Pemerintah Kabupaten Karawang melalui Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) mengalokasikan anggaran APBD 2025 senilai Rp 1,797 miliar untuk memasang videotron berukuran 3 × 5 meter di dekat Alun-Alun Karawang. Proyek ini menuai kritik tajam. Kritik datang dari berbagai pihak — DPRD, aktivis mahasiswa, HMI, LBH Cakra, serta praktisi hukum — yang mempertanyakan urgensi, efektivitas, transparansi, dan dampaknya terhadap sektor pendidikan dan kesehatan (karawang.inews.id.).
Fenomena ini bukanlah kasus tunggal. Ia mencerminkan pola pembangunan yang keliru dan kehilangan orientasi prioritas. Videotron, tugu, dan taman-taman megah dibangun, namun rakyat di pelosok tetap bergulat dengan kemiskinan struktural. Ironisnya, potret semacam ini tak hanya terjadi di Karawang, tapi merata di berbagai kota dan kabupaten, bahkan hingga tingkat nasional.
Kritik terhadap pembangunan yang timpang dan tidak berpihak pada kebutuhan rakyat bukan hanya sekadar keluhan, melainkan tanda bahwa kita perlu meninjau ulang konsep kepemimpinan dan tata kelola yang dijalankan saat ini. Sudah saatnya kita kembali kepada spirit kepemimpinan dalam Islam: menjadi pelayan umat, bukan penguasa yang dilayani.
Saatnya Kembali ke Nilai Kepemimpinan yang Melayani
Di tengah riuh kritik dan harapan, kita perlu merenungkan kembali: apa sejatinya tugas seorang pemimpin?
Islam memberi jawaban yang jernih. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Pemimpin manusia adalah pelayan mereka.”
(HR. Abu Nu’aim)
Bagi Islam, kepemimpinan bukanlah singgasana kemuliaan, melainkan amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Pemimpin ideal adalah mereka yang menunda kesejahteraannya, agar rakyatnya terlebih dahulu merasakannya.
Salah satu teladan terbaik dalam sejarah adalah Umar bin Abdul Aziz, khalifah Dinasti Umayyah yang memerintah hanya dua setengah tahun. Namun, dalam waktu singkat itu, ia berhasil menciptakan keadilan sosial yang nyaris sempurna. Bahkan, sejarah mencatat bahwa di masanya, tak ada lagi orang yang mau menerima zakat, karena semua sudah tercukupi.
Umar mengembalikan harta kekayaannya kepada negara. Ia memadamkan lampu istana saat membahas urusan keluarga, agar tak membebani kas negara. Ia turun langsung ke lapangan, mencabut pejabat yang lalim, dan memastikan harta kekayaan negara benar-benar digunakan untuk rakyat.Kenapa Kita Tak Bisa Sejahtera Seperti Dulu?
Kondisi hari ini sangat berbeda. Di tengah limpahan sumber daya alam, Indonesia justru menghadapi beban subsidi dan bansos yang terus membengkak. APBN banyak terserap untuk menambal kemiskinan, alih-alih memberdayakan rakyat agar mandiri.
Padahal jika menengok sistem keuangan Islam di masa lalu, negara memiliki banyak pos pendapatan: zakat, jizyah, kharaj, hasil pengelolaan sumber daya alam, dan lain-lain. Semua dikelola oleh Baitul Mal (kas negara) dan digunakan semata-mata untuk kepentingan umat.
Namun hari ini, kita menyaksikan hal sebaliknya. Kekayaan negara justru dinikmati oleh segelintir elite dan korporasi. Rakyat diposisikan sebagai objek penerima bantuan, bukan subjek yang diberdayakan.
Ini bukan soal personal pemimpin yang salah arah. Lebih dalam dari itu, ini soal sistem dan paradigma pembangunan yang perlu kita nilai ulang. Sistem yang mengandalkan logika kapitalisme—yang kuat yang menang, yang kaya yang berkuasa—tidak akan pernah menghasilkan pemerataan.
Kembali pada Skala Prioritas
Solusi pertama adalah mengembalikan skala prioritas pembangunan kepada kebutuhan mendasar rakyat. Jalan desa yang baik, sekolah yang kokoh, guru yang sejahtera, layanan kesehatan yang terjangkau—itulah fondasi kota yang maju. Bukan videotron atau patung pencitraan.