, berbicara tentang mimpi-mimpi yang dulu pernah mereka miliki.