Saya baru saja baca tulisan Tere Liye. Dan sumpah, kali ini saya angkat topi. Isinya: pejabat publik itu harusnya nggak usah digaji. Lah, betul juga kan?
Coba lihat sejarah. Nabi Muhammad ﷺ jadi kepala negara nggak digaji. Para khalifah setelah beliau pun nggak digaji. Gubernur, wali kota, bupati zaman itu juga nggak digaji. Kalau ada yang miskin, ya dikasih tunjangan secukupnya buat makan sama biaya operasional. Jadi jelas: jabatan publik itu pengabdian, bukan lowongan kerja bergaji tinggi.
Realita Pejabat Kita
Nah, bandingkan dengan Indonesia tercinta ini. Pejabat publik kita bukan cuma digaji, tapi double job. Duduk manis jadi komisaris BUMN atau BUMD. Dapat gaji bulanan, dapat tunjangan, dapat tantiem miliaran rupiah.
Kerjanya apa? Ya paling rapat sebulan sekali. Kadang rapat pun titip absen. Nggak ada kerja teknis, tapi fasilitasnya kelas sultan. Dari mobil dinas, rumah dinas, kartu kredit dinas. Sampai rakyat bingung: ini pejabat mau mengabdi atau mau jadi crazy rich?
Ada Teladan di Sekitar Kita
Nah, inilah poin menarik dari tulisan Tere Liye. Ia tidak pernah menyebut nama organisasi itu, dan ia sendiri menegaskan: dia bukan anggota organisasi tersebut.
Saya pun sama. Bukan anggota. Hanya saja sejak kecil hingga kini saya belajar dan bergaul akrab dengan banyak orang di dalamnya, sehingga mudah menebak organisasi yang dimaksud. Apalagi di kolom komentar tulisan Tere Liye, banyak juga yang langsung menyebut nama organisasi itu dengan gamblang.
Organisasi ini punya aset tembus Rp450 triliun, ribuan sekolah, kampus, rumah sakit. Tapi elit pengurusnya? Tidak digaji.
Yang digaji itu dosen, rektor, guru, dokter, karyawan. Tapi begitu naik ke level pengurus pusat dan daerah, justru nol gaji. Mereka malah keluarin duit, tenaga, dan pikiran buat organisasi.
Dan apakah gara-gara nggak digaji lalu korupsinya jadi menggila? Nggak tuh. Nyaris nggak terdengar. Budaya kritisnya malah sehat. Kalau ada honor kelewat gede, internalnya bisa ngerasani bareng-bareng. Transparan. Asik, kan?
Coba Bayangkan Kalau Diterapkan di Negeri Ini
ASN, polisi, tentara, guru—ya wajar digaji. Itu kerja profesional. Tapi kalau sudah DPR, DPRD, walikota, bupati, gubernur, apalagi presiden, coba deh… hapus gajinya!
Kalau miskin? Kasih biaya hidup aja, maksimal 10 kali UMP. Itu udah lebih dari cukup. Rakyat banyak yang hidup dengan Rp20 ribu sehari. Masa pejabat yang ngakunya pintar, hebat, dan kompeten nggak bisa hidup sederhana?
Penutup
Jadi betul kata Tere Liye: jabatan publik jangan dianggap lowongan kerja, tapi ladang pengabdian.
Pertanyaannya: kita mau terus melihara pejabat jadi “komisaris serabutan” dengan gaji dan tunjangan fantastis, atau mau balik ke logika sehat: kalau mau mengabdi, ya jangan minta digaji?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI