"Buat apa la? Jual tanah?"
Yanto mengiyakan dengan terbata-bata. "Orang PT mau bertemu sudah untuk mau beli tanah. katanya untuk proyek apa sudah namanya, saya lupa... ah, geothermal."
"Tidak! Saya tidak jual itu tanah!" Vinsen melototi Yanto.
Beberapa waktu lalu di Pasar Golewa, setelah menjual sayur dan berjudi sabung ayam, ia dan Bapak Desa terlibat cekcok. Bapak Desa memaksa Vinsen untuk menjual tanah di belakang rumahnya untuk orang PT, tetapi Vinsen menolak mentah-mentah.
"Dari pada kau cari uang lewat berkebun dan berjudi, mending kau jual saja itu tanah ke orang PT. Di dalam tanah itu, ada harta karun yang namanya panas bumi. Kau punya nama akan harum karena rela jual tanah demi listrik satu kabupaten." Bapak Desa berusaha meyakinkan. Vinsen melihat Bapak Desa itu seperti manusia berkepala ular dengan bibir menggoda, tapi lidah bercabang penuh racun.
"Jangan tipu saya la. Saya tidak bodoh," ujar Vinsen geram.
"Justru karena kau bodoh, makanya tanah itu kau tidak jual." Bapak Desa menimpal lalu terkekeh. Sebuah pukulan tiba-tiba mendarat ke wajah Bapak Desa. Kedua bapak tua itu lalu adu pukul, dan baru terlerai ketika Kapolsek dan anak buahnya datang merazia pasar dari judi sabung ayam.
"Kalau tanah itu dijual, Om Vinsen akan dapat ratusan juta. Itu uang pasti lebih dari cukup untuk rehab rumah, dan bisa kasih sekolah Martina sampai S2. Sebaiknya Om Vinsen pertimbangkan masa depan Martina juga" ujar Yanto sebelum beranjak pulang.
Vinsen akhirnya dirongrong bimbang. Sampai di atas dipan, ia masih merenung. Bukan karena nominal yang diiming-imingkan, tetapi karena Martina. Ia memiliki cita-cita besar untuk sekolah dan masa depan Martina agar tidak menjadi sepertinya.
Menyekolahkan Martina sampai menjadi sarjana saja sudah membuatnya bahagia tak karuan, meski harus bekerja keras di kebun, apalagi membiayai Martina sampai S2. Yah, meskipun harus menjual tanah nenek moyangnya. Vinsen dan Pene akan menjadi orang paling bahagia di seluruh Golewa.
"Vinsen, pikir baik-baik memang. Itu tanah leluhur." Pene berusaha mengingatkan. Ia tahu, hati keras suaminya mulai melunak.