Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Negara Tak Lagi Mengabdi: Pajak Menggila, Korupsi Membusuk, Peradaban Menunggu Runtuh

29 Juli 2025   07:30 Diperbarui: 21 Agustus 2025   10:41 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini rakyat dihantui dua hal sekaligus: kenaikan pajak yang tiada henti, dan korupsi yang makin vulgar dan sistemik. Pemerintah butuh uang, tapi bukan untuk menyejahterakan, melainkan menambal kebocoran anggaran, membayar utang luar negeri, dan membiayai gaya hidup birokrasi yang tak kenal puas.

Ini bukan fenomena baru. Sejarah mencatat, ketika negara mulai menindas rakyat dengan pajak tinggi sembari membiarkan korupsi merajalela, maka itu adalah pertanda klasik keruntuhan peradaban. Mari kita tilik beberapa contohnya.

Imperium Bizantium: Pajak untuk Bertahan, tapi Rakyat Justru Hilang Harapan
Penerus Romawi di timur ini berjuang keras mempertahankan wilayah dan kekuasaan. Tapi salah satu kelemahan terbesar Bizantium adalah kebijakan fiskalnya: pajak yang tinggi dan membebani rakyat kecil.
Sementara itu, birokrasi yang korup membuat hasil pajak tidak pernah sampai sepenuhnya ke kas negara. Akibatnya, petani kehilangan tanah, kota-kota menyusut, dan rakyat enggan membela negara ketika musuh datang.

Bizantium akhirnya kehilangan banyak wilayah dan terus melemah hingga ditaklukkan oleh Turki Utsmani pada 1453.
Kekuasaan besar yang runtuh bukan karena kekuatan musuh semata, tapi karena rakyatnya sendiri sudah lelah dan apatis.

Kesultanan Delhi: Islam Pernah Berkuasa, Tapi Politik Rakus Merusaknya
Di abad pertengahan, India pernah diperintah oleh dinasti Islam yang kuat. Tapi di penghujung masa Kesultanan Delhi, korupsi merajalela. Para wazir dan pejabat lokal memungut pajak berlebihan untuk memperkaya diri, bukan untuk membangun negeri.
Krisis ekonomi menghantam. Masyarakat Muslim maupun Hindu sama-sama merasakan penderitaan. Keadilan hilang. Rakyat kecewa.

Tak lama, muncul gelombang serangan luar dan pemberontakan dalam negeri. Kesultanan runtuh, digantikan oleh kekuasaan baru yang lebih kejam: kolonialisme Inggris.

Revolusi Rusia: Rakyat Lapar, Elit Kenyang

Awal abad ke-20, Rusia masih bergantung pada sistem feodalisme. Pajak tinggi dibebankan pada petani miskin, sementara kaum bangsawan menikmati kekayaan dan kekuasaan. Ditambah korupsi yang mengakar di istana dan pemerintahan Tsar, jurang antara rakyat dan elit makin menganga.

Perang Dunia I memperburuk keadaan. Saat rakyat lapar dan kedinginan, para elit tetap berpesta. Akhirnya, rakyat meledak. Revolusi Bolshevik tahun 1917 menggulingkan rezim lama. Sistem monarki runtuh, digantikan oleh kekuasaan komunis.

Sri Lanka Modern: Utang, Pajak, dan Ambruknya Kepercayaan
Tak perlu jauh-jauh ke masa lalu. Sri Lanka memberi pelajaran segar. Dalam dekade terakhir, negara ini menaikkan pajak, mencetak utang luar negeri dalam jumlah besar, dan mengabaikan efisiensi anggaran.
Hasilnya? Proyek mercusuar mangkrak, uang negara hilang, korupsi tak terkendali. Rakyat menderita karena inflasi, krisis energi, dan kelangkaan pangan.

Puncaknya, rakyat mengepung istana presiden. Pemerintah runtuh. Ini adalah keruntuhan negara yang didahului oleh krisis keuangan dan korupsi.

Polanya Selalu Sama
Dari zaman Bizantium hingga era modern, pola kehancuran peradaban selalu mengandung tiga unsur berulang:
1. Pajak dinaikkan terus-menerus dengan dalih menyelamatkan negara.
2. Korupsi dibiarkan tumbuh, uang rakyat bocor ke kantong para elit.
3. Kepercayaan rakyat hilang, ekonomi lumpuh, dan negara kehilangan wibawa.

Dan ketika ada krisis besar — entah itu perang, bencana, pandemi, atau pemberontakan — sistem itu langsung ambruk, karena fondasinya sudah rapuh jauh-jauh hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun