Konflik sebelumnya dipicu oleh rencana kenaikan PBB‑P2 sebesar 250%, yang memicu demonstrasi besar dan pembentukan pansus hak angket oleh DPRD  .
Sejauh ini, yang terjadi adalah rakyat harus jalan kaki berdemo, surat kolektif ke KPK, dan DPRD harus turun tangan. Tak ayal, semangat amar makruf nahi mungkar seolah tertahan oleh kompleksitas sistem formal.
Pelajaran Berharga bagi Sistem Kekinian
1. Responsif itu penting. Pemimpin harus sigap merespons keluhan rakyat—sekecil apa pun—agar tidak memuncak menjadi gelombang besar.
2. Peran rakyat tetap vital. Kritik konstruktif harus didengar, bukan diabaikan.
3. Rasa keterlibatan: kunci stabilitas. Ketika rakyat merasa diikutsertakan, konflik bisa dicegah sebelum jadi besar.
4. Mekanis formal perlu disederhanakan. Kritik dan evaluasi tak perlu rumit, karena ini menyangkut legitimasi moral pemimpin.
Penutup
Kisah ‘Ala bin al-Hadrami mengingatkan kita bahwa mencabut kekuasaan tidak selalu soal menyalahkan; terkadang soal merawat kepekaan kepemimpinan. Kalau di zaman Nabi ﷺ aduan minor pun diperhatikan supaya tak menjadi besar, kenapa di zaman sekarang rakyat harus menjerit keras dulu baru didengar?
Aksi damai warga Pati, surat ke KPK, dan langkah DPRD adalah wujud penegakanb keadilan. Namun, mestinya kita bisa berharap prosesnya tidak merepotkan rakyat. Prinsip kepemimpinan Islam—respon, keadilan, kesederhanaan—bisa menjadi inspirasi modern. Bukan untuk menyalahi sistem demokrasi, tapi memperbaikinya agar lebih manusiawi dan dekat dengan rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI