Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hari Bumi, PLTSa dan Saatnya Berdamai dengan Sampah

23 April 2018   08:00 Diperbarui: 23 April 2018   09:20 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.quora.com

Beragam isu memunculkan diperingatinya bumi, planet tempat bermukim milyaran manusia dan ekosistemnya.  Mulai dari asap tebal yang melingkupi hampir seluruh negara bagiam Amerika Serikat, tumpahan minyak di pesisir  Santa Barbara, California pada tahun 1969 hingga spekulasi 22 April dipilih karena merupakan hari lahir Vladimir Lenin, pendiri Republik Soviet.

Pihak Earth Day Network tentu saja membantah, Kathleen Rogers dari Earth Day Network mengatakan bahwa ditetapkannya 22 April 1970 silam sebagai Hari Bumi karena musim semi jatuh pada bulan April. Sehingga cocok bagi pelajar untuk mendapat pelajaran mengenai lingkungan hidup (sumber).

Amy Cassara dari World Resources Institute Washington mencoba menganalisis tren global mengenai lingkungan dan berpendapat bahwa gerakan lingkungan telah berevolusi. Awalnya sebuah pokok bahasan sampingan, kemudian berubah menjadi sebuah aliran arus utama yang kuat, yang dianggap penting oleh sebagian besar orang.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia mengalami masalah lingkungan hidup yang pelik. Mulai dari banjir,  longsor akibat penggundulan hutan, pencemaran udara, air hingga sampah.

Nampaknya Indonesia mendapat nilai jelek untuk semua isu ya?

Dan anehnya tidak ada langkah nyata untuk menanggulanginya. Ketika Sungai Citarum dinobatkan sebagai salah satu sungai terkotor di dunia, kepala daerah yang bertanggung jawab hanya mengucapkan tekad akan membuat air sungai Citarum layak minum di tahun 2018. (sumber) Tapi tanpa gebrakan apa-apa. Ibarat bilang mau berangkat dari Bandung ke Jakarta, namun tidak segera beranjak dari tempat  duduknya. Lha kapan sampai?

Demikian pula dalam penanggulangan sampah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya bertekad mewujudkan Indonesia Bebas Sampah pada tahun 2020. Namun tanpa langkah nyata, bukankah tekad terkesan omong kosong belaka?

sumber: quora.com
sumber: quora.com
Regulasi kantong plastik berbayar tak kunjung selesai. Bahkan pemerintah menerbitkan perpres nomor 35 tahun 2018 mengenai percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi  energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan. Atau lebih dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Regulasi mengenai PLTSa ini pernah dibuat yaitu perpres nomor 18  tahun 2016 namun digugat dan dikabulkan MA (sumber) dengan alasan:

"Diberikan sebelum usaha atau kegiatan berjalan dan tidak mengindahkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta menimbulkan ancaman serius yang tidak dapat dipulihkan terhadap lingkungan hidup".

Namun ada dampak yang lebih signifikan jika PLTSa keukeuh dilanjutkan, yaitu:

PLN  merugi

Cadangan batu bara Indonesia diperkirakan baru akan habis pada tahun 2096. Komoditas vital ini membantu PLN memproduksi listrik dengan harga murah, hanya 4 sen dollar US  per kWH. Sementara  energi listrik yang dihasilkan PLTSa, sesuai UU 35 tahun 2018, harus dibeli PLN dengan harga 13, 35 sen dollar US per kWH.  

Berarti PLN harus menanggung kerugian 9,35 sen dollar AS per kWH? Wow!

Tidak ada perubahan perilaku warga masyarakat

Apakah dengan dibangunnya PLTSa akan menjamin sampah tidak lagi berceceran? Sungai Citarum tidak lagi dipenuhi sampah? Tentu tidak. Sepanjang tidak ada perubahan perilaku maka warga akan tetap membuang sampah sembarangan.

Kebiasaan membuat gimmick

Akibat tidak teredukasi dengan benar, tidak hanya warga, pejabat pun tergelincir membuat gimmick  yang berarti perjalanan  panjang menuju Indonesia Bebas Sampah 2020 tak kunjung tercapai.

Baca juga: Gimmick " Bayar Pakai Sampah" Kreativitas Salah Kaprah

Jadi harus  bagaimana dong?

Saatnya berdamai dengan sampah. Kenali sampah itu apa. Bukankah sisa hasil aktivitas manusia ini mengenal hukum kekekalan masa? Sampah organik akan terurai dengan mudah, cepat dan nyaris tanpa biaya jika dikembalikan ke alam. Bandingkan dengan pembangunan PLTSa yang menelan biaya triliunan rupiah.

Hanya diperlukan 3 pendekatan jika ingin berdamai dengan sampah, yaitu:

Profit

Membangun PLTSa berarti 'menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah'. Selain memaksa PLN membayar listrik dengan harga tinggi, investasi yang dibutuhkan pun mahal. Tak heran PLTSa yang dibangun PT Godang Tua Jaya berakhir sengketa dengan DKI Jakarta di era Basuki Tjahaya Purnama atau yang akrab dipanggil Ahok.  (sumber)

Padahal pemerintah memiliki jalan yang lebih mudah, murah  dan di beberapa tempat sudah berjalan, yaitu dengan sistem desentralisasi. Selama ini Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) sudah memberi rezeki pada sekelompok warga. Mereka memilah sampah yang dibawa pengangkut sampah. Hasil pemilahan dijual pada pengepul yang datang setiap hari pula.

Jadi seharusnya pemerintah cukup menginstruksikan pemisahan sampah dari rumah, setelah itu biarkan warga menjalankan pola circular economy, yaitu memperlakukan sampah sebagai sumber daya/bahan baku bagi proses selanjutnya. Sampah plastik akan dijual untuk diproses menjadi biji plastik. Sampah organik menjadi kompos, begitu  seterusnya.

Planet

Bumi tak mengenal sampah kata Leonardo Da Vinci.  Ada proses makan memakan dalam ekosistem.  Sampah organik dikembalikan ke alam dengan segala rekayasanya agar menjadi bahan baku bagi proses selanjutnya.

Sedangkan sampah anorganik menjadi tanggung jawab produsen pembuatnya. Dikenal dengan Extended Producer Responsibility (EPR) tercantum dalam undang-undang nomor 18 tahun 2008. EPR mewajibkan produsen bertanggungjawab terhadap seluruh siklus produk dan kemasan dari produk yang mereka hasilkan. Pemerintah cukup mengurusi wadah yang digunakan bersama seperti kantong plastik.

People

Apa sulitnya mengurus sampah?  Secara turun temurun masyarakat telah mengenal 3 R atau reduce, reuse dan recycle.

Reduce. Sebelum budaya konsumtif meraja lela, masyarakat sudah terbiasa berbelanja sesuai kebutuhan. Terlebih membeli barang seperti baju, sepatu, makanan  hanya disebabkan gengsi. Pola hidup konsumtif inilah yang awalnya membuat sampah membludak.

Reuse. Dulu, masyarakat juga mengenal reuse. Membeli kecap dalam botol gelas dengan membawa botolnya. Demikian juga pembelian sirup, minuman seperti coca cola, sprite dan lain-lain. Ketika produsen mengganti kemasan dengan plastik, pembelilah yang menanggung harga kemasan plastik. Tidak ada yang gratis.

Kini cara penjualan reuse mulai dilakukan UMKM. Yang dibutuhkan hanyalah dukungan pemerintah dan tenaga ahli agar pola reuse tidak sekedar gimmick.

Recycle. Selain mengompos sampah organik, warga juga bisa berpartisipasi dengan mengumpulkan sampah anorganiknya untuk dijual, disetor ke bank sampah atau diberikan ke pemulung.

Nampaknya mudah.

Nah  bagaimana jika masalah sudah terlanjur  seperti ini?


Ada dua langkah , yang pertama membereskan sampah yang ada dengan cara kerja pemadam kebakaran. Apapun mereka lakukan untuk memadamkan api.

Langkah kedua  adalah law enforcement  UU nomor 18 tahun 2008 mengenai pengelolaan sampah dan UU 32 tahun 2009 mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) yang teramat komplit ...plit. Ratusan juta rupiah uang rakyat dan ratusan jam digunakan untuk membuat regulasi tersebut. Saatnya hukum  ditegakkan, jangan dibiarkan menjadi macan kertas belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun