Di balik kemudahan digital, tersimpan ancaman privasi, blokir dana, dan kendali penuh atas harta rakyat
Beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia makin akrab dengan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Hampir di semua tempat, dari warung kopi, minimarket, hingga kotak infaq masjid, kita akan menemukan kode hitam-putih itu. QRIS seolah menjadi simbol modernisasi: praktis, cepat, dan memudahkan transaksi.
Namun di balik semua kemudahan itu, muncul pertanyaan kritis: apakah QRIS benar-benar sekadar alat bayar, atau justru instrumen kontrol baru yang bisa mengancam kebebasan rakyat dalam mengelola hartanya?
Lahirnya QRIS
QRIS resmi diluncurkan Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) pada 2019. Tujuan awalnya sederhana: menyatukan standar kode QR yang sebelumnya terpecah—setiap dompet digital punya kode sendiri. Dengan QRIS, satu kode bisa dipakai semua aplikasi: Gopay, OVO, Dana, LinkAja, ShopeePay, hingga mobile banking.
Hasilnya sangat cepat. Data Bank Indonesia menunjukkan, nilai transaksi QRIS melonjak drastis. Pada 2024, total transaksi menembus Rp240–260 triliun per tahun. Angka ini jelas menunjukkan betapa cepat masyarakat beralih ke pembayaran digital.
Manfaat Nyata QRIS
Tidak bisa dipungkiri, QRIS membawa banyak manfaat:
Bagi konsumen: cukup scan, tak perlu bawa banyak uang tunai.
Bagi pedagang kecil, masjid, pesantren: bebas MDR (biaya transaksi 0%). Uang masuk penuh, tanpa potongan.
Bagi negara: transaksi lebih transparan, peredaran uang lebih mudah dipantau, kebocoran bisa ditekan.
Sekilas, semua pihak terlihat diuntungkan.
Sisi Gelap yang Mulai Terlihat
Namun, QRIS bukan tanpa masalah. Justru karena sistem ini sangat luas digunakan, sisi gelapnya makin perlu disorot.
1. Hilangnya privasi keuangan. Setiap transaksi tercatat rapi dalam sistem. Artinya, pola belanja, donasi, bahkan gaya hidup seseorang bisa dipetakan dengan detail. Apa yang dulu privat, kini sepenuhnya terbuka bagi otoritas dan penyedia aplikasi.
2. Kontrol penuh negara dan bank. QRIS membuat negara punya tombol kendali atas harta rakyat. Jika dianggap melanggar aturan, rekening bisa dibekukan, akses QRIS bisa diputus. Kasus pemblokiran dana mengendap selama tiga bulan di bank yang sempat bikin panik masyarakat adalah contoh nyata. Jika hal itu terjadi di sistem QRIS, skalanya bisa lebih luas, karena hampir semua transaksi bergantung pada infrastruktur digital.
3. Ketergantungan pada jaringan digital. Ketika listrik padam atau server error, transaksi terhenti. Artinya, masyarakat makin rentan terhadap gangguan teknis.
4. Data sebagai komoditas. Big data transaksi rakyat bisa menjadi “tambang emas” untuk iklan, promosi, bahkan kepentingan politik.
QRIS dalam Pertarungan Global
QRIS bukan sekadar isu domestik. Amerika Serikat sempat menganggap QRIS sebagai “trade barrier” karena mengurangi ruang gerak Visa dan Mastercard, dua raksasa pembayaran global asal AS.
Artinya, QRIS bukan hanya urusan rakyat kecil yang scan kode di warung, tapi juga bagian dari pertarungan geopolitik finansial. Pertanyaannya: apakah QRIS benar-benar instrumen kedaulatan, atau justru alat kontrol baru yang membatasi rakyat?
Dampak Sosial bagi Rakyat
Bagi rakyat kecil, QRIS memang memudahkan. Tapi jika kebijakan berubah—misalnya MDR gratis ditiadakan—maka UMKM bisa kembali terbebani.
Bagi masyarakat pedesaan yang belum melek digital, QRIS justru bisa memperlebar jurang. Mereka bisa terpinggirkan, tidak bisa ikut dalam sistem yang serba cashless.
Dan bagi lembaga sosial, masjid, dan pesantren, ancaman pemblokiran dana jelas menakutkan. Bagaimana jika tiba-tiba infaq jamaah tidak bisa dicairkan karena alasan regulasi atau tuduhan yang belum tentu terbukti?
Islam Bicara Soal Harta
Dalam Islam, prinsip harta sangat jelas:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR. Ahmad, Daruquthni)
Harta umat tidak boleh disentuh negara tanpa izin pemiliknya. Sistem yang membekukan dana atau memanfaatkan dana mengendap tanpa akad adalah batil. Islam tidak menolak teknologi. QRIS boleh saja dipakai, tetapi syaratnya:
Akadnya jelas (wadiah atau mudharabah).
Bebas riba.
Tidak jadi alat kontrol zalim.
Pengelolaan harta untuk maslahat umat, misalnya melalui baitul mal, bukan sistem ribawi.
Penutup
QRIS adalah pisau bermata dua. Ia memberi kemudahan luar biasa, tapi juga menyimpan potensi bahaya yang besar: kontrol, hilangnya privasi, bahkan risiko kebebasan ekonomi rakyat bisa terkunci dengan sekali klik. Masyarakat perlu kritis, tidak cukup puas dengan slogan “modernisasi transaksi”. Negara pun harus jujur: apakah QRIS benar-benar untuk rakyat, atau sekadar memperkuat dominasi bank dan sistem global?
Solusi jangka panjang adalah membangun sistem ekonomi yang adil dan mandiri. Islam memberi jalan: digitalisasi boleh, tapi fondasinya harus syariah—bebas riba, adil, dan menjaga kedaulatan umat. Hanya dengan itu, teknologi tidak menjadi alat kontrol, melainkan benar-benar alat maslahat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI