Ratusan warga Pati berjalan kaki dari Alun‑alun menuju Kantor Pos untuk mengirim surat kepada KPK mendesak Bupati Sudewo menjadi tersangka dalam dugaan korupsi proyek jalur kereta api.
— Tempo.com
Di negeri ini, mencopot kepala daerah yang bermasalah ibarat menunggu panen. Prosesnya panjang, penuh intrik, dan sering kali mengabaikan aspirasi rakyat. Bahkan ketika rakyat tahu benar ada indikasi salah, tanpa aksi massa yang besar — tak sedikit yang suaranya tak sampai.
Berbanding terbalik dengan kisah di zaman Nabi ﷺ, di mana mekanisme evaluasi pemimpin bisa sederhana saudah, cepat, dan tetap adil. Salah satu contohnya adalah kasus Amir Bahrain, ‘Ala bin al‑Hadrami.  Kritik datang bukan karena tindak pidana moral atau korupsi, melainkan soal manajerial: salat berjamaah yang terlalu lama dan kurang bermusyawarah dengan tokoh lokal. Meskipun aduannya hanya diwakili sekitar 20 orang, Rasulullah ﷺ menanggapinya serius: memberi arahan agar dia memperbaiki gaya kepemimpinan, tak tunggu kerusuhan atau tekanan massa besar.
Kepemimpinan Responsif di Era Nabi ï·º
Kecil tapi penting: Keluhan rakyat tidak harus soal korupsi; kenyamanan ibadah dan keterlibatan masyarakat pun dihargai.
Tanggap cepat: Rakyat adu, pemimpin pusat langsung menindaklanjuti.
Pelayan, bukan penguasa: Sikap seperti panjang salat dianggap merugikan umat, sehingga harus diperbaiki.
Kontras dengan Realitas Pati Saat Ini
Tanpa bermaksud meminimalkan keseriusan kisah ‘Ala, kondisi hari ini di Kabupaten Pati memperlihatkan betapa sulitnya rakyat menyuarakan ketidakadilan. Contohnya, baru-baru ini:
Ratusan warga Pati long march ke Kantor Pos untuk mengirim surat ke KPK, mendesak agar Bupati Sudewo segera ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi proyek jalur kereta api  .
Pansus DPRD Pati hadirkan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti dan Muhammad Junaidi, menegaskan bahwa proses pemakzulan sudah di jalur yang tepat  .
Konflik sebelumnya dipicu oleh rencana kenaikan PBB‑P2 sebesar 250%, yang memicu demonstrasi besar dan pembentukan pansus hak angket oleh DPRD  .
Sejauh ini, yang terjadi adalah rakyat harus jalan kaki berdemo, surat kolektif ke KPK, dan DPRD harus turun tangan. Tak ayal, semangat amar makruf nahi mungkar seolah tertahan oleh kompleksitas sistem formal.
Pelajaran Berharga bagi Sistem Kekinian
1. Responsif itu penting. Pemimpin harus sigap merespons keluhan rakyat—sekecil apa pun—agar tidak memuncak menjadi gelombang besar.
2. Peran rakyat tetap vital. Kritik konstruktif harus didengar, bukan diabaikan.
3. Rasa keterlibatan: kunci stabilitas. Ketika rakyat merasa diikutsertakan, konflik bisa dicegah sebelum jadi besar.
4. Mekanis formal perlu disederhanakan. Kritik dan evaluasi tak perlu rumit, karena ini menyangkut legitimasi moral pemimpin.
Penutup
Kisah ‘Ala bin al-Hadrami mengingatkan kita bahwa mencabut kekuasaan tidak selalu soal menyalahkan; terkadang soal merawat kepekaan kepemimpinan. Kalau di zaman Nabi ﷺ aduan minor pun diperhatikan supaya tak menjadi besar, kenapa di zaman sekarang rakyat harus menjerit keras dulu baru didengar?
Aksi damai warga Pati, surat ke KPK, dan langkah DPRD adalah wujud penegakanb keadilan. Namun, mestinya kita bisa berharap prosesnya tidak merepotkan rakyat. Prinsip kepemimpinan Islam—respon, keadilan, kesederhanaan—bisa menjadi inspirasi modern. Bukan untuk menyalahi sistem demokrasi, tapi memperbaikinya agar lebih manusiawi dan dekat dengan rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI