Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Setahun Tsunami Selat Sunda

22 Desember 2019   00:54 Diperbarui: 22 Desember 2019   00:53 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditengah kegelapan
Menunggu fajar bersinar
Menghitung tubuh-tubuh tak berdaya
Memilih siapa pun yang masi bernyawa untuk dimasukan ke dalam ambulance.

Seorang ibu merintih kesakitan.
Seorang lelaki muda dengan luka kaki yang menganga.

Sirine kembali meraung memecah kesunyian hingga menerabas pagi.

Sinar fajar hanya memperlihatkan tragedi.
Satu persatu tubuh-tubuh penuh luka dan tanpa nyawa berdatangan.
Rumah sakit menjadi lebih sibuk.

"Tugas kita panjang, kawan," seorang kawan merangkul.
Tersadar, semalam menjadi menakutkan untuk ribuan orang di pesisir.

Air mata relawan tidak boleh jatuh.
Pagi itu, tubuh melepas rasa ketakutan.
Melepaskan rasa jijik.
Menahan bau anyir.

Demi menyelamatkan nyawa-nyawa.
Merawani puing-puing sisa amukan air Selat Sunda.
Mencari tubuh-tubuh di tengah hujan yang menderas.

Remuk.
Hilang.
Duka.
Jadi saksi sepanjang menyusuri pantai Carita  hingga Taman Jaya.

Alam menguji dari laut. Ribuan orang diluputi rasa ketakutan. Tuhan menjadi pegangan dalam doa.

(Mengenang satu tahun tsunami Selat Sunda, 22 Desember 2018 dari seorang Relawan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun