Vinsen melayang-layang di udara, dan seperti seekor burung, ia bisa membawa dirinya dari satu tempat ke tempat lain. Sayangnya, ia tidak bisa melesat dengan cepat. Seseorang yang entah siapa tiba-tiba membawanya terbang ke hamparan tanah di belakang rumahnya.
Di atas tanah empat hektar itu, dari dalamnya, ia melihat almarhum bapak dan para leluhurnya bangkit. Orang-orang mati itu terbang mengelilingi hamparan tanah itu sembari menari-nari dengan sukacita.
Vinsen lalu ditarik, entah oleh siapa, dan membawanya mendekat kepada para leluhur. Tiba-tiba saja Vinsen sudah mengelilingi meja yang penuh makanan enak, diiringi musik kampung yang meriah.
"Kau boleh memakan segala hasil dari benih yang tumbuh di antara tubuh-tubuh kami yang membusuk, dan kau boleh mendirikan hunian di atas tulang belulang kami. Tapi jangan sekali-kali kau menukar tubuh dan belulang kami ini dengan apa pun, sebab berkat mengalir lewat tanah leluhurmu ini." kata Bapaknya.
Vinsen lalu diajak makan, tetapi ia menolak. Tiba-tiba, tangannya sudah dipegang. Yang lain menahan tubuhnya, sementara kakeknya berusaha membuka mulutnya secara paksa. Bapaknya sudah bersiap memberinya minum. Vinsen berusaha memberontak, tetapi tenaga leluhurnya lebih kuat. Ia berusaha untuk terus menggeliat melepaskan diri. Vinsen tiba-tiba sesak nafas, lalu gelap.
"Lasu!" Vinsen segera bangun dari tidurnya. Ia tertidur pulas di pondok kebun, setelah hampir seharian bekerja. Ia menarik nafas sejenak. "Mimpi sialan!" umpat Vinsen sambil merapikan perlaatan kerjanya. Ia bergegas pulang. Sebentar lagi sore berakhir.
Di dapur rumah, sehabis mandi, Vinsen dan Pene, istrinya, duduk menghangatkan diri dengan mengelilingi tungku api, menikmati kopi dan pisang goreng. Vinsen menceritakan mimpinya di kebun tadi, tetapi Pene bergeming.
"Jagung, besi, dengan kacang di kebun kerdil semua la. Ubi juga kering kerontang. Kita punya harapan hanya sayur di halaman depan, itu juga kalau air mencukupi," keluh Vinsen. Pisang goreng ia kunyah dengan lahap, bercampur kecewa.
"Terus bagaimana la?"
"Kita buka kebun sayur di tanah belakang rumah saja. Besok. Kau mau?" Vinsen melirik Pene. Pene mengiyakan dengan anggukan lemah.
"Kau kenapa, Pene? Kau tidak setuju?"
Pene mengalihkan pandangan ke suaminya. Ia melihat sorot kegelisahan dari mata tua lima puluh lima tahun itu.
"Tadi Martina telepon la. Dia minta uang untuk ujian skripsi dengan uang kos," ujarnya. Vinsen terdiam, berhenti mengunyah. "Coba minta di Rupe dulu," sambung Vinsen.
"Rupe punya istri sakit la. Dia juga belum dapat proyek. Belum bisa bantu." Pene menatap lekat-lekat kayu api yang dilahap api. Ia berharap agar kayu itu tidak segera habis di makan api, agar keduanya tetap merasakan kehangatan; persis seperti harapannya agar 'harap'nya tidak segera habis dimakan putus asa.
Rupe, anak sulung Vinsen dan Pene, bekerja sebagai buruh bangunan di Samarinda. Setelah menamatkan SMA-nya di Golewa, Vinsen mengirim Rupe ke Kupang untuk kuliah, Sayangnya, saat liburan semester empat, Rupe menghamili anak tetangga di kampung. Ia memutuskan untuk berhenti kuliah, lalu merantau ke Kalimantan bersama keluarga barunya.
Sementara Martina, si bungsu, memilih berkuliah di Bali. Vinsen dan Pene sadar betul, Martina satu-satunya harapan yang tersisa untuk mengangkat taraf perekonomian keluarga. Itulah sebabnya mereka selalu bekerja habis-habisan demi Martina.
"Tidak apa-apa Martina kuliah mahal, yang penting sekolahnya baik dan bisa dapat kerja baik, jangan seperti bapak dan mamanya ini," begitu alasan Vinsen ngotot menyekolahkan Martina.
"Kita jual saja babi di kandang belakang. Bagaimana?" tawar Vinsen memecah keheningan yang sejak tadi diisi suara rapuh kayu yang berubah menjadi abu.
"Sulit la. Kita punya babi kerempeng. Apalagi sekarang musim virus babi. Tidak ada yang mau beli la," timpal Pene.
Pusing belum menemukan jalan keluar, Vinsen dan Pene kedatangan Yanto, seorang pemuda kampung pengurus kebersihan gereja. Ia disajikan kopi panas dan ikut mencomot beberapa pisang goreng yang tinggal beberapa.
"Om Vinsen, Bibi Pene," Yanto menatap Vinsen dan Pene bergantian. "Bapak Desa undang Om Vinsen ke kantor Desa lagi. Besok."
"Buat apa la? Jual tanah?"
Yanto mengiyakan dengan terbata-bata. "Orang PT mau bertemu sudah untuk mau beli tanah. katanya untuk proyek apa sudah namanya, saya lupa... ah, geothermal."
"Tidak! Saya tidak jual itu tanah!" Vinsen melototi Yanto.
Beberapa waktu lalu di Pasar Golewa, setelah menjual sayur dan berjudi sabung ayam, ia dan Bapak Desa terlibat cekcok. Bapak Desa memaksa Vinsen untuk menjual tanah di belakang rumahnya untuk orang PT, tetapi Vinsen menolak mentah-mentah.
"Dari pada kau cari uang lewat berkebun dan berjudi, mending kau jual saja itu tanah ke orang PT. Di dalam tanah itu, ada harta karun yang namanya panas bumi. Kau punya nama akan harum karena rela jual tanah demi listrik satu kabupaten." Bapak Desa berusaha meyakinkan. Vinsen melihat Bapak Desa itu seperti manusia berkepala ular dengan bibir menggoda, tapi lidah bercabang penuh racun.
"Jangan tipu saya la. Saya tidak bodoh," ujar Vinsen geram.
"Justru karena kau bodoh, makanya tanah itu kau tidak jual." Bapak Desa menimpal lalu terkekeh. Sebuah pukulan tiba-tiba mendarat ke wajah Bapak Desa. Kedua bapak tua itu lalu adu pukul, dan baru terlerai ketika Kapolsek dan anak buahnya datang merazia pasar dari judi sabung ayam.
"Kalau tanah itu dijual, Om Vinsen akan dapat ratusan juta. Itu uang pasti lebih dari cukup untuk rehab rumah, dan bisa kasih sekolah Martina sampai S2. Sebaiknya Om Vinsen pertimbangkan masa depan Martina juga" ujar Yanto sebelum beranjak pulang.
Vinsen akhirnya dirongrong bimbang. Sampai di atas dipan, ia masih merenung. Bukan karena nominal yang diiming-imingkan, tetapi karena Martina. Ia memiliki cita-cita besar untuk sekolah dan masa depan Martina agar tidak menjadi sepertinya.
Menyekolahkan Martina sampai menjadi sarjana saja sudah membuatnya bahagia tak karuan, meski harus bekerja keras di kebun, apalagi membiayai Martina sampai S2. Yah, meskipun harus menjual tanah nenek moyangnya. Vinsen dan Pene akan menjadi orang paling bahagia di seluruh Golewa.
"Vinsen, pikir baik-baik memang. Itu tanah leluhur." Pene berusaha mengingatkan. Ia tahu, hati keras suaminya mulai melunak.
"Tapi kita butuh uang."
"Kita bisa pinjam dulu."
"Hutang di koperasi saja belum lunas, mau hutang baru lagi?" Vinsen memandangi Pene yang tiba-tiba terdiam.
"Kau tidak ingat mimpi itu? Itu artinya kita jangan jual itu tanah la."
"Tidak apa-apa, Pene," Vinsen berusaha meyakinkan istrinya. "Saya percaya, rezeki kita ada di situ. Leluhur kasih kita tanah untuk perbaiki nasib. Mereka pasti setuju."
"Sertifikat di mana? Besok, saya jual itu tanah," ujar Vinsen mantap.
Pada akhirnya, tanah leluhur itu akhirnya terjual. Ratusan juta. Uang hasil penjualan mereka gunakan untuk melunasi hutang-hutang dan memperbaiki rumah. Sekian juta ia kirimkan untuk Rupe. Selebihnya disisihkan untuk biaya kuliah lanjut Martina dan tabungan hari tua mereka.
Beberapa bulan setelah tanah itu dijual, truk-truk mulai lalu lalang di perkampungan. Pipa-pipa raksasa diangkut ke Golewa. Setelah proyek pembangunan geothermal selesai, mesin-mesin bor mulai bekerja.
Pada saat yang bersamaan, rumah Vinsen selesai dipugar. Martina tetap di Bali, sibuk menyiapkan diri untuk kuliah S2-nya, dan diingatkan untuk menjaga perawannya sampai benar-benar mendapat pekerjaan.Â
Semuanya tampak baik-baik saja sampai malam itu tiba. Pene terisak ketika sedang menelepon Martina di teras rumah, sementara Vinsen sibuk menghitung uang hasil jualan sayur tadi.
Tiba-tiba, boommm!!!
Sebuah ledakan dahsyat menghantam Golewa. Semua warga berhamburan keluar rumah menuju bukit. Vinsen refleks berlari keluar, menarik Pene di teras, lalu berlari bersama warga ke bukit.
Dari atas bukit, orang-orang melihat sebuah lubang yang bernyala dan berasap. Dari dalamnya, muncul semburan lumpur panas dengan tinggi belasan meter. Vinsen menyipitkan matanya mencari tahu di mana lokasi semburan itu. Tungkai kakinya tiba-tiba lemah. Ledakan dan semburan itu berada kurang lebih beberapa ratus meter di belakang rumahnya, di atas tanah yang telah ia jual.
Dari kejauhan, Vinsen seperti melihat roh bapaknya, roh kakeknya, dan roh leluhurnya yang lain keluar dari dalam tanah lalu melayang-layang mengitari kawah lumpur panas tersebut, mengeluarkan tangisan yang menyayat hati. Vinsen roboh ke tanah.
Perasaannya bercampur aduk, sedih, kecewa, menyesal, dan perasaan bersalah. Ia seperti tidak rela bahwa rumah yang baru diperbaiki tidak akan berumur panjang.
Pene mendekati Vinsen dengan tangisan yang pilu. "Lihat sudah, leluhur marah kita habis-habisan." Pene terisak sambil teriak-teriak. Vinsen berusaha menenangkan istrinya, tetapi sepotong kalimat yang belum ingin ia dengar meluncur dari mulut Pene dan nyaris membuat jantungnya berhenti bekerja.
"Martina hamil."
Keterangan:
Lasu: umpatan/makian dari orang Bajawa, Flores-NTT.
La: interjeksi khas orang Bajawa, semacam "eh", "ah".
Besi: buah labu; penyebutannya seperti menyebut 'e' pada kata "ember".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI