Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Bersahabat dengan Gay Pengidap HIV Itu Berat

1 November 2019   19:23 Diperbarui: 2 November 2019   09:45 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: alodokter

Reuni, menjadi ajang tahunan temu kangen dengan sahabat lama. Kekompakan di kelas IPS saat SMA dulu rupanya tidak luntur hingga 12 tahun kemudian. Reuni tidak hanya membangkitkan cinta lama bersemi kembali, namun seusainya membawa satu permasalahan yang serius.

"Ayo tes darah dulu, biar ketahuan positif atau tidaknya," ajak Amir.

Hati saya langsung terusik. Saya memastikan tidak ada keluhan apapun dalam tubuh saat ini. Amir sekarang bertugas di Dinas Kesehatan. Jikapun berjumpa biasanya di dalam satu acara atau sekedar ketemu di jalan saja.

Namun 3 hari usai acara reuni, Amir datang dengan memasang raut wajah yang basah dengan keringat, tampak rasa kekhawatiran yang tinggi.

Amir mengajak saya melakukan tes HIV. Siapapun pasti akan merasa kaget dengan ajakan itu. Saya merasa, Amir sedang menakut-nakuti saya.

Obrolan semakin serius, ketika Amir menanyakan hubungan saya dengan sejumlah orang. Saya pastikan baik-baik saja, karena tidak pernah melakukan hubungan seksual secara bebas.

"Terkadang yang baik-baik saja, belum tentu baik," kata Amir berbisik. Perkataan ini semakin mengusik emosi saya. Kemudian saya mencoba membuka diri, obrolan lebih baik segambalngnya saja.

Pada akhirnya Amir menyebutkan sebuah nama, panggil saja G. Amir menduga saya dan G ada hubungan spesial. Beberapa kali sempat  menjumpai saya dan G jalan bersama. 

Bahkan datang ke reuni pun bersama G. Hubungan saya dengan G memang sudah jadi konco kentel akhir-akhir ini. Apalagi kami banyak bertemu untuk melakukan aktivitas olahraga di tempat fitness dan futsal.

G memang rupawan, tubuhnya atletis, dan berpendidikan. Memiliki usaha distro yang bisa mencukupi kehidupannya. Bahkan ketika G kerap mendapatkan bully, kapan menikah? Dia selalu saja menjawab dengan candaan. 

Entah dalam hatinya merasa tersinggung, tapi dia selalu menunjukan bahwa hidupnya selalu bahagia. Bahkan selalu membawa keceriaan kepada orang disekitarnya.

Amir sangat berat menyampaikan bahwa G berstatus positif HIV beberapa bulan ini. Sebagai konco kentel yang selalu bersama, bahkan G selalu ada jika dibutuhkan.

Sering makan satu meja, berenang di kolam renang yang sama, tidur di satu kamar, sesekali bersentuhan kulit dalam kondisi berkeringat saat olahraga. Sungguh saya tidak tahu jika G dalam kondisi seperti itu.

Saya mencoba mengatur nafas, kepala rasanya ketiban benda yang sangat besar. Seketika saja memori bersama G berputar, banyak aktivitas yang sudah kita jalani bersama.

Amir kemudian menyampaikan informasi bahwa tidak menjadi penyebab penularan virus hanya dengan aktivitas yang sudah saya sebutkan tadi. Amir lebih gamblang, kemungkin terbesar tertular dengan aktivitas seksual.

"Gila, kamu sampai berfikir ke arah situ!" saya berubah emosional kepada Amir. Ingin rasanya tangan ini melayang dan menghantam tubuhnya.

Amir bersikap tenang dan tidak terpancing emosi. Seketika saya kembali melongo, sahabat dekat saya ternyata bukan hanya penderita HIV, tapi juga seorang Gay. Bagaimana bisa saya menerima bahwa apa yang dikatakan Amir benar.

Badan saya terasa lemas sekali. Amir bersumpah atas nama profesi dan tugasnya yang berhubungan dengan penanggulangan HIV/AIDS. Nalar sadar saya harus percaya, meskipun sangat syok dengan informasi ini.

Ketika saya diduga juga Gay, ini pun sulit untuk saya terima. Masalahnya ini bukan dalam situasi bercanda. Saya punya kekasih yang sangat cantik. Obrolan kami terkesan serius dan saya tahu Amir bukan orang yang suka bercanda.

Saya merasa baik-baik saja. Ketika diajak melakukan tes HIV, batin saya langsung menolak. Apalagi tuduhan juga menjurus pada prilaku hubungan sesama jenis.

Ini seperti dugaan yang menjurus pada vonis. Meskipun nantinya hanya tes medis yang menentukan.  Bagi saya ini sudah menjadi tekanan yang mengganggu batin saya. Pikiran sudah mulai terbawa dengan kepercayaan, bisa saja saya sama dengan G, meskipun saya bukan homo.

Apakah aktivis penanggulangan HIV/AIDS seperti Amir, bebas memberikan ajakan yang langsung menekan pada psikologis saya?

Saya kemudian mencoba tenang, berfikir positif. Saya harus yakin dengan diri sendiri, apa yang saya lakukan masi dibatas kewajaran. Hingga akhirnya saya merasakan suntikan mengambil sempel darah.

Beberapa waktu menjadi sangat berat, penuh ketakutan, dan selalu berfikir kemungkinan yang terjadi selanjutnya dalam menjalani hidup. Ingin menangis, masi bisa tertahan. Lama-lama tekanan batin semakin berat.

"Posisi ini membuat saya merasa sedang tidak baik," kata saya kepada Amir. Hingga pada jawaban hasil tes kondisi tubuh saya sehat, tidak ada virus yang menakutkan itu.

Namun saya masih merasakan belum dikatakan baik. Menerima kenyataan bahwa sahabat baik saya seorang penderita HIV dan entah sampai kapan kondisi tubuhnya bertahan.

Nyawa memang ketentuan Tuhan, namun hubungan emosional dengan sesama manusia bisa saja menimbulkan masalah, hubungan sahabat bisa saja pecah. Apa iya saya bisa bersahabat dengan penderita HIV?

Ujian mempertahankan persahabat yang saya rasakan semakin berat. G bukan hanya HIV, tapi ada kelainan dalam orentasi seksualnya. Lebih tidak terima lagi, sahabat baik justru tidak pernah menceritakan dan terbuka dengan masalah besar yang dihadapinya.

Saya makin tertekan ketika Amir menyebut G suka bergonta ganti pasangan. Aktivitas itu tidak pernah saya ketahui, apalagi G yang selalu terbuka justru menutup erat orentasi seksualnya.

Saya tidak pernah melihat G bersama teman pria yang berjalan cukup lama. Kebanyakan teman G ya temen saya juga sejak SMA.

Saya kemudian mendapatkan nasehat bijak dari Amin. Apa yang saya rasakan justru pernah dirasakan Amin. Ketika Amin menerima data laporan penderita HIV baru, dan itu adalah G, Amin sangat syok sekali.

Amin juga mendapatkan cerita tentang pergaulan seksual G dari penyuluh yang berhasil mengajak untuk tes HIV. Amin memiliki akses untuk bisa bertemu langsung dengan G saat menjalankan tugasnya. G yang terlihat baik-baik saja, pernah merasakan ingin bunuh diri saat itu juga.

Amin bersama petugas lainnya berhasil membangun kepercayaan diri G. Meskipun butuh waktu yang tidak cepat. Saya memang menjumpai G sekitar 6 bulan lalu, terlihat sekali mata bengkak dan kosong, wajahnya tidak secerah biasanya.

Namun karena G adalah orang yang memiliki kemampuan menyembunyikan masalah, muncul kemudian G sebagai pribadi yang riang gembira. G justru lebih banyak mengajak saya untuk berolahraga, trevelling, dan mengunjungi segala sesuatu yang menarik.

G menjalankan semua aktivitas yang menyenangkan itu berdasarkan saran Amin. Sayangnya saat masa-masa itu, Amin tidak tahu bahwa yang selalu bersama dengan G adalah saya. Secara tidak langsung, saya sebenarnya sudah membantu memulihkan semangat hidup G.

Tapi, persoalan G dan saya kemudian terasa berbeda. G belum tentu sepenuhnya menerima kondisi tubuhnya saat ini. Waktu masih sangat dini untuk memastkan G baik-baik saja. 

Begitu juga dengan saya, timbul rasa risih dan kekhawatiran, G itu HIV dan Gay, saya manusia biasa yang punya rasa berat. Satu yang saya takutkan, bagaimana reaksi G nanti ketika mulai terbuka dengan kondisinya saat ini kepada saya.

Orang yang terlihat baik-baik saja dan terlihat ceria, soal emosional batin belum tentu baik. Menjadi sahabat harusnya bisa menerima. Segala sesuatu yang disampaikan secara mengejutkan, belum tentu berlanjut menjadi baik-baik saja. Kondisi psikologi saya menjadi sedang tidak baik dalam menerima persoalan ini.

Mohon maaf, G. Semoga jika kamu tidak keberatan cerita ini akan berlanjut, itu pun jika banyak pembaca yang percaya. Ini bukan sekedar fiksi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun