Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pertumbuhan Pribadi setelah Keterpurukan Mental (Bagian II)

3 Januari 2021   23:02 Diperbarui: 4 Januari 2021   10:06 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita lalai dalam upaya memahami emosi dan kondisi diri, kita akan kehilangan makna sejati hadirnya keterpurukan. Yang sering terjadi sekarang adalah penyimpangan karena terlalu bertumpu pada medikalisasi. Dimana orang bertumpu pada "menghilangkan atau menyembuhkan" gejala gangguan mental dengan menggunakan obat-obatan, tanpa disertai dengan upaya memahami diri secara mendalam dan menuntaskan persoalan yang sebenarnya telah ditunjukkan emosi diri.

Sebagai akibatnya, bukan hanya gagal menuju pertumbuhan pribadi, namun persoalan pribadi yang tidak tuntas terselesaikan beresiko memunculkan kembali persoalan yang sejenis/kambuh ketika berhadapan dengan tekanan serupa kelak.

Bukan hanya penyakit, tapi kesempatan memperbaiki diri
Makna sejatinya dari keterpurukan mental adalah kesempatan pertumbuhan diri menjadi lebih baik. Keterpurukan bukan hanya persoalan psikologis atau penyakit mental, tapi adalah kesempatan belajar ulang tentang memahami diri dan merubah cara-cara kita selama ini merawat diri.

Kesedihan mengindikasikan bahwa kita butuh waktu untuk diri sendiri, untuk merawat luka dan memahami diri yang selama ini telah terabaikan. Artinya, kita diajak belajar ulang mengelola waktu agar menyediakan waktu pribadi untuk merawat diri.

Luka yang kita alami meminta kita lebih jujur bahwa kita membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat kita. Artinya, ini adalah ajakan agar kita menyediakan waktu untuk merawat relasi-relasi terdekat yang kita miliki. Jika kita kesulitan mencari dukungan dari orang terdekat, maka kita juga perlu belajar mencari bantuan kesehatan mental profesional seperti Konselor, Psikolog dan Psikiater.

Perasaan takut-cemas akan penolakan mengingatkan kita tentang kebutuhan diri menjadi diri sendiri dan diterima oleh orang-orang yang kita kasihi. Artinya, kita diajak untuk menelaah ulang apakah cara kita menghadapi sumber kecemasan telah efektif. Jika belum bisa memberikan rasa aman, maka kita perlu merubah strategi untuk mendapatkan penerimaan, kasih dan rasa aman dari lingkungan kita.

Dalam perspektif humanisme, kesempatan pertumbuhan diri perlu ditangkap dan diupayakan secara sungguh-sungguh. Kebutuhan dasar manusia adalah bertumbuh. Jika dihambat atau diabaikan, maka bisa menimbulkan persoalan pribadi lebih lanjut, kekosongan dan kehilangan makna hidup, serta menurunnya kesehatan dan kualitas hidup manusia.

Namun sayangnya, data menunjukkan bahwa keterpurukan mental yang dialami orang dari kelompok sosial-ekonomi lemah akan lebih berat. Hal ini terjadi bukan hanya karena terbatasnya akses kesehatan karena lemahnya kemampuan finansial; tapi juga karena kesalahan berpikir bahwa adalah "logis" hidup terpuruk secara mental karena miskin. Karena kesalahan berpikir inilah, mereka tidak berusaha mencari bantuan untuk menyelesaikan keterpurukan mental. Cara pandang ini tidak tepat, terlepas dari kondisi sosial-ekonomi, semua dari kita memiliki kesempatan mencapai pertumbuhan pribadi dengan berusaha keluar dari keterpurukan mental.

Ketika berhadapan dengan keterpurukan mental, kita perlu kembali ke dalam untuk memahami diri, lalu bergerak menuju perubahan diri, demi menuju pertumbuhan pribadi dan kesehatan mental.

Lawan keterpurukan adalah daya hidup
Ketika melihat kesedihan dan keterpurukan, kita biasanya ingin cepat-cepat menghilangkannya dan menggantikannya dengan sukacita. 

Saya pernah melihat, upaya pemulihan psikologis bagi korban bencana gunung meletus yang baru saja kehilangan rumah, tanah dan beberapa orang yang dikasihinya adalah diberikan panggung musik dangdut dan badut agar mereka bisa bahagia. Apakah tepat mengganti sedih dan cemas menjadi tawa?

Riset neurosains menemukan bahwa depresi dan kecemasan terjadi karena persoalan ketidakseimbangan  zat kimia di otak (neurotransmitter). Maka, secara klinis, penanganan obat-obatan akan utama digunakan untuk mempengaruhi stabilitas neurotransmitter karena akan membantu menurunkan gejala klinis depresi dan kecemasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun