Tempo tak gentar akan intimidasi
Sejatinya, Tempo sudah biasa dengan teror-teror seperti ini, mulai dari bom molotov, pemecahan kaca mobil, sampai lewat telepon. Namun, Tempo tidak pernah gentar.
Media besar sekelas Tempo pernah mengalami intimidasi yang jauh lebih dahsyat dari sebuah kepala babi. Bahkan, Tempo pernah dibredel dua kali pada zaman orde baru (1982 dan 1994-1998).
Harus diakui bahwa karya jurnalistik Tempo adalah salah satu yang terbaik. Kerja-kerja investigasinya memang berbahaya dan penuh resiko, bahkan nyawa pun menjadi taruhannya.
Namun, Tempo tetap bekerja dengan jujur, konsisten, dan berpijak pada kebenaran. Kebenaran dan kebebasan menjadi peluru utama bagi Tempo untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik yang terus terang. Keteguhan ini membuat Tempo selalu dibenci musuh-musuhnya, tetapi amat dicintai masyarakat.
Segala bentuk teror, intimidasi, bahkan sampai berujung pada pembredelan tidak membuat Tempo takluk. "Kita boleh kalah, tapi kita tidak boleh takluk!" demikian kata Goenawan Mohamad dalam pidatonya pasca pembredelan kedua.
Ancaman kepala babi yang datang ke meja redaksi mungkin menakutkan, tapi sayangnya, Tempo sama sekali tidak ciut. Kebenaran adalah kekuatan. Kepala babi yang busuk (mungkin sebusuk nyali pengirimnya) tidak membuat para awak Tempo gentar sedikit pun.
Cica dan mimikri Dani Alves
Setelah menerima kiriman paket teror tersebut, Cica tetap beraktivitas seperti biasa. Rekan-rekan Tempo lainnya tetap mengawasi, demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Pramono, Direktur Pelaksanaan Politik Tempo dalam videonya mengatakan bahwa Cica baik-baik saja, dan kepala babinya sudah dimasak. Dengan kelakar, Cica menimpal, "Kecewa kalau cuma kepala, harusnya daging sih."
Respon Cica menanggapi intimidasi ini persis seperti yang dilakukan Dani Alves ketika mengalami perlakuan rasis.