Keinginan untuk menulis sebenarnya sudah muncul sejak saya kuliah. Saat itu, saya punya beberapa teman yang rajin menulis opini di media lokal dan nasional. Hampir setiap pekan nama mereka muncul di koran. Tidak hanya itu, mereka juga mendapat honor dari tulisannya. Saya pun tahu, dari menulis ada cuan yang bisa didapat.
Namun yang lebih berkesan, teman-teman saya itu tidak berhenti pada opini pendek di media massa. Dari tulisan rutin, akhirnya mereka menelurkan buku. Hingga hari ini, mereka masih aktif menulis dan terus menghasilkan karya. Melihat mereka, saya sering merasa menulis adalah jalan untuk meninggalkan jejak yang tak lekang oleh waktu.
Menulis: Hobi yang Sempat Tertunda
Saya pribadi, karena berbagai kesibukan, sempat menunda hobi menulis. Padahal dorongan untuk menuangkan gagasan selalu ada. Baru di usia menjelang senja ini saya kembali menghidupkan kebiasaan itu. Rasanya seperti membuka lembaran lama: menulis bukan hanya soal hobi, tapi juga cara untuk menyampaikan gagasan dakwah, menyuburkan pikiran, dan berbagi manfaat kepada orang lain.
Menulis membuat saya merasa hidup lebih terarah. Ada kepuasan tersendiri ketika gagasan yang ada di kepala bisa dituangkan dalam bentuk kata-kata. Apalagi jika tulisan itu bisa dibaca, dipahami, bahkan mungkin menginspirasi orang lain.
Tradisi Menulis Para Ulama
Sejarah membuktikan, banyak ulama yang namanya tetap harum berabad-abad setelah wafatnya. Itu karena mereka meninggalkan karya tulis, bukan sekadar kata lisan.
Imam an-Nawawi (1233–1277 M)
Hidup hanya sekitar 45 tahun, tapi menulis lebih dari 40 kitab. Karya fenomenalnya: Riyadhus Shalihin dan Arba’in Nawawiyah. Sampai hari ini, ratusan tahun setelah wafatnya, kitab itu masih jadi rujukan utama di pesantren dan majelis ilmu.
Imam ath-Thabari (839–923 M)
Ulama besar abad ke-9, penulis Tafsir ath-Thabari dan Tarikh ath-Thabari. Karyanya terdiri dari puluhan jilid tebal. Lebih dari seribu tahun setelah wafatnya, tafsirnya masih dikaji oleh para ulama dan akademisi.
Imam as-Suyuthi (1445–1505 M)
Dijuluki “ensiklopedia berjalan”, menulis lebih dari 500 buku. Salah satu yang terkenal adalah Al-Itqan fi Ulumil Qur’an. Sampai kini, hampir setiap disiplin ilmu Islam punya rujukan karya beliau.
Imam al-Ghazali (1058–1111 M)
Penulis Ihya Ulumuddin, kitab fenomenal yang memadukan fikih, tasawuf, dan akhlak. Lebih dari 900 tahun sejak wafatnya, karya ini masih dipelajari di seluruh dunia.
Ibnu Katsir (1300–1373 M)
Karya Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Bidayah wa an-Nihayah (sejarah umat manusia) hingga kini masih jadi referensi utama di madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi.
Buya Hamka (1908–1981 M)
Ulama dan sastrawan Nusantara. Menulis lebih dari 100 buku, dari novel populer Tenggelamnya Kapal Van der Wijck hingga Tafsir al-Azhar yang beliau tulis di penjara. Meski wafat lebih dari 40 tahun lalu, karya-karyanya terus dicetak ulang dan dibaca generasi baru.
KH. Bisri Musthofa (1915–1977 M)
Ulama Jawa yang menulis lebih dari 100 kitab. Karya monumentalnya Tafsir al-Ibriz (tafsir 30 juz dalam bahasa Jawa) masih digunakan hingga sekarang.
KH. Hasyim Asy’ari (1871–1947 M)
Pendiri Nahdlatul Ulama. Menulis kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim yang mengajarkan etika ilmu. Walaupun sudah lebih dari 75 tahun wafat, karya beliau tetap dipelajari di pesantren.
Menulis di Era Digital
Hari ini, menulis jauh lebih mudah. Tidak perlu lagi menyalin dengan tinta dan kertas seadanya. Dengan gawai sederhana, siapa pun bisa menulis, menyimpan, dan menyebarkan karyanya. Satu artikel bisa dibaca ribuan orang hanya dalam hitungan jam.
Jika para ulama dulu sanggup menghasilkan karya besar dengan segala keterbatasannya, tentu kita lebih mampu di era digital ini. Tinggal kemauan yang harus kita kuatkan.
Penutup: Menulis sebagai Jejak Kehidupan
Bagi saya, menulis bukan sekadar cara untuk mengisi waktu, melainkan sebuah ikhtiar meninggalkan jejak. Kita tak pernah tahu sejauh mana sebuah tulisan akan berkelana, atau siapa saja yang akan membacanya. Namun satu hal pasti, tulisan sering kali mampu hidup lebih lama daripada penulisnya.
Lihatlah para ulama dan tokoh besar yang namanya tetap harum hingga kini: Imam Nawawi dengan karya-karyanya yang mendalam, Imam ath-Thabari dengan tafsir monumentalnya, Buya Hamka dengan deretan buku yang merentang dari tafsir hingga novel, atau KH. Bisri Musthofa dengan pesan-pesan keilmuannya. Mereka seakan hadir kembali setiap kali kita membuka lembar-lembar karyanya. Tinta yang mereka torehkan ternyata lebih abadi daripada suara lisan yang mudah hilang ditelan waktu.
Saya pun berharap, setiap goresan kata yang tertulis bisa menjadi amal jariyah—selama ia bermanfaat dan menginspirasi orang lain. Dan jika ada khilaf atau kesalahan, semoga tidak tercatat sebagai dosa, melainkan dimaklumi sebagai kealpaan manusiawi.
Dari sanalah saya kembali belajar sebuah pesan sederhana namun kuat: jika ingin meninggalkan jejak yang tak lekang oleh waktu, maka menulislah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI