Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengambil langkah yang cukup berani. Ia menghapus tantiem atau bonus tahunan bagi direksi dan komisaris BUMN.
“Dengan penghapusan ini, negara bisa menghemat sekitar Rp17–18 triliun per tahun,” tulis Liputan6.com (29/7/2025). Jumlah yang fantastis, mengingat selama bertahun-tahun dana itu terus mengalir ke kantong elit pengelola perusahaan negara.
Kalau dihitung sepuluh tahun saja, potensi efisiensi bisa mencapai Rp170 triliun. Dana sebesar itu tentu bisa mengubah wajah infrastruktur di desa-desa, membangun ratusan jembatan kokoh, jalan mulus, hingga fasilitas pendidikan yang layak.
Kisah dari Jembatan Goyang
Saya jadi teringat pengalaman pulang dari rumah seorang kawan. Untuk menyeberangi Sungai Cimanuk, ada dua pilihan. Pertama, jembatan goyang yang hanya bisa dilewati motor. Kedua, jembatan kecil yang sama-sama sempit. Mobil? Terpaksa harus memutar jauh.
Padahal, jembatan besar untuk dua jalur mobil sudah mulai dibangun sejak dua tahun lalu. Sayangnya, proyek itu kini tinggal pancang. Tiang-tiang kokoh berdiri kaku, sementara badan jembatannya tak kunjung ada. Mangkrak.
Tak jauh dari sana, ada lagi jembatan yang bernasib sama. Pembangunannya berhenti di tengah jalan, lalu menyambung ke ruas jalan rusak berat—tanah bercampur semen yang makin licin saat hujan. Semua ini bukan di pelosok terpencil, melainkan hanya beberapa kilometer dari pusat kota.
Pembangunan Rakyat Pinggiran vs Pembangunan Elit
Itu hanya secuil kisah dari pinggiran. Rakyat desa masih harus berjibaku dengan jalan becek, jembatan goyang, dan proyek mangkrak.
Sementara itu, untuk proyek besar yang kerap menguntungkan elit, pembangunan seolah tiada henti. Jalan tol antar-kota, kereta cepat, bandara megah—semuanya mengalir deras dengan anggaran jumbo.
Tentu pembangunan besar juga punya manfaat. Tapi bukankah semestinya pembangunan untuk rakyat kecil tidak dikesampingkan? Mereka juga warga negara yang berhak atas infrastruktur layak. Apalagi jika dana sebesar puluhan triliun bisa dihemat hanya dengan menghentikan bonus-bonus fantastis yang tidak menyentuh rakyat.
Pelayanan, Bukan Sekadar Cuan
Ada perbedaan besar antara membangun demi pelayanan dan membangun demi cuan. Pembangunan yang berorientasi cuan akan mencari proyek-proyek besar yang menjanjikan keuntungan ekonomi cepat. Tapi pembangunan demi pelayanan rakyat akan hadir di jembatan kecil, jalan desa, dan sekolah-sekolah sederhana.
Rakyat di pinggiran tidak butuh gedung pencakar langit. Mereka hanya ingin jalan mulus untuk membawa hasil panen ke pasar. Mereka ingin jembatan kokoh agar anak-anak bisa sekolah tanpa harus menyeberangi sungai dengan rasa waswas.