Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pertumbuhan Pribadi setelah Keterpurukan Mental (Bagian II)

3 Januari 2021   23:02 Diperbarui: 4 Januari 2021   10:06 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterhubungan untuk kesehatan mental

Ada banyak emosi yang kita alami, namun tidak semua kita pahami. Sebagian besar menjadi tidak dikenali bahkan tidak disadari. Pada keadaan sadar (consciousness), sering rasionalitas menekan emosi diri, karena dianggap tidak pantas, salah atau memalukan.

Misalkan, ada anak yang sangat marah pada orang tuanya karena menghardiknya di depan orang banyak, si anak menjadi sangat malu. Dalam keadaan sadar, anak akan berusaha mengalihkan perasaan marahnya menjadi rasionalisasi penerimaan, "saya harus menghormati orang yang lebih tua". Perasaan marah dan malu yang muncul diabaikan bahkan ditekan ke ketidaksadaran (unconsciousness) karena dianggap salah. Namun, satu waktu si anak menolak mengerjakan tugas rumahnya ketika disuruh orang tuanya; dan ketika tidur si anak bermimpi orang tuanya ditelan monster. Hal ini dapat terjadi karena dalam keadaan tidur, rasionalitas berkurang kendalinya atas emosi dan pikiran, sehingga kemarahan bisa muncul. Dalam keadaan sadar, anak paham orang tuanya memiliki kekuasaan lebih atas dirinya yang masih kecil, maka kemarahannya hanya bisa dimanifestasikan dalam bentuk penolakan. Jika kemarahan seperti terus terjadi, tidak dipahami dan tidak terselesaikan, hal ini dapat berkembang menjadi gangguan mental kecemasan pada si anak.

Emosi Marah: Tanda diri menolak ketidakadilan
Marah adalah reaksi ketika mengalami ketidakadilan atau ketika merasa mengalami hambatan dalam mencapai tujuan. Marah berpotensi memunculkan agresi/kekerasan, maka penting untuk memahami dan mampu mengelolanya.

Reaksi marah bisa diamati dalam mimik (alis mata turun dan mendekat, mata membelalak, dan bibir terkatup tegang), intonasi (suara menjadi lebih terkontrol, atau berteriak), dan juga gesture (otot tubuh tegang, berkeringat, otot dagu dan tangan mengencang, tubuh mendekat dan tampak lebih besar).

Marah dapat dipicu karena adanya gangguan, ketidakadilan, ada orang yang mau menyakiti diri atau orang yang kita kasihi, dan terjadinya perbuatan yang tidak menyenangkan pada diri kita (perselingkuhan, penelantaran, penolakan).

Marah juga dapat muncul bersamaan dengan emosi takut (pada diri jika akan menghancurkan diri sendiri atau orang lain) atau jijik (pada orang yang menyebabkan ketidakadilan atau menghalangi diri mencapai tujuan).

Dalam berbagai budaya, marah sering dilihat sebagai emosi yang jelek, dan harus dihindari ekspresinya. Namun, sebenarnya marah juga memiliki fungsi yang konstruktif, yaitu ketika marah dilakukan atas dasar welas kasih untuk menghentikan ketidakadilan. 

Pengalaman marah juga membuka kesempatan belajar cara yang paling tepat dalam mengekspresikan emosi ini. Kita perlu terus belajar cara-cara mengelola kemarahan agar bisa menyelesaikan persoalan ketidakadilan yang dialami tanpa melukai orang lain.

Pertumbuhan pribadi dan kesehatan mental
Keterpurukan mental membuat kita tampak "tidak normal". Perasaan sedih, marah dan cemas membuat kita menolak melakukan tugas sehari-hari, berperilaku aneh, berantakan, beresiko merusak diri dan masa depan. Berhadapan dengan keterpurukan memunculkan perasaan tidak enak. Jika keterpurukan dilihat sebagai penyakit dan masalah, kita ingin segera menghentikannya dan menutupinya agar kembali "normal".

Namun, keterpurukan perlu dilihat sebagai kesempatan pertumbuhan pribadi (a process of growth/self-development). Keterpurukan menuntut diri melakukan introspeksi, refleksi lalu berupaya menerima keadaan diri yang sebenarnya; yang mungkin selama ini diabaikan atau dihindari. Hanya dari penerimaan diri, maka dapat lahir pertumbuhan diri.

Jika kita lalai dalam upaya memahami emosi dan kondisi diri, kita akan kehilangan makna sejati hadirnya keterpurukan. Yang sering terjadi sekarang adalah penyimpangan karena terlalu bertumpu pada medikalisasi. Dimana orang bertumpu pada "menghilangkan atau menyembuhkan" gejala gangguan mental dengan menggunakan obat-obatan, tanpa disertai dengan upaya memahami diri secara mendalam dan menuntaskan persoalan yang sebenarnya telah ditunjukkan emosi diri.

Sebagai akibatnya, bukan hanya gagal menuju pertumbuhan pribadi, namun persoalan pribadi yang tidak tuntas terselesaikan beresiko memunculkan kembali persoalan yang sejenis/kambuh ketika berhadapan dengan tekanan serupa kelak.

Bukan hanya penyakit, tapi kesempatan memperbaiki diri
Makna sejatinya dari keterpurukan mental adalah kesempatan pertumbuhan diri menjadi lebih baik. Keterpurukan bukan hanya persoalan psikologis atau penyakit mental, tapi adalah kesempatan belajar ulang tentang memahami diri dan merubah cara-cara kita selama ini merawat diri.

Kesedihan mengindikasikan bahwa kita butuh waktu untuk diri sendiri, untuk merawat luka dan memahami diri yang selama ini telah terabaikan. Artinya, kita diajak belajar ulang mengelola waktu agar menyediakan waktu pribadi untuk merawat diri.

Luka yang kita alami meminta kita lebih jujur bahwa kita membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat kita. Artinya, ini adalah ajakan agar kita menyediakan waktu untuk merawat relasi-relasi terdekat yang kita miliki. Jika kita kesulitan mencari dukungan dari orang terdekat, maka kita juga perlu belajar mencari bantuan kesehatan mental profesional seperti Konselor, Psikolog dan Psikiater.

Perasaan takut-cemas akan penolakan mengingatkan kita tentang kebutuhan diri menjadi diri sendiri dan diterima oleh orang-orang yang kita kasihi. Artinya, kita diajak untuk menelaah ulang apakah cara kita menghadapi sumber kecemasan telah efektif. Jika belum bisa memberikan rasa aman, maka kita perlu merubah strategi untuk mendapatkan penerimaan, kasih dan rasa aman dari lingkungan kita.

Dalam perspektif humanisme, kesempatan pertumbuhan diri perlu ditangkap dan diupayakan secara sungguh-sungguh. Kebutuhan dasar manusia adalah bertumbuh. Jika dihambat atau diabaikan, maka bisa menimbulkan persoalan pribadi lebih lanjut, kekosongan dan kehilangan makna hidup, serta menurunnya kesehatan dan kualitas hidup manusia.

Namun sayangnya, data menunjukkan bahwa keterpurukan mental yang dialami orang dari kelompok sosial-ekonomi lemah akan lebih berat. Hal ini terjadi bukan hanya karena terbatasnya akses kesehatan karena lemahnya kemampuan finansial; tapi juga karena kesalahan berpikir bahwa adalah "logis" hidup terpuruk secara mental karena miskin. Karena kesalahan berpikir inilah, mereka tidak berusaha mencari bantuan untuk menyelesaikan keterpurukan mental. Cara pandang ini tidak tepat, terlepas dari kondisi sosial-ekonomi, semua dari kita memiliki kesempatan mencapai pertumbuhan pribadi dengan berusaha keluar dari keterpurukan mental.

Ketika berhadapan dengan keterpurukan mental, kita perlu kembali ke dalam untuk memahami diri, lalu bergerak menuju perubahan diri, demi menuju pertumbuhan pribadi dan kesehatan mental.

Lawan keterpurukan adalah daya hidup
Ketika melihat kesedihan dan keterpurukan, kita biasanya ingin cepat-cepat menghilangkannya dan menggantikannya dengan sukacita. 

Saya pernah melihat, upaya pemulihan psikologis bagi korban bencana gunung meletus yang baru saja kehilangan rumah, tanah dan beberapa orang yang dikasihinya adalah diberikan panggung musik dangdut dan badut agar mereka bisa bahagia. Apakah tepat mengganti sedih dan cemas menjadi tawa?

Riset neurosains menemukan bahwa depresi dan kecemasan terjadi karena persoalan ketidakseimbangan  zat kimia di otak (neurotransmitter). Maka, secara klinis, penanganan obat-obatan akan utama digunakan untuk mempengaruhi stabilitas neurotransmitter karena akan membantu menurunkan gejala klinis depresi dan kecemasan.

Selain itu, psikoterapi dan konseling juga digunakan untuk menelaah perasaan dan pikiran yang dialami orang yang tengah terpuruk secara mendalam. Berbagai persoalan psikologis manusia ditemukan berakar dari ide yang salah sehingga melahirkan emosi yang tidak sehat, perilaku yang tidak adaptif dan menyimpang.

Psikoterapi juga dapat mengarahkan perubahan menuju pola hidup yang lebih sehat atau adaptif (memperbaiki pola makan, tidur, rutin aktivitas kerja, karya dan sosial). Pola hidup sehat akan sangat mendukung perbaikan kesehatan mental dan kemampuan bangkit dari keterpurukan.

Riset kesehatan mental menemukan bahwa kombinasi pengobatan psikiatrik dan psikoterapi intensif dapat membantu persoalan terkait keterpurukan mental. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan klinis akan berusaha mencari akar masalah keterpurukan dan menyelesaikannya, bukan sekedar merubah mood dari sedih menjadi tawa.

Ada juga cara lain yang bisa dilakukan untuk membantu individu bangkit dari keterpurukan, seperti spiritualitas-religiusitas. Spiritualitas dan religiusitas banyak digunakan untuk bertahan menghadapi keterpurukan. Agama dan sistem kepercayaan mengarahkan manusia untuk mengembangkan sikap pasrah (surrender), berharap akan pertolongan (hope), dan percaya mengimani (faith) rencana besar Tuhan yang terjadi pada diri mereka. Berdoa secara teratur juga bisa membangun struktur rutin hidup sehari-hari yang kuat untuk bertahan dalam keterpurukan. Agama mengajarkan bahwa penderitaan yang dialami manusia memiliki makna penting yang perlu terus dipahami dengan iman. Lingkungan dan komunitas spiritualitas-religiusitas juga bisa berperan sebagai dukungan sosial yang memberikan bantuan praktis dan sosio-psikologis.

Dari berbagai upaya ini, dapat kita pahami bahwa lawan keterpurukan bukan kebahagiaan tapi vitalitas atau daya hidup. Maka upaya penanganan keterpurukan mental perlu dimulai dengan membangun semangat untuk melanjutkan hidup dengan bantuan orang-orang terdekat.

Daya hidup akan menguat ketika seseorang merasa aman dan terdukung bersama dengan orang-orang yang dikasihinya. Oleh karena itu, keterpurukan perlu dilawan dengan membangun keterhubungan sosial (social connection). Dari koneksi sosial akan lahir dukungan sosial (teman berbagi), dukungan praktis (bantuan langsung menyelesaikan masalah), dukungan informasi dan lainnya.

Artinya, isolasi, atau upaya mencabut seseorang dari komunitasnya atau penelantaran justru akan memperburuk keterpurukan mental. 

Perlu dipahami juga, bahwa tidak semua orang terdekat dapat memberikan dukungan yang kita butuhkan. Ada pula bentuk relasi sosial yang justru menjadi sumber masalah (toxic relationships). Dalam keterpurukan, kita perlu mendapatkan dukungan positif bahkan perlu membatasi kontak dengan relasi bermasalah.

Simpulan
Fenomena keterpurukan mental bisa terjadi pada siapa saja, usia muda dan tua, yang mengalami distress yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan. Dalam masa pandemi ini, kita perlu lebih jeli memahami emosi diri dan apa yang ingin disampaikannya. Pada beberapa orang, pengalaman stress traumatis dan sikap menuntut diri untuk terus "kuat" justru mendorongnya jatuh dalam keterpurukan mental.

Namun, sebenarnya keterpurukan adalah kesempatan perubahan dan pertumbuhan pribadi (a breakdown for a breakthrough). Maka tidak perlu malu atau menutupinya. Justru keterpurukan menuntut untuk dikenali melalui introspeksi dan refleksi. Kemudian, kita perlu berupaya menerima keadaan diri yang sebenarnya; menghentikan pengabaian dan penghindaran diri; lalu mencari bantuan dari orang-orang di sekitar kita. Hanya dari penerimaan dirilah, lahir pertumbuhan diri.

Referensi
Andrew Solomon TedTalks dari https://www.youtube.com/watch?v=-eBUcBfkVCo
Paul Ekman dari https://www.paulekman.com/universal-emotions/what-is-sadness/
Solomon, A. (2014). The noonday demon: An atlas of depression. Simon and Schuster.

"We live in the right time, although it may not seem to be"
Penulis: Margaretha
Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Sedang menempuh studi lanjut di the University of Melbourne

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun