Sekilas, semua pihak terlihat diuntungkan.
Sisi Gelap yang Mulai Terlihat
Namun, QRIS bukan tanpa masalah. Justru karena sistem ini sangat luas digunakan, sisi gelapnya makin perlu disorot.
1. Hilangnya privasi keuangan. Setiap transaksi tercatat rapi dalam sistem. Artinya, pola belanja, donasi, bahkan gaya hidup seseorang bisa dipetakan dengan detail. Apa yang dulu privat, kini sepenuhnya terbuka bagi otoritas dan penyedia aplikasi.
2. Kontrol penuh negara dan bank. QRIS membuat negara punya tombol kendali atas harta rakyat. Jika dianggap melanggar aturan, rekening bisa dibekukan, akses QRIS bisa diputus. Kasus pemblokiran dana mengendap selama tiga bulan di bank yang sempat bikin panik masyarakat adalah contoh nyata. Jika hal itu terjadi di sistem QRIS, skalanya bisa lebih luas, karena hampir semua transaksi bergantung pada infrastruktur digital.
3. Ketergantungan pada jaringan digital. Ketika listrik padam atau server error, transaksi terhenti. Artinya, masyarakat makin rentan terhadap gangguan teknis.
4. Data sebagai komoditas. Big data transaksi rakyat bisa menjadi “tambang emas” untuk iklan, promosi, bahkan kepentingan politik.
QRIS dalam Pertarungan Global
QRIS bukan sekadar isu domestik. Amerika Serikat sempat menganggap QRIS sebagai “trade barrier” karena mengurangi ruang gerak Visa dan Mastercard, dua raksasa pembayaran global asal AS.
Artinya, QRIS bukan hanya urusan rakyat kecil yang scan kode di warung, tapi juga bagian dari pertarungan geopolitik finansial. Pertanyaannya: apakah QRIS benar-benar instrumen kedaulatan, atau justru alat kontrol baru yang membatasi rakyat?