Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

"New Normal" Setelah Krisis Pandemi

6 Mei 2020   14:42 Diperbarui: 6 Mei 2020   21:20 3571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misalkan, ada orang-orang yang mengarahkan dirinya menolong orang lain di masa pandemi, karena mereka memperbarui tujuan dan makna hidupnya. Inilah orang-orang yang lebih tangguh menghadapi perubahan dalam hidup.

Penelitian psikologi menemukan, bahwa orang yang resilien biasanya memiliki karakter lebih terbuka terhadap pengalaman baru, emosinya lebih stabil, memiliki optimisme (Taylor, 2020) dan humor (Mc Coll dkk., 2012).

Walaupun, tidak semua orang lahir dan memiliki karakter-resilien, namun hal ini bisa dikembangkan dan diperkuat dengan proses penguatan kemampuan pengelolaan stress (stress coping) dan menjalani pola hidup sehat (Robinson, 2020). 

Lebih lanjut, manusia bereaksi terhadap perubahan secara bertahap. Secara umum, ada tiga tahap yang perlu dialami untuk mencapai transisi ke new normal. 

  1. Pertama, stabilisasi, dimana individu mengarahkan diri untuk mampu mengelola hidupnya agar menjadi lebih stabil. Biasanya perubahan atau baru menimbulkan emosi negatif, ketegangan atau stress. Maka, individu perlu menyiapkan diri dan emosinya agar lebih stabil untuk bisa memahami new normal.
  2. Kedua, rekonstruksi, dimana individu menyusun harapan baru dalam hidupnya yang berisi new normal. Namun perencanaan ini hanya bisa optimal jika individu telah mencapai penerimaan (acceptance). Jika dibutuhkan, individu bisa meminta bantuan orang lain untuk mencapai penerimaan agar bisa melakukan perencanaan dan melanjutkan hidup dalam new normal. 
  3. Ketiga, integrasi, dimana individu akan menerapkan new normal, menyesuaikan diri dan melanjutkan aktivitas dalam hidupnya dalam pola baru. New normal dilakukan hingga berkembang menjadi pola baru yang secara sadar dan termotivasi dipertahankan oleh individu yang melakukannya.  

Pada masing-masing orang tahapan penyesuaian diri setelah krisis berbeda-beda. Ada yang cepat dan juga ada yang membutuhkan waktu lebih lama.

Ketika new normal bukan hal baru 

Josie Cox (2020) menyampaikan bahwa istilah new normal sering digunakan untuk menyampaikan bahwa akan terjadi perubahan yang cukup besar, dan tidak bisa diremehkan. 

Namun, kenyataannya dunia manusia selalu ada tantangan dan krisis yang dihadapi umat manusia. Krisis melahirkan perubahan, dan munculnya perilaku baru.

Hal baru setelah dilakukan terus-menerus menjadi kebiasaan, lalu kehilangan kebaruannya, hingga menjadi hal biasa, wajar, normal. Hingga satu waktu terjadi krisis dan perubahan baru lagi.

Siklus ini dapat berjalan terus-menerus. Seiring dengan dengan datangnya perubahan, kita akan meresponnya dengan penyesuaian diri. Jadi, sebenarnya new normal bukan hal baru buat kita (new normal is nothing new for us). 

Apa dampak pemahaman ini? Kita tidak perlu takut berlebihan menghadapi perubahan. Atau tidak perlu takut tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan. Karena kenyataannya, kita telah melakukan perubahan, penyesuaian diri dengan new normal sejak dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun