Pendudukan Jepang di Indonesia terjadi pada 1942. Masa itu penuh dengan gejolak. Militer Jepang menahan orang Belanda. Mereka juga menangkap banyak orang Tionghoa. Orang-orang itu dijebloskan ke kamp interniran.
Penangkapan mulanya dianggap karena Tionghoa sekutu Belanda. Tapi, alasan sebenarnya lebih rumit. Ini adalah bagian dari strategi Jepang.
Konflik Jepang dan Tiongkok berlanjut sejak 1937. Jepang melihat Tionghoa perantauan sebagai musuh.
Mereka adalah pendukung potensial Tiongkok. Jadi penangkapan itu strategis. Tujuannya untuk melumpuhkan musuh politik.
Ada juga motivasi ekonomi di baliknya. Orang Tionghoa di Hindia Belanda kaya raya. Jepang bisa ambil alih aset mereka. Kekayaan itu untuk mendukung perang.
Sebelum Jepang berkuasa, kekacauan sudah ada. Belanda menyerah pada 8 Maret 1942.
Kekosongan kekuasaan ini memicu penjarahan. Toko milik orang Tionghoa dijarah massa. Rakyat pribumi melampiaskan amarah dan iri hati.
Kerugian materiil pengusaha sangat besar. Angkanya mencapai 100 juta gulden (Benny G. Setiono, 2008).
Toko di Jembatan Lima dan Tanjung Priok habis. 70-80 persen pengusaha di Karawang jadi korban. Mereka adalah pengusaha penggilingan beras (Twang Peck Yang, 1998).
Yang tidak berhasil kabur ditangkap Jepang. Mereka ditempatkan di kamp interniran. Contohnya di Bukit Duri dan Cimahi. Mereka bercampur dengan tawanan Eropa.
Penangkapan tidak pandang bulu. Pemimpin Tionghoa dan yang menikah dengan Belanda ditangkap. Pramoedya Ananta Toer (1960) mengkritik ini.