"Tapi kita butuh uang."
"Kita bisa pinjam dulu."
"Hutang di koperasi saja belum lunas, mau hutang baru lagi?" Vinsen memandangi Pene yang tiba-tiba terdiam.
"Kau tidak ingat mimpi itu? Itu artinya kita jangan jual itu tanah la."
"Tidak apa-apa, Pene," Vinsen berusaha meyakinkan istrinya. "Saya percaya, rezeki kita ada di situ. Leluhur kasih kita tanah untuk perbaiki nasib. Mereka pasti setuju."
"Sertifikat di mana? Besok, saya jual itu tanah," ujar Vinsen mantap.
Pada akhirnya, tanah leluhur itu akhirnya terjual. Ratusan juta. Uang hasil penjualan mereka gunakan untuk melunasi hutang-hutang dan memperbaiki rumah. Sekian juta ia kirimkan untuk Rupe. Selebihnya disisihkan untuk biaya kuliah lanjut Martina dan tabungan hari tua mereka.
Beberapa bulan setelah tanah itu dijual, truk-truk mulai lalu lalang di perkampungan. Pipa-pipa raksasa diangkut ke Golewa. Setelah proyek pembangunan geothermal selesai, mesin-mesin bor mulai bekerja.
Pada saat yang bersamaan, rumah Vinsen selesai dipugar. Martina tetap di Bali, sibuk menyiapkan diri untuk kuliah S2-nya, dan diingatkan untuk menjaga perawannya sampai benar-benar mendapat pekerjaan.Â
Semuanya tampak baik-baik saja sampai malam itu tiba. Pene terisak ketika sedang menelepon Martina di teras rumah, sementara Vinsen sibuk menghitung uang hasil jualan sayur tadi.
Tiba-tiba, boommm!!!